Opini

Penentuan Awal Bulan Qamariyah Perspektif NU

Rabu, 1 Agustus 2007 | 06:12 WIB

Penentuan Awal Bulan Qamariyah Perspektif NU

Sejumlah pelajar berlatih menentukan awal bulan qamariyah lewat praktik rukyat. (Foto: NU Online)

Judul di atas mengisyaratkan adanya keragaman pandangan tentang sistem penentuan awal bulan qamariyah.
 

Semula umat Islam hanya mengenal sistem rukyat  sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.
 

Ketika ilmu hisab masuk dalam kalangan umat Islam pada abad 8 Masehi di masa Dinasti Abasiyah, maka mulai berkembang pemikiran untuk menggunakan hisab bagi penentuan awal bulan qamariyah. Dari dua sistem tersebut lahirlah perbedaan antara hisab dengan rukyat, perbedaan di dalam rukyat, dan perbedaan di dalam hisab.
 

Sistem rukyat melahirkan beberapa pendapat:
 

  1. Pendapat yang mendasarkan pada ruang lingkup berlakunya rukyat, maka timbullah istilah: rukyat lokal, rukyat nasional, dan rukyat global.
     
  2. Pendapat yang mendasarkan pada ada atau tidak adanya persinggungan dengan hisab, maka timbullah: pendapat yang mendasarkan pada rukyat minus dukungan hisab dan pendapat yang mendasarkan pada rukyat plus dukungan hisab.

Sistem hisab juga melahirkan beberapa pendapat:
 

  1. Pendapat yang mendasarkan pada adanya perbedaan metode hisab, yaitu:
    a. Metode Hisab Urfi.
    b. Metode Hisab Haqiqi Taqribi (disingkat Taqribi).
    c. Metode Hisab Haqiqi Tahqiqi (disingkat Tahqiqi).
    d. Metode Hisab Tadqiqi/’Ashri atau Kontemporer.
     
  2. Pendapat yang mendasarkan pada kriteria awal bulan:
    a. Pendapat yang mendasarkan pada Waktu Ijtima’.

    b. Pendapat yang mendasarkan pada Wujudul Hilal.
    c. Pendapat yang mendasarkan pada Imkanur Rukyat.

Meskipun terdapat keragaman, tetapi di dalam sejarah sejak zaman Sahabat hingga sekarang ternyata para khalifah, sultan, ulil amri menggunakan sistem rukyat sebagai dasar itsbat awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
 

Sesuai dengan judul di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas pandangan NU tentang penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
 

NU (Nahdlatul Ulama) adalah Jam’iyah Diniyah Islamiyah (Organisasi Sosial Keagamaan Islam) yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang menjunjung tinggi dan mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW serta tuntunan para sahabat dan hasil ijtihad para ulama madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).
 

Sebagai sebuah Jam’iyah Diniyah Islamiyah, sesuai dengan tujuan keberadaannya, NU berkewajiban untuk senantiasa mengamalkan, mengembangkan, dan menjaga kemurnian ajaran agama Islam yang diyakininya, termasuk di dalamnya adalah penentuan awal bulan qamariyah khususnya yang ada hubungannya dengan ibadah, yakni bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
 

Sikap NU tentang sistem penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah diambil melalui keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo (1984), Munas Alim Ulama di Cilacap (1987), Seminar Lajnah Falakiyah NU di Pelabuhan Ratu Sukabumi (1992), Seminar Penyerasian Metode Hisab dan Rukyat di Jakarta (1993), dan Rapat Pleno VI PBNU di Jakarta (1993), yang akhirnya tertuang dalam Keputusan PBNU No. 311/A.II.04.d/1994 tertanggal 1 Sya’ban 1414 H/13 Januari 1994 M, dan Muktamar NU XXX di Lirboyo Kediri (1999).
 

Keputusan PBNU tersebut telah dibukukan dengan judul “PEDOMAN RUKYAT DAN HISAB NAHDLATUL ULAMA”.
 

Menurut NU, penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan pada sistem rukyat sedang hisab sebagai pendukung.


Rukyat adalah melihat dan mengamati hilal secara langsung di lapangan pada hari ke 29 (malam ke 30) dari bulan yang sedang berjalan; apabila ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar rukyatulhailal; tetapi apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu tanggal 30 bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar istikmal.
 

