Pustaka

Gus Mus Bicara Nasib Rakyat

Ahad, 28 Desember 2008 | 23:00 WIB

Judul Buku: Kompensasi
Penulis: A. Mustofa Bisri
Penerbit: Mata Air Publishing
Cetakan: Februari 2008
Tebal: x+ 312 halaman
Peresensi: Ahmad Shiddiq Rokib

Dalam motto buku ini tertulis, “Mungkin akan jumpai empat macam orang; orang tahu dan tahu bahwa dia tahu, bertanyalah kepadanya; Orang yang tahu dan tidak tahu bahwa dia tahu, ingatkanlah dia; Orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dia tidak tahu, ajarilah dia; orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu, tinggalkanlah dia”.  Bisa dikata mencerminkan kegelisan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus pada realitas sosial.<>

Betapa tidak, di tengah tertapaan sosial, politik, dan himpitan ekonomi, rakyat Indonesia makin tak berdaya. Rakyat mengalami goncangan psikologis, dan penguasa tidak peka pada keadaaan yang sedimikian berat tersebut. Ada banyak kebijakan tidak pro-rakyat  dan wakil rakyat masih jauh yang diharapkan.

Buku Kompensasi, kumpulan tulisan Gus Mus ini menjadi kompensasi tersendiri bagi rakyat Indonesia. Meski istilah kompensasi menjadi popular bersamaan dengan kebijakan yang tidak populer dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), pengertiannya tidak sesempit itu, di samping sebagai obat terapi bagi penguasa yang sering kali kebijakannya terjebak realitas politik.

Membaca buku ini, bisa diterka dengan ibrah motto di atas; ada tipe orang yang tahu bahwa dia tahu, bertanyalah. Bisa kita maknai, Gus Mus sendiri dalam berdakwah sering dimintai pendapatnya tentang perkara sehari-hari, baik rakyat, penguasa dan ulama sendiri. Tapi sang empunya tetap menempatkan diri pada porsi sangat sederhana, dan  tidak memanfaatkan kehormatan yang didapatkan untuk mencari keuntungan di balik kebutuhan orang yang membutuhkan dengan diam seribu bahasa bukan berarti tidak peka melihat realitas atas kedzaliman yang merajalela.

Menjadi bukti bahwa Gus Mus patut menjadi rujukan bertanya bisa dilihat pada kumpulan tulisan ini. Ia banyak menyampaikan lewat media, dia tidak segan-segan untuk sekedar mengeritik penguasa yang lalim atau menjadi mitra berbagi kesedihan rakyat dengan tulisannya. Hal ini, mungkin dipengaruhi jiwanya yang selalu teduh, luas akan penghayatan ilmu dan jiwa kebudayaannya yang terpatri dalam hati melengkapi kepribadiannya yang santun.

Selanjutnya tafsiran, orang tahu dan tidak tahu bahwa dia tahu, bisa berarti pemerintahdan-wakil rakyat kita sudah tahu nasib rakyat yang selalu tertindas dari kebijakan tapi tidak mau tahu. Dan, ini bisa kita lihat tulisan berjudul kompensasi dan bagaimana geramnya Gus Mus terhadap kebijakan tadi. “Pemerintah eksekutif dan legislatif rupanya belajar dari kenaikan BBM sebelumnya yang tidak diikuti program antikemiskinan yang efektif dan ternyata berdampak sangat luas di masyarakat. Beban rakyat makin terus meningkat karena kenaikan harga pokok. Kalau pun belajar, tapi tidak sampai memikirkan dampak dari kebijakan tadi, baik mental maupun fisik, seperti budaya bergantung dengan menjadikan rakyat malas bekerja dan terjadi keroyokan antarpenerima. (halaman 36)

Orang yang ketiga ini, bisa kita maksudkan pada rakyat Indonesia yang memang dia betul tidak tahu tentang apa dan bagaimana menjadi bangsa dan menjadi manusia seutuhnya. Tentunya karena dia menyadari bahwa dia tidak tahu. Sebagai orang terdidik jangan selalu membodohi tapi sebaliknya bagaimana kita memberikan pendidikan, pengertian, dan menyadarkan bahwa dia manusia yang patut menjadi mendapatkan hak-hak sebagimana mestinya.

Terakhir, menjadi repot jika ada orang tidak dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu, bagaimana bisa? Ya bisalah! Kalau rakyat, penguasa/pemerintah, ulama pura-pura tidak tahu apa yang akan diperbuat untuk bangsa dan kebaikan bersama, meskipun hanya untuk diri sendiri. Orang seperti ini digambarkan Gus Mus dalam tulisan berjudul Fenomena Ada Orang Berkepala Dua, Tikus Berkolusi dengan Kucing dan sebagainya. Sungguh betul-betul tidak tahu apa yang akan diperbuat dirinya sendiri.

Dari macam-macam orang-orang di atas, tentu kita berpikir akan menjadi orang seperti apa kita ini, termasuk orang tahu dan tahu bahwa kita tahu, atau pilihan yang kedua, orang tahu dan tidak tahu bahwa kita tidak tahu atau lebih tepat pura-pura tidak tahu. Kalau pun kita berada termasuk orang yang ketiga juga tidak apa-apa. Karena orang tidak tahu dan tahu bahwa kita tahu, masih ada orang mengingatkan. Tapi, menjadi orang keempat ini, menjadi sangat naif sudah tidak tahu dan tidak bahwa dia tidak tahu, juga  tidak orang mau untuk sekedar mengingatkan kita, karena orang tahu bahwa kita tidak ada gunanya.

Di sinilah, pentingnya membaca buku ini. Untuk sekedar tahu bagaimana macam orang bersentuhan dengan, baik ulama, rakyat, bahkan gaya kepemimpinan penguasa. Patut menjadi pelengkap referensi kita dalam menatap masa depan yang lebih baik. Kalau pun ada kekurangan dalam buku ini, pada sumber tulisan yang dimuat atau disampaikan pada kegiatan apa? Tapi tidak memengaruhi subtansi penyampaikan ide-ide segar Pengasuh Pondok Pesantren Raudhotul Tholibin sekaligus budayawan NU ini. Karena jarang orang seperti Gus Mus, yang berani mengungkap isi hati tanpa ada yang tersinggung. Menariknya, buku ini ditulis dengan khasnya.

Buku ini menjadi kompensasi tersendiri bagi Gus Mus, rakyat Indonesia dan wakil–pemerintah Indonesia. Sekaligus kado bagi bangsa mengalami degradasi di era transisi.

Peresensi adalah Santri Pesantren Luhur Husna dan aktif di Pena Pesantren