Oleh HM. Nasruddin Anshoriy ChÂ
Jika puisi ini hanya mampu menjeritkan luka
Seperti fosil purba
Kujadikan prasasti semua kekecewaan ini atas namamu
Saat detak arloji hanya menambah kelu jiwakuÂ
Ketika lembar kalender begitu cepat berlaluÂ
Hanya doa-doa renta yang kukirimkan padamu
Matinya kemanusiaanÂ
Genosida yang merayakan pesta
Menjadi desing dan hujan peluru di rongga dadakuÂ
Rohingya telah menjeritkan ajalnyaÂ
Tanpa kain kafan dan tanpa pusara
Maafkan kami RohingyaÂ
Jika doa berkarat ini hanya tercekat di tenggorokan saja
Bukankah cinta dan kemesraan akan menaburkan kilau cahaya?
Kubungkus tragedi kemanusiaan ini dengan kata-kata dan fatwa yang telah mampus
Sebab wajah Rohingya telah begitu penuh dengan sayatan luka
Dan dunia hanya bisa diam atau tertawa dengan luka-lukamu ini
Maafkan kami RohingyaÂ
2017Â
Doa untuk Pengungsi RohingyaÂ
Dengan terus menyebut 99 nama indahMu
Dengan selalu memuji dan memuja keagunganMu
Hari ini kuhaturkan haru-biru dalam doaku
Tuhanku
Mata batinku berkaca-kaca menyaksikan petaka ini
Nestapa saudaraku bangsa Rohingya yang terusir atau diusir dari negerinya
Menjadi pengungsi untuk menghindari perang dan kezaliman
Meninggalkan tanah airnya untuk mencari suaka dan rasa damai
Rohingya adalah manusia
Tapi kedurjanaan telah merendahkan martabatnya
Diburu dengan desing peluru
Dianiaya dengan segala jenis senjata
TuhankuÂ
Hari ini telah kusaksikan kemanusiaan yang dihinakan
Kemanusiaan yang dikremus atas nama kekejian
Justru oleh manusia sebangsa dan setanah airnya
Dunia sudah seharusnya terjaga dari teror dan horor memilukan ini
Umat manusia dimana pun berada harus terusik dengan ulah tangan-tangan kotor ini
Saat rasa kemanusiaan telah dinistakan
Mimpi buruk harus diakhiri
TuhankuÂ
Lidahku kelu mengucap salam dan rindu
Terapung di kelopak mataku nasib para pengungsi Rohingya itu
Perempuan renta dan bayi tanpa dosa
Harus tersapu badai saat berlari dari negerinya
Bukankah agama tidak mengajarkan kekerasan dan tipu-daya?
Bukankah agama hanya mengajarkan kebajikan dan kasih-sayang pada sesama walau berbeda etnis dan agamanya?
Kucium daging terbakar dari negeri MyanmarÂ
Kemanusiaan yang memar oleh agama yang ingkar
Kenapa api kesumat dan nyala dendam harus berkobar?
Takbirku membiru di pucuk lidahku
Takbirku membiru dalam dadaku
Meratapi kedegilan dan kegilaan ini
Myanmar terus mencakari nalar dan getar keimananku
TuhankuÂ
Tancapkan kuku keadilanMu
Mekarkan wangi bunga pada bumi MyanmarÂ
Taburkan biji tasbih dan kedamaian pada bangsa RohingyaÂ
Rasa damai dan kemerdekaan yang sejatinya
Amin
2017
Penulis biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.
Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.
Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.
Â