Opini

Urgensi dan Hikmah Mempelajari Sejarah

Jumat, 12 Maret 2021 | 02:00 WIB

Urgensi dan Hikmah Mempelajari Sejarah

Mempelajari masa lalu menjadikan kita berpikir dan bergerak untuk kehidupan yang lebih maju (progresif).

Mengapa kita penting mengetahui dan mempelajari sejarah dengan baik? Jawaban pertanyaan ini dapat merujuk kepada penjelasan yang dikemukakan sejarawan Muslim nomor wahid nan terpopoler di dunia, yaitu ‘Abdur Rahmân Ibn Khaldûn (w. 808 H). Dalam kitabnya yang masyhur, Muqaddimah (2005, h. 3, dan 28), Ibn Khaldûn menjelaskan hakikat sejarah (haqîqat at-târîkh) dan hikmah sejarah:

 

”Hakikat sejarah adalah tentang masyarakat umat manusia. Sejarah identik dengan peradaban dunia; tentang perubahan yang terjadi pada watak peradaban itu sendiri, seperti keliaran, keramah-tamahan, dan solidaritas (‘ashabiyyât); tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan berbagai macam tingkatannya; tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan pertukangan; dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri.”

 

Ibn Khaldûn juga menjelaskan kandungan sejarah bahwa ”di dalam hakikat sejarah, terkandung pengertian observasi (nazhr) dan usaha mencari kebenaran (tahqîq), keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda wujudi, serta pengertian dan pengetahuan mengenai substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa.”

 

Hikmah dari mempelajari sejarah adalah untuk memahami ihwal makhluk, bagaimana situasi dan kondisi membentuk suatu perubahan, bagaimana pula negara-negara, memperluas wilayahnya, dan bagaimana mereka memakmurkan bumi, sehingga terdorong mengadakan perjalanan jauh, hingga ditelan waktu, lenyap dari pangung bumi.

 

Dalam konteks kekinian, pengetahuan tentang sejarah berguna bagi kita dalam rangka untuk mengambil ‘ibrah (i‘tibâr), yakni pelajaran yang berharga dari masa lalu. Hal ini sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an Al-Karim, yang secara nyata disebutkan dalam Surat al-Fatihah. Dalam buku penulis, berjudul Fikih al-Fâtihah, dikemukakan bahwa: ”ada ajaran untuk mengambil pelajaran yang berharga tentang kisah-kisah (qashash) mengenai teladan orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang berbuat buruk, dan memilih jalan orang-orang yang berbuat baik.” Penting ditegaskan bahwa kehadiran Al-Qur’an itu sendiri menjelaskan tujuan-tujuan pokok diturunkannya, sebagaimana dikemukakan Syekh Muhammad ath-Thâhir ibn ‘Âshur (w. 1973 M), dalam kitabnya Tafsîr at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, ada delapan, di antaranya adalah memuat ”kisah-kisah dan berita-berita tentang umat terdahulu, agar dijadikan pelajaran untuk memperbaiki kondisi mereka.” (Ahmad Ali MD, Fikih al-Fâtihah, Panduan Lengkap Memahami Induk Al-Qur’an, 2020, h. 6-7).

 

Syekh Ibn ‘Âshûr (w. 1973 M), pakar fiqih dan tafsir terkemuka berkebangsaan Tunisia, dalam kitabnya yang masyhur, Tafsîr at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, mengatakan bahwa:

 

وأما أخبار العرب فهي من جملة أدبهم وإنما خصصتها بالذكر تنبيها لمن يتوهم أن الاشتغال بها من اللغو، فهي يستعان بها على فهم ما أوجزه القرآن في سوقها لأن القرآن إنما يذكر القصص والأخبار للموعظة والاعتبار، لا لأن يتحادث بها الناس في الأسمار

 

”Adapun berita-berita mengenai orang Arab maka ia tergolong peradaban mereka, dan sejatinya saya sebutkan secara khusus untuk mengingatkan terhadap orang yang menganggap bahwa berkecimpung dengan cerita-cerita tersebut merupakan permainan (perbuatan sia-sia), padahal itu dapat digunakan untuk memahami konteks ajaran yang dikemukakan secara ringkas oleh Al-Qur’an, karena sungguh Al-Qur’an sejatinya menuturkan kisah-kisah dan berita-berita agar menjadi petuah (al-mau‘izhah) dan pelajaran berharga (i‘tibâr), bukan karena untuk dijadikan obrolan dalam begadang.” (Ibn ‘Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, Tunisia: ad-Dâr at-Tûnisiyyah, 1984, Juz I, h. 25).

