Oleh Zainul Milal Bizawie
Setahun yang lalu Pemerintah telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. 22 Oktober menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad, bukti nyata adanya keterkaitan antara santri dengan tegaknya Indonesia. Hari Santri adalah wujud penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri.
Sejarah mencatat para santri mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut. Karenanya, para santri dengan caranya masing-masing bergabung dengan seluruh elemen bangsa yang lain melawan penjajah, menyusun kekuatan di daerah-daerah terpencil, mengatur strategi dan mengajarkan kesadaran tentang arti kemerdekaan. 22 Oktober menjadi penanda adanya keterkaitan antara santri dengan tegaknya Indonesia dengan munculnya para pahlawan bangsa. Sebagaimana diketahui hari Pahlawan adalah 10 November yang menandai adanya perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap Belanda.
Dengan ditetapkannya 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional dapat dijadikan penanda terjadinya peristiwa 10 November tidak dapat dilepaskan dari peran para santri. Karenanya, 20 hari sejak 22 Oktober hingga 10 November dapat dijadikan momentum para santri dengan khidmat mengenang sekaligus memperingatinya jasa para santri yang telah berjuang bagi tegaknya Indonesia. Perlu dicatat, munculnya Resolusi jihad tidaklah secara instan tanpa ijtihad bertahap yang cukup panjang. Ijtihad tersebut tidak hanya melewati satu dua generasi, akan tetapi menjalur ke belakang sampai titik masuknya Islam di bumi Nusantara. Resolusi Jihad adalah hasil dari proses panjang pasang surut perjuangan ulama-ulama sebelumnya.
Melalui penetapan HSN, diharapkan terjadi sinergi antara pemerintah dan santri untuk mendorong komunitas santri ke poros peradaban Indonesia. Santri tidak hanya sebagai penonton ataupun obyek dalam dialektika sosial budaya ekonomi politik Indonesia. Pesantren sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan tafaqquh fiddin terus kiranya berkontribusi dan mencetak ulama, agen perubahan yang menjadi garda terdepan dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih dari itu, pesantren kiranya dapat berperan lebih besar dalam mempromosikan gerakan anti narkoba, gerakan anti radikalisme, gerakan santri amar makruf nahi munkar, hingga pada santri yang melek dunia perbankan, melek sain dan teknologi.
Hari Santri adalah wujud dari kewajiban negara dan pemimpin bangsa, memberikan penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri. Kontribusi pesantren kepada negara ini, sudah tidak terhitung lagi. Hari Santri Nasional dapat dijadikan sebagai pemaknaan sejarah Indonesia yang genuine dan authentic yang tidak terpisahkan dari episteme bangsa. Indonesia tidak hanya dibangun dengan senjata, darah dan air mata, tetapi berdiri karena keikhlasan dan perjuangan para santri religius yang berdarah merah putih. Selain itu, ditetapkannya hari santri sebagai bukti otentik, Indonesia dapat menjadi model dunia tentang hubungan Islam dan negara, sekaligus meneguhkan persatuan umat Islam yang telah terafiliasi dan menyejarah dalam ormas Islam dan parpol yang berbeda,perbedaan melebur dalam kesantrian yang sama.
Mensenyawakan Hubungan Islam dan Negara
Syekh Hasyim As’yari menyadari bahwa secara kultural, gerakan Islam dan nasionalis berbeda satu dari yang lain, tetapi dari sudut ideologi berupa kebutuhan akan kemerdekaan, adalah satu bangsa. Pada tahun 1933, Syekh Hasjim Asy’ari memerintahkan putranya, Kiai Wahid Hasjim yang baru pulang dari Tanah Suci Mekkah untuk mempersiapkan Muktamar NU ke-9 di Banjarmasin (Borneo Selatan), dimana akan dibahas tentang kebangsaan. Dalam Muktamar tersebut salah satu masalah yang diajukan kepada Muktamar berbunyi wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda, padahal diperintah orang-¬orang non¬muslim? Muktamar yang dihadiri oleh ribuan orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya secara agama, karena adanya dua sebab, pertama, karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam. Kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah ada Kerajaan Islam.
Jadi, sesungguhnya negara Indonesia adalah dar Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda), tetapi nama negari Islam masih selamanya. Negeri ini pernah mengenal adanya kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau diusik. Negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai darul Islam (daerah Islam), bukan daulah Islamiyyah (pemerintahan Islam), karena mayoritas penduduk di wilayah ini beragama Islam dan dapat melaksanakan syari’at Islam dengan bebas dan secara terang-terangan. Keputusan tersebut merujuk dari kitab Bughyatul Mustarsyidin (hal. 254) karangan Sayed Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar atau dikenal dengan Syekh Ba’lawi.
