Pustaka

Diskursus Pemikiran Antargolongan

Ahad, 12 Oktober 2008 | 23:00 WIB

Judul Buku: Debat Khilafiyah, dari Tawasul hingga Piagam Jakarta
Penulis: Mukhlas As-Syarkani Al-Falahi
Penerbit: LTMI NU, Jakarta
Cetakan: 1, Agustus 2008
Tebal: (VI + 211) halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Dalam perjalanan sejarahnya, NU selalu memberikan kontribusi yang besar kepada negara dan agama. Tidak saja di medan perjuangan fisik dan politik NU berperan, namun juga tidak kalah penting di medan tegaknya Islam rahmatan lil ’alamin, yang menjadi isu penting pada International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ke-3 awal Agustus lalu, dengan cara melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sampai ke dunia internasional, sehingga di bidang budaya dan amaliah pun NU tetap toleran.<>

Buku Debat Khilafiyah, dari Tawasul hingga Piagam Jakarta, sangat ”menggelitik” warga NU. Mereka yang pada Orde Baru diserang, dipojokkan, dipinggirkan, bahkan dalil-dalil amalannya yang merupakan aktivitas sehari-hari selalu diperdebatkan. Bahkan, masjid-masjid yang dibangun dengan jerih payah dan dana dari merogeh kocek kantung pribadi para warga nahdliyin pun direbut beberapa oknum aliran-aliran baru “Islamisme”.

Tidak tanggung-tanggung untuk meresahkan kaum muslimin, terutama warga NU, muncul buku karya Mahrus Ali berjudul, Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik. Amalan warga nahdliyin dianggap perbuatan syirik, menyesatkan dan kufur.

Semua peristiwa itu direkam apik oleh penulis Mukhlas As-Syarkani Al-Falahi, penulis buku keagamaan yang paling produktif di Malaysia. Dia juga lebih mendetil mengulas bagaimana tata ibadah umat Islam di Indoensia. Dia bisa membandingkan secara faktual. Isinya mengenai yang sedang hangat diperdebatkan di tingkat masyarakat, baik kelas bawah, menengah, atas. Khususnya perdebatan amalan-amalan yang dilakukan warga NU.

Perdebatan furu’iyah yang terjadi pada warga NU menjadi menu utama dalam pembahasan buku ini. Misal, soal amalan tawasul yang telah diamalkan sejak zaman Nabi Muhammad, kemudian dilanjutkan para Sahabatnya, tabiin, para ulama mazhab dan sampailah pada zaman sekarang ini, kini mulai dipersoalkan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pemberantas TBC (takhayyul, bid’ah, churafat).

Belakangan, gerakan yang menyebut dirinya pemberantas TBC itu juga diperkuat kelompok yang menamakan gerakan Salafi. Gerakan Salafi dan gerakan anti-TBC ke mana-mana, dalam berceramah, hanya khusus menghabisi amalan-amalan ibadah masyarakat dengan tuduhan bid’ah, khurafat dan sesat.

Banyak orang yang salah dalam menyikapi permasalahan berstatus ”khilafiyah”. Banyak orang yang tatkala mengahadapi khilafiyah, memilih sikap tidak mau mencari pendapat yang benar. Ia menetapkan keputusan untuk tidak mau mempelajari yang sebenarnya. Sehingga bersikap acuh, kurang menghargai terhadap pendapat orang lain.

Tidak semua khilafiyah itu bisa diberikan toleransi dan bisa dimufakati. Kita hanya wajib memberi toleransi dan saling menghargai pendapat yang ada pada khilafiyah yang mu’tabar (yang menjadi perhatian serius yang sedang diperlukan solusinya dalam kehidupan sehari-hari). Jika pada semua khilafiyah kita memberikan toleransi, maka sungguh kacau agama ini. Misal, salat wajib lima waktu, kemudian ada yang mengatakan tidak wajib. Ini yang tidak ada toleransinya, bahwa salat itu wajib bagi seluruh umat Islam.

Debat khilafiyah sesungguhnya adalah belajar demokrasi untuk menghargai pendapat orang lain, bukan berdasar pada rasa benci, ingin menyindir atau mengumbar hawa nafsu. Jika harus dengan cara diskusi, maka lakukan diskusi dengan cara yang baik, santun dan menghargai pendapat orang lain, sebagaimana yang dikatakan Imam Abu Hanifah, qauluna shahihun yakhtamilu al- khata’, wa qauluhum al-khatha’ yahtamilu al-shahih (pendapat saya bisa benar, bisa salah, dan pendapat kamu bisa salah, bisa benar).

Buku ini, secara tidak langsung, juga memperkuat nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah dalam perspektif amalan sehari-hari warga NU yang sudah jadi pegangan, di antaranya, ziarah kubur, jumlah rakaat tarawih, talqin, bid’ah, perayaan Maulid Nabi, yasinan, tradisi haul, istighasah, dan lain-lain dengan metodologi debat khilafiyah antaraliran yang berbeda.

Buku ini juga lucu, karena membuat Anda akan tertawa, semakin renyah untuk ditertawakan. Maksudnya bukan ditertawakan dalam arti dilecehkan, tetapi tertawa karena ada faktor lucu. Juga diiringi perdebatan pengetahuan yang berbeda, tapi dengan cara homuris, mengungkapkan referensi dengan dalil masing-masing kelompok dan kadang-kadang tegang. Cara pengungkapannya pun gagah berani, tanpa tedeng aling-aling. Semua diungkap secara jelas, jernih, dan memikat. Fakta yang benar-benar terjadi di tengah realitas kemajemukan kehidupan kita, khususnya umat Islam.

Sesungguhnya, amalan-amalan zikir dan salawat yang sudah mengakar dalam tradisi NU, karena memang memiliki dasar dan argumentasi yang kuat sesuai dalil-dalil yang ada, juga tidak gampang terkecoh dan terprovokasi oleh tulisan-tulisan yang menyudutkan praktik/amaliah yang selama ini dilakukan kalangan nahdliyin sebagai mayoritas umat Islam di Indonesia.

Ada orang bilang, tanpa perdebatan, maka kehidupan tidak akan dinamis. Ada kalanya pula perdebatanlah yang mengawali sebuah peperangan. Sungguh mendebarkan.

Peresensi adalah Pegiat Buku, Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur