Hisab sebagai Penyempurna Rukyah
Kamis, 18 Oktober 2007 | 02:32 WIB
Dalam konteks penentuan awal bulan qamariyah, maka yang dimaksudkan dengan rukyah adalah rukyatulhilal. Rukyah dalam bahasa arab sepatah kata isim berbentuk masdar dari fi’il يَرَى- رَأَى berarti أَبْصَرَ, melihat dengan mata kepala. Diartikan melihat dengan mata kepala tentu objek lihat (maf’ul bih) adalah sesuatu yang tampak.
Contoh QS Al-An’am (6): 76-78
...رَأَى كَوْكَبًا … melihat bintang (a. 76)
…رَأَى اْلقَمَرَ … melihat bulan (a. 77)
…رَأَى الشَّمْسَ … melihat matahari (a. 78)
Contoh dalam Hadits:
اِذَا رََأَيْتُمُ اْلهِلاَلَ apabila kamu sekalian melihat hilal… (HR. Muslim)
Jadi rukyah yang dikaitkan dengan hilal dalam mafhumul ayat QS. Al-Baqarah (2):189 dan yang disebut dalam lebih dari 20 hadits adalah “melihat hilal dengan mata kepala”.
Jelasnya rukyatul hilal adalah sistem penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah dengan cara melaksanakan pengamatan/observasi hilal di lapangan secara langsung, baik dengan mata telanjang maupun dengan alat, pada tanggal 29 malam 30 dari bulan yang sedang berjalan. Apabila hilal terlihat, maka bulan baru telah datang, dan apabila hilal tidak terlihat, maka bulan baru diawali malam berikutnya (istikmal).
Setelah hisab masuk dalam kalangan Islam, maka berkembang pemikiran terhadap makna rukyah. Sebagian ahli hisab memaknai rukyah dengan makna melihat dengan pikiran dan melihat dengan hati. Alasannya:
1. Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat diartikan أدرك / علم, yakni memahami/melihat dengan akal pikiran (tentang wujudulhilal).
2. Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat dapat diartikan حسِب / ظنّ, yakni menduga/yakin / berpendapat/melihat dengan hati (tentang wujudul hilal).
Dua makna yang terakhir ini dipegangi oleh sebagian ahli hisab. Sehingga mereka berpendapat hisab adalah sistem alternatif untuk penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal Bulan Syawal, dan awal Bulan Dzulhijjah.
Pendapat sebagian ahli hisab ini perlu dikoreksi karena bertentangan dengan kaidah bahasa Arab:
1. Ra-a (رأى) yang mempunyai arti أدرك / علم dan حسِب / ظنّ itu, masdarnya رَأْيٌ, sedang yang disebut dalam hadits adalah رؤية
2. Oleh karena itu yang disebut dalam hadits Nabi SAW adalah لرؤيته (karena melihat penampakan hilal) bukan لرأيه (karena memahami, menduga, meyakini, berpendapat adanya hilal)
3. Ra-a (رأى) yang diartikan أدرك / علم menurut kaidah bahasa arab, maf’ul bih (obyek) nya harus berbentuk abstrak, seperti:
أرءيت الذى يكذب بالدين
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” (QS. Al-Mâ’ûn [107]: 1)
Sedangkan ra-a (rukyah) yang disebut dalam hadits, obyeknya nyata secara fisik yaitu hilal, seperti:
اذا رايتم الهلال فصوموا...
“Apabila kamu melihat hilal maka berpuasalah…” (HR. Muslim)
4. Ra-a (رأى) yang diartikan حسِب / ظنّ, menurut kaidah bahasa arab mempunyai 2 maf’ul bih (obyek). Contoh:
انهم يرونه بعيدا
“Sesungguhnya mereka menduga siksaan itu jauh (mustahil)” (QS. Al-Ma’ârij [70]: 6), dan
ونره قريبا
“Sedangkan kami yakin siksaan itu dekat (pasti terjadi).” (QS. Al-Ma’ârij [70]:7).
Adapun yang dimaksud ra-a (rukyah) dalam hadits, maf’ul bih (obyek)nya satu. Contohnya seperti pada hadits nomor 3 dan contoh:
صوموا لرؤيته ...
“..berpuasalah kalian karena terlihat hilal…” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Ahli hisab sering mendukung argumentasinya dengan mengemukakan kalimat faqdurûlahu yang terdapat dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang diartikan kadarkanlah padanya, maksudnya perkirakanlah. Argumen ini tidak tepat karena:
a. Dalam hadits lain riwayat Muslim terdapat ungkapan faqdurûlahu tsalatsîna (فاقدرواله ثلاثين), artinya: “Maka kadarkan (tentukan) lah padanya 30 (hari).” Sesungguhnya hadits ini dapat dijadikan penjelasan bagi hadits riwayat Bukhari-Muslim tersebut.
b. Faqdurû adalah bentuk amr dari fi’il madli qadara dan memiliki banyak arti: sanggupilah, kuasailah, ukurlah, bandingkanlah, pikirkanlah, pertimbangkanlah, sediakanlah, persiapkanlah, agungkanlah, muliakanlah, bagilah, tentukanlah, takdirkanlah, persempitlah, tekanlah, dan masih banyak arti yang lain. Arti yang demikian banyak ini menjadi sulit untuk diambil salah satunya ketika dihubungkan dengan tujuan hadits tentang puasa Ramadlan.
Menurut ahli ushul Kata faqdurû disebut kata mujmal (banyak artinya). Untuk memahaminya harus dijelaskan dengan mencarikan kata mufassar (pasti artinya) seperti اَكْمِلُوْا (sempurnakanlah) sebagaimana dalam hadits Nabi SAW:
فَاَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan faqdurûlahu dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim tersebut harus dipahami dengan makna “sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh”
6. Rukyah / رأى dalam hadits-hadits diberi penjelasan “kalau penglihatanmu terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan menjadi 30”. Penjelasan demikian ini tidak relevan jika dihubungkan رأْى / رَأَي yang diartikan أدرك/ علم dan حسِب / ظنّ
Dengan koreksi ini, maka kita lebih yakin, bahwa makna yang tepat bagi rukyah / رأى yang dimaksud dalam hadits-hadits adalah “melihat dengan mata kepala/pengamatan langsung terhadap hilal”. Jadi arti dan maksud rukyatul hilal adalah melihat dengan mata kepala/mengamati secara langsung/observasi terhadap penampakan bulan sabit, tidak dapat dimaksudkan melihat dengan akal dan melihat dengan hati.
Rukyah adalah ibu yang melahirkan hisab. Tanpa rukyah hisab akan mandeg, bahkan mustahil adanya. Jadi rukyah itu ilmiah.
Meskipun Islam membuka luas cakrawala pengembangan pemikiran keIslaman, namun harus segera diingatkan, bahwa manusia secerdas apapun tidak akan mampu menyamai wahyu. Islam dibangun atas dasar wahyu, bukan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan sangat bermanfaat untuk kesempurnaan memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam.
Ilmu hisab dapat digunakan untuk kesempurnaan memahami, menghayati dan mengamalkan nash tentang rukyatul hilal. Atas dasar prinsip ini maka:
1. Definisi hilal dan rukyah sebagaimana dipaparkan di muka, dijadikan sebagai landasan dalam mencari solusi atas perbedaan dan untuk menetapkan kriteria awal bulan.
2. Atas dasar landasan tersebut maka perlu ada kesepakatan metode hisab yang akan digunakan untuk penentuan kriteria imkanur rukyah.
3. Kriteria imkanur rukyah itu tidak dimaksudkan sebagai pengganti nash yang bertalian dengan rukyah.
Dalam pada itu, hak itsbat awal bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah sepenuhnya berada di tangan Negara/pemerintah yang dalam hal ini didelegasikan kepada Menteri Agama.
Itsbat Menteri Agama yang didasarkan pada rukyah dan hisab sebagaimana rekomendasi MUI mengikat dan berlakau bagi umat Islam secara nasional. Oleh karena itu ormas Islam diharapkan tidak mengeluarkan penetapan awal bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah mendahului itsbat pemerintah sehingga merisaukan umat.
KH A Ghazalie Masroeri
Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)
*) Berasal dari paparan lisan yang disampaikan dalam diskusi kriteria awal bulan di Departemen Agama tanggal 18 September 2007 yang dihadiri oleh Menteri Agama, Sekjen Depag, Dirjen Bimas Islam, Direktur Urais, Kasubdit Pembinaan Syariat dan Hisab Rukyat Depag, wakil dari NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, para ahli astronomi dari LAPAN, Observatorium Boscha, Planetarium, Bakosurtanal, BMG, Dirjen Pembinaan Peradilan Agama MA, dan MUI
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua