Pustaka

Mendialogkan Toleransi dan Perdamaian

Senin, 27 Desember 2010 | 05:18 WIB

Judul: Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian
Penulis: KH. Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Penyunting: The Wahid Institute & Soka Gakkai Indonesia
Tebal: xxvii + 310 halaman
Peresensi: Nur Huda*


Buku Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian ini merupakan karya terakhir alamarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sebuah buku yang berisi dialog inspiratif antara Gus Dur dengan tokoh besar asal Jepang Dr Daisaku Ikeda yang juga merupakan Presiden Soka Gakkai International saat ini.<>

Pemikiran dua tokoh besar dalam buku ini, berasal dari dua kebudayaan berbeda, Indonesia dan Jepang, sekaligus dua agama besar dunia: Islam dan Buddha. Isi dialog mengenai pelbagai persoalan dunia, mulai dari persahabatan dan pertalian kebudayaan antara Indonesia dan Jepang, toleransi antarumat beragama, pendidikan, hak asasi manusia, hingga tantangan-tantangan dunia pada masa depan.

Membaca buku setebal 310 halaman ini, akan membawa kesimpulan pada pembacanya bahwa kedua tokoh ini memiliki pemahaman dan wawasan yang amat luas. Tak hanya menyangkut kebudayaan Jepang-Indonesia, asal negara keduanya, tapi juga negara-negara di dunia. Di buku itu mereka membicarakan hal yang mungkin dianggap remeh temeh hingga perkara besar seperti wacana membangun peradaban dan perdamaian dunia.

Sebagai pembaca saya terheran-heran ketika mereka membicarakan mengenai bunga dan kembang yang tumbuh di Jepang dan Indonesa. Dari bunga mereka bicara filosofi di baliknya. Kata Daisaku, "Indonesia memiliki banyak jenis bunga seperti kembang sepatu, bougenvil, katleya, wijayakusuma dan raflesia". Gus Dur menimpali, "Di Indonesia bunga flamboyan adalah bunga yang dijadikan sebagai tanda akan menjelang masuknya musim hujan. Saat flamboyan berwarna merah berkembang adalah puncak hari-hari paling yang panas. Saat bunganya berguguran dan tersisa daun-daun berarti mulai masuk musim hujan. Kalau di Jepang, saat bunga sakura berkembang menandakan akan datangnya musim semi, bukan?"

Ikeda menimpali lagi. "Bunga Sakura adalah bunga kenegeraan Jepang. Bunga kenegaraan Indonesia adalah bunga melati, bukan?" Kepada Ikeda, Gus Dur juga menceritakan sejak kecil ia amat menyukai bunga melati. Seperti sering ia dengar, bunga itu bunganya para wali.

Setelah bicara bunga, keduanya lantas bicara musik. Ternyata keduanya punya kesamaan hobi: sama-sama menyukai karya Beethoven Simfoni No. 9 yang dianggap mencerminkan kehidupan penciptanya yang penuh perubahan dan perjuangan keras.

Sebelumnya, seperti disinggung Dewa S. Brata dalam sambutan, melalui pembicaraan Beethoven itu Gus Dur mengungkapkan sesuatu yang ironi tapi penuh makna. Ikeda bertanya pada Gus Dur, "Apakah Gus Dur pernah memendam rasa kecewa dan kesal karena dikhianati?". Dengan santai Gus Dur menjawab. "Terlalu sering dikhianati sehingga tidak merasakannya sebagai tantangan. Nanti akan ada hikmah dari tiap kali terjadinya pengkhianatan itu. Saat saya mengundurkan diri dari jabatan sebagai presiden bulan Juli 2001, saya berjanji akan bekerja untuk demokrasi yang lebih baik. Saat itu saya juga tidak menyesal. Satu-satunya hal yang menyedihkan bagi saya adalah kehilangan beberapa pita kaset musik Ludwig van Beethoven yang secara khusus telah saya koleksi." Gus Dur tertawa. Saat Dewa S. Brata menceritakan itu kembali di sambutannya, sebagian besar peserta tertawa diiringi tempik sorak.

Buku ini terdiri dari tujuh bab: Perdamaian Merupakan Misi Agama, Persahabatan sebagai Jembatan Dunia, Perjuangan dan Pencarian di Masa Remaja, Tantangan Menuju Abad Hak Azasi manusia, Persahabatan Antarbudaya sebagai Sumber Kreativitas, Belajar Toleransi dari Sejarah Islam dan Buddha, Pendidikan Pilar Emas Masa Depan, dan Membuka Zaman Baru. Diberi kata sambutan empat tokoh: Jusuf Kalla, Menteri Pendidikan Mohammad Nuh, Gumilar Rusliwa Somantri, dan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj.

Dialog yang ada di buku ini sendiri sebetulnya merupakan seri dialog yang diterbitkan sejak 2009 secara berseri di majalah Ushio, majalah bulanan Jepang bertiras 400 ribu eksemplar. Sejak September 2010 dialog itu lalu diterbitkan dalam bahasa Jepang dan telah terjual lebih dari 200 ribu eksemplar

Buku ini juga bisa menjadi satu titik kerja penting masyarakat Indonesia dalam melakukan dialog antaragama, antarbudaya, khususnya yang terjadi di dua negara yakni Indonesia dan Jepang.

Dialog dalam buku ini tak lain demi menciptakan toleransi dan perdamaian dunia. Karena, dialog antara kedua tokoh ini memberikan banyak perspektif baru tentang aspek-aspek commonality di antara kedua agama yang sangat penting dalam membangun perdamaian global. Karena itu, dialog di antara kedua tokoh ini selain sangat bermanfaat bagi para penganut kedua agama, juga bagi masyarakat dunia secara keseluruhan, yang hingga kini terus merindukan perdamaian di muka bumi ini.

Berbagai dialog antara Daisaku Ikeda dan KH Abdurrahman Wahid dalam buku ini menunjukkan betapa melalui perjumpaan konkret dua penganut agama berbeda dapat ditemukan persamaan untuk melangkah menuju perdamaian abadi. Perdamaian bukanlah kondisi faktual yang kita terima begitu saja. Perdamaian adalah harapan yang harus diperjuangkan semua pihak.

*Pengajar di Pesantren Al-Hidayah An-Nuriyyah Honggosoco, Jekulo Kudus Jawa Tengah