 

Imam al-Alûsî (w. 1270 H), dalam kitab tafsirnya Rûh al-Ma‘ânî, mengemukakan tafsir ujung QS Yûnus ayat 92: ”Ay lâ yatafakkarûna fîhâ wa-lâ ya‘tabirua bihâ”, yakni mereka tidak berfikir tentang peristiwa yang menimpa Fir’aun dan tidak pula mengambil pelajaran dengan peristiwa terserbut”. (Syihâb ad-Dîn as-Sayyid Mahmûd al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa-al-Sab‘ al-Matsânî, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabî, t.t., Juz XI, h. 184).

 

Imam ar-Râzî menjelaskan bahwa ujung QS Yûnus ayat 92 dimaksudkan untuk mencegah umat Nabi SAW agar tidak berpaling dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan, dan mendorong mereka agar berpikir (ta’ammul) dan mengambil pelajaran darinya (i‘tibâr), karena sungguh yang dikehendaki dari menuturkan kisah-kisah ini adalah tercapainya pelajaran berharga (hushûl al-i‘tibâr). (Juz XVII, h. 164).

 

Berkaitan dengan orang yang dapat mengambil pelajaran (‘ibrah) dari suatu kisah, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an, disebutkan kelompok ulî al-abshâr. Syekh Muhammad ibn Yûsuf al-Syahîr bi-Abî Hayyân al-Andalûsî (w. 745 H), dalam kitab tafsirnya, al-Bahr al-Muhîth, menjelaskan arti ulî al-abshâr, ”…dzawî al-‘uqûl al-salîmah al-qâbilah li-al-i‘tibâr”, yaitu orang yang mempunyai akal yang sehat yang (bisa) menerima suatu pelajaran (Muhammad ibn Yûsuf al-Syahîr bi-Abî Hayyân al-Andalûsî, al-Bahr al-Muhîth, tahqîq ‘Abd a-Ahmad ‘Âdil Ahmad al-Maujûd, dkk., Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993, Juz II, hlm, 413).

 

Dengan memahami sejarah, seperti sejarah Peradaban Mesir Kuno, yang begitu tinggi nilainya, seperti Piramida dan Sphinx di Giza, kuil-kuil (tempat peribadatan), irigasi, serta mumifikasi, menjadikan kita semakin mengetahui dan menyadari betapa besar Kemahakuasaan Sang Pencitpa Semesta Alam, Allah SWT. Jadi, memahami sejarah mengajarkan kepada kita agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah terdahulu, berupa kemajuan yang telah dicapai, dan dalam rangka untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat dan bangsa kita saat ini dan ke depan. Kemajuan dalam pengelolaan air, irigasi, dan arsitektur Peradaban Mesir Kono penting dijadikan pelajaran berharga bagi kita.

 

Urgensi air bagi kehidupan dan ritual keagamaan telah begitu mafhum, sebagaimana dalam ajaran Islam, sehingga pembahasan terkait air untuk bersuci (thaharah) ditempatkan di bagian awal dalam kitab-kitab fikih. Penting ditegaskan bahwa dalam Islam, air menjadi milik publik, selain api (enerji) dan padang rumput, yang harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Nabi SAW bersabda:

 

اَلنَّاسُ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلَاثَةٍ: فِي الْمَاءِ وَالْكَللَأِ وَالنَّارِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ).

 

Artinya: Manusia bersama-sama mempunyai hak memanfaatkan tiga macam (kekayaan alam), yaitu air, ladang rumput (tanaman) dan api (energi) (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

 

 

Bergerak Progresif Menatap Masa Depan

Mempelajari masa lalu menjadikan kita berpikir dan bergerak untuk kehidupan yang lebih maju (progresif). Keadaan dan peradaban masa kini dan masa depan seharusnya lebih maju dari peradaban masa lalu, bukan sebaliknya menjadi lebih mundur. Era informasi, media digital dan media sosial (medsos) saat ini harus dimanfaatkan untuk kemajuan, bukan untuk menyebarkan hoax (hoaks), berita palsu, kebohongan ataupun fitnah, yang justru mengakibatkan stagnasi (jumûd) dan kemunduran suata bangsa dan negara.

 

Dalam sebuah grup Whatsapp, penulis mengkritik adanya stagnasi atau kejumudan berpikir akibat pemahaman yang tekstualis, dan lebih menggunakan teks-teks fiqih klasik, daripada menekankan substansi (maqâshid) ajaran Islam itu sendiri. Padahal hal ini telah diingatkan oleh Imam al-Qarâfî (1228-1285 M):

 

الجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين

 

Artinya: ”Senantiasa terpaku (stagnan) pada teks pendapat ulama terdahulu adalah suatu kesesatan dalam agama dan ketidakmengertian terhadap maksud yang diinginkan para ulama terdahulu” (Al-Qarâfî, Kitâb al-Furûq Anwâr al-Burûq fî Anwâ‘ al-Furûq, 2001, h. 314).

 

Sebagai contoh, setiap tahun, di Indonesia, masih saja dan terus bermunculan pembahasan hukum yang mengharamkan ucapan selamat natal kepada umat Kristiani, padahal konteks situasi dan kondisi kehidupan saat ini sudah mengalami perubahan drastis; sistem kenegaraan tidak sebagaimana sistem kenegaraan yang dirumuskan dalam fiqih klasik, yang membuat kategorisasi negara menjadi daulah islâmiyyah (negara Islam) dan daulah kuffar (negara kafir/non Islam), di mana terdapat klasifikasi kelompok kafir harbi, kafir dzimmi, dan kafir musta’man/kafir mu‘âhad. Negara Indonesia menganut sistem demokrasi, dengan model nation states (negara-bangsa), di mana setiap warga negara mempunyai kedudukan dan status yang sama, dalam konstitusi (UUD NRI 1945).

 

Lebih dari itu, bangsa dan negara lain sudah berpikir maju dan menemukan inovasi. Sebagai perenungan bagi kita bersama: ”Ilmuwan Cina sudah berhasil melakukan inovasi matahari buatan, 10 x lipat panas inti matahari, dan ilmuwan AS sudah bisa otak-atik harga bumi, ajaib bin ajaib, orang Indonesia masih muter-muter hukum seputar natalan.” Bahkan Uni Emirat Arab (UEA) sudah mampu mengorbitkan pesawat ruang angkasanya, bernama Amal (Hope), yang berarti ar-rajâ’, optimisme (harapan) ke Mars, pada 9 Februari 2021, untuk observasi kemungkinan kolonisasi penghunian manusia di Planet Merah ini.

 

Dus, kita penting mengimplementasikan jargon progresivitas dalam Nahdlatul Ulama (NU):

 

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح (وزاده كياهي الحاج معروف أمين رئيس الشورية العامة لجمعية نهضة العلماء سابقا: والإصلاح إلى ما هو الأصلح ثم الأصلح فالأصلح)

 

”Menjaga (melestarikan) sesuatu (peradaban) lama yang baik (maslahat), dan mengambil sesuatu (peradaban) baru yang lebih maslahat (dan ditambahkan oleh KH Ma’ruf Amin, Rais Aam Syuriyah PBNU [2015-2019]: dan Berkreasi atau berinovasi kepada sesuatu yang lebih maslahat, lebih bermaslahat lagi, dan paling maslahat).”

 

 

 

Ahmad Ali MD, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI-MUI), Pemateri Keislaman di Tiga Benua (Asia, Afrika dan Eropa)