Pandangan NU tentang rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan atas pemahaman, bahwa nash-nash tentang rukyat itu bersifat ta’abbudiy. Ada nash al-Quran yang dapat dipahami sebagai perintah rukyat, yaitu QS. al-Baqarah:185 (perintah berpuasa bagi yang hadir di bulan Ramadhan) dan QS. al-Baqarah:189 (tentang penciptaan ahillah). Dan tidak kurang dari 23 hadits tentang rukyat, yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, Ahmad bin Hambal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan lain-lain . Dasar rukyat ini dipegangi oleh para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ittabi’in dan empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).
 

Rukyat atau pengamatan hilal akan menambah kekuatan iman. Pengamatan terhadap benda-benda langit termasuk bulan adalah bagian dari melaksanakan perintah untuk memikirkan ciptaan Allah agar lebih dalam mengetahui kemahabesaran Allah, sehingga memperkuat iman.
 

Rukyat mempunyai nilai ibadah jika digunakan untuk penentuan waktu ibadah seperti shiyam, ‘id, gerhana, dan lain-lain.
 

Rukyat adalah ilmiah. Rukyat atau pengamatan/penelitian/observasi terhadap benda-benda langit melahirkan ilmu hisab. Tanpa rukyat tidak akan ada ilmu hisab.
 

Sebagai konsekwensi dari prinsip ta’abbudiy, NU tetap menyelenggarakan rukyatul hilal bil fi’li di lapangan, betapa pun menurut hisab hilal masih di bawah ufuk atau di atas ufuk tapi ghairu imkanir rukyat yang menurut pengalaman, hilal tidak akan kelihatan. Hal demikian ini dilakukan agar pengambilan keputusan istikmal itu tetap didasarkan pada sistem rukyat di lapangan yang tidak berhasil melihat hilal, bukan atas dasar hisab.
 

Rukyat yang diterima sebagai dasar adalah hasil rukyat di Indonesia (bukan rukyat global) dengan wawasan satu wilayah hukum NKRI. Sehingga apabila salah satu tempat di Indonesia dapat menyaksikan hilal, maka hasil rukyat demikian ini menjadi dasar itsbatul aam yang berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
 

Rukyat yang dikehendaki oleh NU adalah rukyat yang berkualitas didasarkan atas:
 

  1. Pemahaman terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari salah seorang sahabat Rasulullah SAW., Rib’i bin Hirasy, yang di dalamnya terdapat ungkapan:

    بِاللهِ لَأَهَلَّ الْهِلاَلُ (Demi Allah, bahwa sesungguhnya hilal telah tampak).

    Kata sumpah, kata sungguh, dan kata tampak dalam hadits itu mengisyaratkan, bahwa rukyatul hilal itu benar-benar terjadi dan meyakinkan, sehingga Rasulullah SAW. menerima laporan itu. Hal ini dapat dipahami, bahwa Rasulullah SAW. menerima laporan itu karena rukyat itu berkualitas.
     
  2. Pemahaman terhadap qaul Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj jilid III halaman 382, yang artinya:

    Yang dituju darinya ialah bahwa hisab itu apabila para ahlinya sepakat bahwa dalil-dalilnya qath’i (pasti) dan orang-orang yang memberitakan (mengumumkan) hisab tersebut mencapai jumlah mutawatir, maka persaksian rukyat itu ditolak. Jika tidak demikian, maka tidak ditolak.”

    Qaul ini dalam konteks laporan hasil rukyat yang ditolak jika para ahli hisab yang mencapai jumlah mutawatir sepakat, bahwa saat itu hilal ghairu imkanir rukyat secara hisab. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa Ibnu Hajar al-Haitami menghendaki adanya rukyat yang berkualitas.
     

Untuk mewujudkan rukyat yang berkualitas, maka NU menggunakan ilmu hisab dan menerima kriteria imkanur rukyat sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat.
 

Hisab sebagai pendukung rukyat. Bukan sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah karena ia sebagai ilmu yang dihasilkan oleh rukyat.
 

Ilmu hisab / ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang membahas posisi dan lintasan benda-benda langit, tentang matahari, bulan, dan bumi dari segi perhitungan ruang dan waktu. Ilmu Hisab sebagai ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu pengetahuan alam, maka berlaku ketentuan-ketentuan ilmu itu; artinya dapat berkembang terus menerus sejalan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Pengamatan atau penelitian/observasi (rukyat) terhadap benda-benda langit terus menerus dilakukan oleh para ahlinya, sehingga berkembang pula ilmu hisab yang semakin tinggi tingkat akurasinya.
 