Mengenai cita-cita Indonesia sebagai negara bangsa sebagaimana yang dirumuskan oleh para aktivis pergerakan itu dianggap sudah memenuhi aspirasi umat Islam, karena di dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan agamanya secara bebas. Dengan demikian umat Islam tidak perlu membuat negara lain yang berdasarkan syariat Islam, karena negara yang dirumuskan telah memenuhi aspirasi Islam (Muním Dz, 2012). KH Ahmad Siddiq (Rosis Am PBNU 1984-1991) menegaskan bahwa kata dar Islam bukanlah sistem politik atau ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam), yang lebih tepat diterjemahkan wilayatul Islam (daerah Islam) bukan negara Islam. Motif utama dirumuskannya pendapat ini adalah bahwa di wilayah Islam, maka kalau ada jenazah yang identitasnya tidak jelas non Muslim, maka harus diperlakukan sebagai Muslim. Di wilayah Islam, semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan dan sebagainya.
Meskipun demikian, untuk membangun masyarakat Islam, penjajah harus disingkirkan. Inilah mengapa ketika mempersiapkan negara bangsa, saat pertama kali datang Laksamana Maeda Pimpinan tertinggi tentara Jepang 1943, menanyakan siapa yang bisa menjadi pemimpin tertinggi negeri ini untuk diajak berunding dengan Jepang. Dengan tegas Syekh Hasyim Asy’ari menjawab bahwa yang pantas memimpin bangsa ini ke depan adalah Soekarno, seorang tokoh nasionalis terkemuka. Karena itu juga, ketika umat Islam sudah memiliki kemampuan untuk jihad perang, maka Syekh Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad sebagai bentuk dari menjaga Indonesia sebagai dar Islam. Inilah yang menjadi landasan, karena Indonesia adalah dar Islam dalam bentuk NKRI, sehingga berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang diusung Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI-TII) dianggap sebagai negara dalam negara dan dalam hukum fiqh disebut bughat (pemberontak) yang harus diperangi.
Ijatihad politik bahwa bentuk NKRI sebagai dar Islam ini merupakan karya besar para santri, yang selama ini diperjuangkan oleh para ulama sejak dahulu yang terus merawat semangat anti kolonial. Deklarasi kebangsaan yang dicetuskan tahun 1936 itu memiliki pengaruh cukup kuat dalam merumuskan setiap langkah mengawal negara hingga saat ini. Sehingga kemudian menjelma menjadi karakter dasar Islam Nusantara itu sendiri. Keputusan tahun 1936 tersebut tidak atas pertimbangan ideologis, tapi dengan kebebasan dan fiqhiyah (Gus Dur, 1989). Pandangan soal tokoh yang layak memimpin bangsa Indonesia juga menunjukkan bahwa Islam tidak perlu diideologikan dalam negara. Islam tidak perlu diideologikan, negara itu ideologinya nasionalistik, ideologi yang nasionalistik itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia telah disepakati dan diterima sebagai pedoman hidup bersama yang mengikat semuanya dalam menjalankan hidup bermasyarakat, beragama dan bernegara. Maka menjadi penting memahami pancasila dan hubungannya dengan Indonesia sebagai dar Islam.
Oleh karena itu, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Jadi dalam hal ini, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (Muktamar NU XXVII tahun 1984 di Situbondo, Munas NU tahun 2012 di Cirebon).
Ijtihad politik tersebut adalah warisan secara bersambung melalui sanad dan jejaring ulama santri yang makin meneguhkan Islam Nusantara dalam komitmen kebangsaan yang tinggi. Sebagai pewaris ajaran Ahlusunnah yang telah berabad-abad dikembangkan oleh para wali di Nusantara ini, komitmen kebangsaannya juga berdasarkan pada pelestarian warisan budaya Islam ini. Kenusantaraan atau keindonesiaan yang multi etnis, multi budaya dan multi bahasa ini buat Islam Nusantara adalah anugerah besar yang tiada tara. Islam hadir di Nusantara justru memperkaya dan memperkuat nilai kenusantaraan ini. Untuk membangun keindonesiaan itu Islam Nusantara mengembangkan sikapnya yang tawasuth (moderat), tawazun (seimbang) dan tasamuh (toleran), ketiganya merupakan prinsip jalan tengah yang disebut Al Qur’an sebagai (ummatan wasathan) dan bentuk ummat seperti itu juga digambarkan oleh Al Qur’an sebagai khoiro ummah (sebaik-baik masyarakat).
Zainul Milal Bizawie, penulis buku "Laskah Ulama-Santri dan Resolusi Jihad" dan "Masterpiece Islam Nusantara"
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua