Opini

Kembali Fitri, Kembali pada Peradaban

Rabu, 6 Juli 2016 | 14:00 WIB

Oleh: Said Aqil Siroj
Puasa Ramadhan telah berakhir dan Idul Fitri kembali menyapa kita. Idul Fitri bermakna hari kembali sucinya jiwa umat Muslim setelah bergulat dengan puasa dan rangkaian ibadah sebulan penuh selama Ramadhan.

Di negeri kita, perayaan Idul Fitri memiliki kekhasan tersendiri, yakni sering diistilahkan dengan "Lebaran" yang tidak saja menjadi milik umat Muslim secara eksklusif, tetapi juga telah menjadi kultur bangsa yang unik.

Tepatlah di momen ini, kita perlu mengudarakan kembali refleksi terhadap makna tamaddun yang berarti keperadaban. Sebuah model masyarakat yang hendak dicitakan oleh Islam dan telah diteladankan oleh Nabi Muhammad.

Masyarakat yang berperadaban berarti masyarakat yang menjunjung tinggi akhlak dan martabat serta mengelola pluralitas menjadi kekuatan yang positif.

Cita-cita inilah menjadi titik sentral misi kerasulan Nabi Muhammad lewat sabdanya, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia menjadi lebih mulia."

Budaya keperadaban

Pejuang-pejuang kebangsaan Indonesia sejak dahulu semuanya mempelajari dan mempraktikkan budaya jujur, adil, arif-bijaksana, tertib, dan disiplin, moderat dan rendah hati.

Unsur-unsur budaya beradab tersebut dipraktikkan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk membangun diri dan bangsa menjadi insan beradab, bermartabat, dan terhormat.

Transformasi berkeadaban dan bermartabat itu dilakukan melalui interaksi yang santun dan dialog yang produktif dalam masyarakat yang plural.

Di mulai dari pemahaman perorangan, keluarga, dan masyarakat tentang perlunya cinta kasih antara sesama, memupuk rasa keindahan, empati dalam penderitaan dan kegelisahan orang lain, menghormati hukum dan keadilan, memiliki pandangan positif untuk hidup bersama, mempunyai tanggung jawab dalam pengabdian, serta memiliki harapan yang optimis dalam kehidupan.

Keadaban ini jelas bergayut dengan kesadaran terhadap kemajemukan. Masyarakat majemuk dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan agama.

Di dalam masyarakat majemuk, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok dengan kelompok tertentu.

Dari sejarahnya, masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat sudah pernah lahir sebagai kekuatan dunia dalam kerajaan-kerajaan, seperti Sriwijaya, Majapahit, dan kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke-15.

Realitas sejarah mengesankan kepada generasi sekarang bahwa bobot dan kualitas berkeadaban dan bermartabat itu lahir dari rahim masyarakat yang majemuk.

Moto Bhinneka Tunggal Ika merupakan cantelan dalam berkehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Moto ini adalah cita-cita adiluhung bangsa Indonesia untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat.

Upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan, dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Untuk itulah, diperlukan infrastruktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat.

Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan, dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama.

Sikap sadar kemajemukan berarti pula sikap sadar terhadap multikultural. Artinya, sikap ini menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.

Konsep tersebut mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan dengan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian, serta menghindari sejauh mungkin konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya.

Konsep multikultural tidaklah hanya disamakan dengan konsep keanekaragaman yang hanya menggambarkan bahwa kita beragam secara agama, suku bangsa, atau kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk.

Yang terpenting, multikultural lebih menekankan adanya saling menghargai dan rasa memiliki dalam kesederajatan serta meningkatkan solidaritas yang menuntut kita untuk melupakan upaya-upaya penguatan identitas.

Kehidupan multikultural adalah landasan kesadaran akan keberadaan diri tanpa merendahkan yang lain.

Bumi kedamaian

Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang hidup dalam suasana pluralitas dan multikultural sehingga terbiasa dengan berbagai perbedaan, serta menerima perbedaan tersebut dengan prinsip hidup berdampingan secara damai.

Jangan sampai dalam mengarungi arus modernisasi dan derap perubahan sosial yang cepat, kedamaian yang sudah berlangsung lama itu terganggu dengan munculnya konflik-konflik sosial, radikalisme, atau terorisme dengan semangat buta pembelaan etnik dan agama sehingga integritas keindonesiaan dan kerukunan, terutama kerukunan umat beragama yang pernah dibanggakan bahkan diakui oleh bangsa lain, menjadi luntur.

Kebinekaan merupakan kekayaan. Keberadaan dan perbedaan agama jelas sebagai rahmat yang harus disyukuri.

Agama datang untuk kehidupan, demi membangun kehidupan yang tenang, aman, dan damai. Namun, jika kehidupan ini dijadikan sebagai industri kekerasan, tentu hidup manusia tidak akan aman.

Karena itu, perlu dikembalikan menjadi industri kecintaan yang diharapkan tercipta suatu kedamaian. Ada dua pilihan hidup di dunia ini. Untuk menjadikan rahmat atau dihancurkan oleh globalisme. Supaya kita menjadi rahmat, kita harus saling mengakui pluralitas.

Di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan, penciptaan dunia ini dan perbedaan lidah dan bahasa kita, kita harus mengembalikan integrasi dan kerja sama sesama kita.

Bumi ini diciptakan untuk  kita semua. Semua berhak hidup di bumi ini. Kita harus berpacu untuk memuliakan manusia demi keberlangsungan hidup mereka. Justru yang harus kita lawan adalah kezaliman dan kekerasan karena hanya akan melawan kefitrian.

Nah, momentum Idul Fitri kali ini dapat dijadikan sebagai peneguhan kembali dari kita semua demi membangun hidup yang harmonis dan penuh tenggang rasa dalam berbangsa dan bernegara. Artikel ini juga diunggah di kompas.com