Pustaka

Kerancuan Pemikiran Cak Nur

Ahad, 11 Januari 2009 | 23:00 WIB

Judul: Sekularisasi; Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid
Penulis: Prof Dr H Faisal Ismail, MA
Penerbit: Nawesea Press, Yogyakarta
Cetakan I: Desember, 2008
Tebal: 252 halaman
Peresensi: Lukman Santoso Az

Di Indonesia, gerakan pembaruan Islam telah tumbuh sebelum kemerdekaan, terutama pada era 1920-an. Gerakan ini ditandai dengan upaya pemurnian kembali ajaran Islam pada sumber utama, yakni Al Quran dan Hadits. Tokoh-tokoh gerakan ini, antara lain KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Haji Rasul di Minangkabau, dan A. Hassan di Bandung.<>

Selain mengusung tema purifikasi ajaran Islam, gerakan ini juga mewacanakan penggunaan ijtihad dalam pemaknaan teks-teks keagamaan. Mata rantai kesinambungan gerakan pembaharuan Islam itu kemudian terus berlanjut hingga era 1970-an. Pada era ini, salah satu pelopor tokoh pembaharu, Nurcholish Madjid, mengangkat ide sekularisasi. Ia pertama kali mempublikasikan ide pembaruannya itu di majalah Arena dan kemudian mempertegasnya kembali dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Sejak itu, ide pembaruan Cak Nur—panggilan akrab Nurcholish Madjid—semakin populer di ranah Islam Nusantara. Ide pokok yang Cak Nur klaim sebagai sekularisasi itu berangkat dari pola pemikiran dan visi pemahamannya bahwa, "Islam sebenarnya dimulai dengan proses sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran". Cak Nur kemudian memperluas, mengembangkan dan mengelaborasi ide pembaruannya sekaligus menjustifikasinya dengan cara pandang dan pemahamannya sendiri terhadap ajaran-ajaran Islam.

Dari situ kemudian lahirlah gagasan turunannya yang Cak Nur klaim sebagai ide ‘rasionalisasi’ dan ‘desakralisasi’ yang tidak terpisahkan dari ide sekularisasinya. Ide sekularisasi inilah kemudian yang membuat banyak kalangan muslim merasa shock, kaget, terkejut, dan terombang ambing, sekaligus menimbulkan kontroversi.

Buku ini merupakan respons sekaligus catatan kritis-konstruktif Ismail Saleh terhadap ide sekularisasi Cak Nur tersebut. Sebelum Ismail Saleh, sebenarnya sudah banyak kritik yang dilontarkan para pemikir Islam Indonesia terhadap kerancuan gagasan sekularisasi Cak Nur ini, baik melalui buku atau lewat berbagai karya ilmiah lain. Prof H M. Rasjidi (1972) salah satunya, dalam buku "Koreksi terhadap Drs Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi". Rasjidi mengeritik keras cara-cara Cak Nur dalam menggunakan istilah yang dapat menimbulkan pengertian yang menyesatkan di kalangan muslim.

Dengan mengampanyekan "sekularisasi", menurut Rasjidi, Cak Nur telah melukiskan seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti Tauhid. Padahal, istilah sekularisasi merupakan istilah yang ‘mapan’ dan tidak bisa begitu saja digunakan secara serampangan. Apalagi, istilah yang muncul dalam latar belakang tradisi Kristen-Barat itu kemudian dicangkokkan begitu saja ke dalam khazanah tradisi Islam.

Cangkok mencangkok satu istilah–tanpa melalui proses adopsi dan adapsi yang tepat–akan menimbulkan dampak yang fatal. Karena masing-masing peradaban memiliki konsep-konsep khas yang disimbolkan dalam istilah-istilah yang khas pula. Misal, istilah ‘syahadat’, ‘taqwa’, ‘sholeh’, ‘salaf’, ‘tajdid’, dan sebagainya, merupakan istilah yang khas dalam khazanah peradaban Islam.

Selain Rasjidi, Ahmad Wahib (1981), juga melontarkan kritikan tentang kerancuan gagasan sekularisasi Cak Nur yang simplistik itu. Dalam buku "Catatan Harian Ahmad Wahib", ia menuturkan, "Adalah kurang terus terang bila Nurcholish mengartikan sekuler semata-mata dengan dunia atau masa kini dan sekedar mengatakan bahwa semua yang ada kini dan di sini adalah hal-hal sekuler: nilai sekular, masyarakat sekular, orang sekular dan lain-lain." Dari berbagai kritik ini, lantas apa sebenarnya yang membedakan gagasan yang ditulis Ismail Saleh ini dengan buku-buku sebelumnya?

Melalui buku ini, Ismail Saleh dengan latar belakang keilmuan yang mapan dan juga pernah menjadi salah satu mahasiswa Cak Nur di McGill University ketika menyelesaikan studi doktor, berupaya membongkar secara lebih gamblang kerancuan-kerancuan pemikiran Cak Nur. Kritik yang ditulis Ismail dalam buku ini tidak sebatas pada kerancuan ide sekularisasinya Cak Nur yang telah dikritik para pemikir Islam, tetapi juga mencakup akan kesalahan pemaknaan semantik, latar belakang kerancuan ide sekularisasinya, serta poin-poin penting yang mengiringi ide sekularisasi itu. Khususnya gagasan Cak Nur tentang peniadaan Tuhan dalam kalimat syahadat (pertama) yang bersifat terbatas (tidak mutlak), tentang tauhid yang merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran, tentang pembagian sekularisasi menjadi dua macam (sekularisasi yang dilarang dan sekularisasi yang diperintahkan) serta tentang ilmu pengetahuan bersifat otonom (terpisah dari masalah-masalah keagamaan).

Cak Nur yang mengatakan bahwa peniadaan tuhan dalam kalimat syahadat itu bersifat terbatas (tidak mutlak) tidak sejalan dengan ajaran Islam yang memberlakukan makna, esensi dan tujuan syahadat itu secara mutlak (tidak terbatas). Jika sifat dan nilai terbatas ini diterapkan kepada peniadaan tuhan dalam kalimat syahadat, maka esensi makna dan jangkauan tujuan syahadat itu bersifat terbatas karena dibatasi ruang dan waktu serta terkait dengan kondisi-kondisi tertentu. Yaitu sebatas untuk membebaskan animis dari kepercayaan lamanya. Padahal, sejatinya, menurut Ismail, tidak ada Tuhan yang sah dan wajib disembah oleh orang Islam selain Allah. Seorang muslim, mutlak mempertuhankan Allah, karena peniadaan tuhan dalam kalimat syahadat yang dilafalkan itu bersifat mutlak, tidak terbatas. Karena itu, kalimat syahadat hendaknya dipahami tidak saja dari pengertian linguistik tetapi juga dari segi pemaknaan teologis.

Inkoherensi dan konfusi berpikir Cak Nur menurut Ismail juga tercermin dalam pernyataannya, "maka dengan tauhid itu, bagi seorang animis, terjadi proses sekularisasi secara besar-besaran." Dari argumentasi ini, Cak Nur tampak masih memandang animis yang beralih ke kepercayaan tauhid itu tetap sebagai animis, sehingga pemahamannya terlihat rancu. Maka, dari sinilah asal muasal, letak dan sumber kerancuan pemikiran Cak Nur semakin menyebabkan terjadinya tumpang tindih baik secara terminologi maupun segi substansi pemikirannya. Meski terkait hal ini, banyak kalangan menilai bahwa akar kontroversi tersebut sebenarnya hanya berkisar pada masalah semantik (arti sekularisasi itu sendiri).

Akhirnya, buku ini menjadi sangat penting untuk dibaca. Bukan sekadar menambah wawasan keilmuan seputar gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, tetapi juga menjadi referensi penting untuk mengetahui sejauhmana sebenarnya kerancuan dari konsep ‘sekularisasi’ Cak Nur hadir di tengah-tengah arus pembaruan pemikiran Islam Indonesia. Terlepas dalam pemahaman Cak Nur bahwa sekularisasi memperoleh maknanya dalam desakralisasi segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah (transendental), hanya belantara pemikiranlah yang akan bicara, apakah Cak Nur dengan segala ‘sekularisasinya’ akan dipuja atau justru terkubur bersama lembaran masa lalu?

Peresensi adalah Penikmat Buku dan aktivis Lakpesdam NU DI Yogyakarta