Dewasa ini di kalangan Umat Islam berkembang lebih dari 20 metode hisab (kitab hisab) yang dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: metode haqiqi Taqribi (disingkat taqribi), metode haqiqi tahqiqi (disingkat tahqiqi), dan metode Tadqiqi/’Ashri atau kontemporer.
 

Untuk mendukung proses pelaksanaan rukyat, maka NU memilih metode yang tingkat akurasinya tinggi agar memperoleh hasil yang berkualitas. Dalam konteks ini, NU pun menerima kriteria imkanur rukyat.
 

Kriteria imkanur rukyat hanyalah sebagai instrumen untuk menolak laporan adanya rukyatul hilal, sedangkan para ahli hisab telah bersepakat, bahwa hilal masih di bawah ufuq atau di atas ufuq tapi ghairu imkanir rukyat. Jadi kriteria imkanur rukyat tidak digunakan untuk menentukan awal bulan qamariyah. Jelasnya apabila menurut hitungan hisab bahwa hilal sudah imkanur rukyat, tetapi kenyataan di lapangan hilal tidak berhasil dirukyat, maka penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan atas dasar istikmal.
 

Jadi posisi ilmu hisab berikut kriteria imkanur rukyat bersifat ta’aqquliy sebagai sarana untuk mendukung proses penyelenggaraan rukyat.
 

Proses pengambilan keputusan yang diterbitkan oleh PBNU sehubungan dengan hasil rukyat untuk menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah melalui 4 tahap:
 

  1. Melakukan hisab awal bulan untuk membantu pelaksanaan rukyat dan untuk mengontrol keakurasian laporan hasil rukyat.
  2. Menyelenggarakan rukyatul hilal bil fi’li di lokasi-lokasi strategis yang telah ditentukan di seluruh Indonesia.
  3. Melaporkan hasil rukyat dalam sidang itsbat yang diselenggarakan oleh Menteri Agama.
  4. Kemudian setelah ada itsbat dari pemerintah, maka PBNU mengeluarkan ikhbar sehubungan dengan itsbat tersebut untuk menjadi pedoman warga NU. Ikhbar PBNU dapat sejalan dengan itsbat pemerintah jika diterbitkan atas dasar rukyat. Jika itsbat tidak berdasarkan rukyat, maka PBNU berwenang untuk mengambil kebijakan lain.
     

Jadi PBNU tidak dalam kapasitas mengitsbatkan hasil rukyat. Hak itsbat ada pada pemerintah. Hak ikhbar ada pada PBNU.
 

Dari hal-hal yang dipaparkan di muka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Penentuan awal bulan qamariyah khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah perspektif NU didasarkan atas rukyat, sedangkan hisab sebagai pendukung.
     
  2. NU dalam memahami dan mengamalkan nash-nash al-Quran dan as-Sunah menggunakan asas ta’abbudiy dan dilengkapi dengan asas ta’aqquliy.
     
  3. Sebagai konsekwensi dari penggunaan asas ta’abbudiy ini, maka menurut NU sistem penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan pada pemberlakuan otentitas nash, yakni dengan cara rukyat atau istikmal sesuai dengan sunnah Nabi SAW serta tuntunan para sahabat dan hasil ijtihad para ulama madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).
     
  4. Sedangkan konsekwensi dari penggunaan asas ta’aqquliy untuk menyempurnakan ta’abbudiy, maka menurut NU rukyat itu perlu didukung dengan ilmu hisab yang tingkat akurasinya tinggi disertai dengan kriteria imkanur rukyat untuk mencapai hasil rukyat yang berkualitas.
     
  5. Rukyat memiliki nilai keimanan, ibadah, dan pengembangan ilmu.
     
  6. NU berwawasan nasional, 1 wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
     
  7. NU berpendapat, bahwa itsbat pemerintah suatu keniscayaan.
     
  8. Ikhbar PBNU dikeluarkan sesudah terbitnya itsbat pemerintah.
     
  9. Pandangan NU yang didasarkan pada prinsip rukyat nasional didukung hisab dengan menerima kriteria imkanur rukyat dan mengakui hak itsbat pemerintah diharapkan menjadi bahan perenungan menuju kesatuan dalam mengawali shiyam, hari raya ‘Idul Fitri, dan hari raya ‘Idul Adha.

     

KH. Ahmad Ghazalie Masroeri, Ketua PP Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)