Opini

Mereka yang Membawa Manfaat bagi Sekitar

Rabu, 26 Februari 2020 | 07:00 WIB

Mereka yang Membawa Manfaat bagi Sekitar

Pengajian di Karangnongko Mojokerto diikuti Jemaah yang tersebar dalam radius sekitar 100 meter. Termasuk, di tepi sungai dan pinggir semak bambu (Foto: NU Online/Rio F. Rachman)  

Oleh Rio F. Rachman
 
Sebuah riwayat menyebutkan, Nabi Muhammad beramanat, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Ungkapan ini kerap disematkan pada para wali, kiai, dan ulama yang sudah wafat, namun hingga detik ini masih memberi manfaat. 

Selain ilmu-ilmu yang ditebar di masa masih hidup yang terus berguna bagi masyarakat, makam-makam sebagian dari mereka juga menjadi inspirasi warga. Warga berdoa kepada Tuhan di sekitar makam. Sebagian mengaji Al-Qur’an. Sebagian membaca Surat Yasin. Semua mengingat mati, yang lagi-lagi sebagaimana sabda Nabi Muhammad, adalah nasihat terbaik. 

Mereka mengapresiasi kebaikan yang sudah dilakukan manusia yang telah dikebumikan tersebut. Selanjutnya, sudah pasti dan seharusnya, tergerak untuk menapak jejak-jejak kebaikan itu. 

Yang tak kalah menarik, menjamurnya ekonomi kerakyatan di sekitar makam tersebut. Lihatlah geliat ekonomi di seputaran makam Wali Songo, para habaib, para ulama, dan seterusnya. Bahkan ketika sudah menghadap Tuhan Yang Maha Esa, mereka tetap meneteskan kebaikan bagi sekitarnya.

Sejatinya, tak hanya ulama yang sudah meninggal yang masih menebar manfaat. Banyak pula, ulama yang masih hidup, tapi sebaran manfaatnya lintas sektor. Kalau di sektor keilmuan, sudah barang tentu. Namun yang tak kalah optimal, adalah di sektor ekonomi. 

Salah satu contoh saja, apa yang bisa dilihat di Karangnongko Mojokerto saban Jumat pagi. Romo Kiai Chusain Ilyas tidak hanya menyemai ilmu Al-Qur’an dari pengajian umum tafsir Al Ibriz karya KH Bisri Mustofa. Lebih dari itu, setidaknya seminggu sekali, ekonomi rakyat di sana bergerak luar biasa. 

Lapak-lapak pedagang kecil di radius sekitar 100 meter. Yang dari jarak itu pula, warga dari Mojokerto maupun luar kota yang datang, bisa ikut mendengarkan pengajian melalui pengeras suara yang terpasang di banyak titik, dengan kabel yang melintas rumah ke rumah, maupun menyeberang sungai.

Banyak pedagang keliling yang menawarkan makanan ringan, minuman ringan, buku belajar anak, dan lain sebagainya. 

Kebetulan, pada Jumat lalu 14 Februari 2019, pengajian membahas surah Ar-Ra’du ayat 19 sampai 22. Orang beriman, tidak hanya berakal melainkan pula menyambungkan pikiran dengan hati nurani. Bila sudah terhubung, orientasi seluruh laku adalah sikap taqwa, sifat takut pada Allahu Ta’ala. Yang pada gilirannya, akan suka mengisi hidup dengan terus menyambung-nyambungkan kebaikan. 

Salah satu poin yang disampaikan adalah pentingnya menyambung-nyambung kebaikan. Termasuk, menyambung silaturahim. Nah, pengajian di Karangnongko, dan di tempat-tempat lain sejenisnya, selain memiliki manfaat di bidang keilmuan, sektor ekonomi, juga di aspek silaturahmi. Ada interaksi sosial di sana. Bisa pula, menjadi wadah berjumpa kawan dari Surabaya atau Lamongan atau Jombang dan Mojokerto maupun kota lainnya, yang janjian di sana.

Manusia yang bermanfaat itu bukan hanya yang pada level kiai atau alim ulama. Manusia pada level apa pun jua bisa bermanfaat bagi sekitar. 

Bermanfaat itu pun banyak tingkatnya. Ada pula mereka yang jadi pemimpin yasin tahlil atau shalawatan di kampung-kampung, para modin, dan lain sebagainya. Juga, yang model pengabdiannya tidak hanya di lingkup peribadatan vertikal. Karena bisa pula, orang yang suka bergotong-royong membersihkan lingkungan, yang begadang malam dengan niat menjaga keamanan pemukiman, para guru sekolah umum, serta lain sebangsanya, memiliki manfaat luar biasa bagi sekeliling.

Mereka tentu lebih bermanfaat di banding individu-individu yang suka ndalil di media sosial padahal yang bersangkutan belum melakukan apa yang diceramahkan itu. Apa tidak boleh? Ya, boleh-boleh saja. 

Namun tentu, tanpa dakwah melalui perilaku, dakwah melalui omongan atau kicauan di media sosial kekuatannya rapuh. Apalagi, kalau ndalilnya sambil nyinyir dan menyindir ritual orang lain. Alih-alih orang lain bersimpati, pembaca justru menganggap untaian di linimasa itu hanya tong kosong.

Penulis adalah dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang