Semesta Sabda
PEMBELAAN ATAS FILSAFAT ALA PESANTREN Peresensi : Puji Hartanto* Filsafat di dunia pesantren merupakan satu kajian yang belum tersentuh. Mungkin di beberapa pesantren masih mempopulerkan pendapat ulama kawakan, seperti , Ibnu Sholah yang berkata "Barang siapa yang berlogika-berfilsafat maka dia dihukumi kafir zindiq" terlebih Imam al-Ghazali yang karya-karyanya dijadikan simbol spiritual tertinggi di dunia pesantren, menulis suatu karya yang mungkin bagi kaum santri mungkin begitu kuat menancap. Di benak, Tahafut al-Falasifah (kerancauan para filsuf). Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau sampai saat ini pesantren masih terlalu menyibukan diri pada Tafakkahu fi ad-din (memahami ilmu agama) sambil membuang arti penting dunia.
Singkat kata, filsafat didunia pesantren masih merupakan sesuatu yang asing. Bahkan sebagian kiai masih berpendapat bahwa filsafat adalah anak haram hasil perselingkuhan orang-orang Yunani dengan para cendikiawan muslim. Semesta Sabda, Novel filsafat yang ditulis oleh Fauz Noor sebagai kelanjutan novel pertamanya "Tapak Sabda" mencoba untuk membidik masalah-masalah yang selama ini kurang diperhatikan oleh para ulama kita khususnya di dunia pesantren. Misalnya dalam suratnya kepada "Sabda" di bab Bahasa Langit, Bahasa Bumi, disitu kita akan menemukan topik bahasan mengenai divinisi agama (ad-din). Selama ini ulama mendevinisikan agama sebagai ‘ketentuan-ketentuan Tuhan yang mendorong siapapun yang berakal untuk berbuat baik didunia maupun diakhirat" Menurut "firman" si penulis yang menempatkan diri sebagai pengirim surat misterius kepada "Sabda", definisi tersebut masih terlalu abstrak. Yaitu dengan menafikan keberadaan akal, padahal menurutnya, akal adalah sesuatu yang real. Disini "Firman" melakukan pembelaannya terhadap filsafat dengan mengutip hadist Nabi yang artinya: "bahwa ad-din (agama) itu akal dan tidak ada ad-din (agama) bagi orang-orang yang tidak berakal". Kemudian "Firman" mengartikan bahwa ketundukan itu akal dan tidak ada ketundukan bagi orang-orang yang tidak berakal. (hlm 78) Dari sini, kemudian "Firman" merumuskan satu kemestian berfikir, keharusan berfilsafat, bahwa sekuat apapun kita berfikir, pada akhirnya akal akan bertemu dengan ke absurdan. Sebab, al-Qur’an sendiri berkata "Kehidupan dunia itu hanya permainan dan senda gurau" (Q.S al-An’am ayat 32).
Kemudian ia mengartikan inti dari risalah muhammad, ad-din al-Islam, dengan filafat proses, dimana din
Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB