Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks
Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB
TEORI HUKUM BELUM TENTU PRAXIS
Oleh: Salman Al Farisi*
“Kejenuhan” Sebagai Konteks Awal Penulisan Buku Jujur diakui, sampai sekarang studi hukum di Fakultas Hukum masih berat untuk keluar dari etos nalar hukum konservatif yang membuat “jenuh” pembaca dan pendengarnya. Konservatisisme itu dapat kita rasakan dalam beberapa kecenderungan mereka dalam membaca realitas/fakta hukum. Fakta hampir selalu dimaknai sebagai objek, yang layak diperlakukan sebagai bahan kajian. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau studi hukum di Indonesia masih bergerak elitis-teoritis dan non-praxis yang melibatkan kenyataan yang senantiasa bergerak cepat.Dalam konstruk itulah, buku ini hadir. Hadir bukan sekedar untuk dijadikan diktat kuliah, tapi untuk menggiring arus paradigma studi Ilmu Hukum yang fasis, seperti disebut oleh pengantar Dr Muhammad A.S. Hikam.
Buku ini terkesan ditulis dengan dendam yang menggebu-gebu, karena pengalamannya yang kurang mengasyikkan ketika menjadi mahasiswa. Penulisnya, Anom Surya Putra, sepertinya melakukan “pembongkaran” terhadap segala “nihilisme” studi Ilmu Hukum yang melanda pada struktur nalar-psikologis sarjana ilmu hukum. Melalui eksplorasi Antropologis, studi Ilmu Hukum pada akhirnya diarahkan pada pembacaan isu-isu hukum kontemporer dengan latar kebijakan yang diotak-atik lewat pembacaan bahasa hukum yang direlasikan dengan kuasa, perubahan kultur, dan teknologi-politik.
Kritik yang paling tajam beranjak dari etos visibilitasnya yang lebih besar (istilah ep<>ilog dari Dr Edy Soehardono). Sehingga, bagi peresensi, buku ini agak sulit dicerna dan ruwet bila dibaca di ruang terbuka yang ramai. Demikian keluhan sebagian dari kawan-kawan di Fakultas Hukum UNAIR yang sempat membeli dan membaca buku ini. Efek ini mungkin bisa disebabkan karena content-nya yang berasal dari tulisan-tulisan lepas di beberapa Jurnal.
Namun demikian, dengan gaya “Against Methode-nya” Paul Feyerabend membuat buku ini “lain” dari kebanyakan buku hukum seperti kebanyakan yang cenderung bernalar linear, yang selintas lebih kaya dan menarik untuk “dilakukan/ditulis ulang” ketimbang sekedar di-baca saja. Mirip model Foucaultian yang membongkar lapis pengetahuan/kekuasaan, maka hukum yang berbentuk policy pada dasarnya merupakan wilayah antithesa dari idealisme hukum itu sendiri yaitu menciptakan keadilan. Kurang lebih begitulah kiranya emosionalitas dari buku yang selintas ingin mengajukan banyak hal namun terbata-bata dalam pengungkapan bahasa yuridisnya.
Ilmu Hukum sebagai Le Sens Pratique (Akal/Nalar Praktis)
Ilmu Hukum adalah ilmu praktek, demikian menurut penulis buku ini. Sebuah ilmu yang tidak sekedar membahas masalah teknis peradilan semata, tapi yang lebih penting adalah masalah teknis filosofis. Dalam masa kejayaan Orde Baru, wacana filosofis praktis menjadi sesuatu yang tabu untuk diwartakan, apalagi diargumentasikan. Akibatnya, peserta didik kehilangan otonominya untuk berekspresi dan mengapresiasikan rasionalitas dalam studi Ilmu Hukum. Inilah yang menyebabkan mengapa cendekiawan hukum kurang cermat dan tangkas terhadap kebutuhan sosial yang melingkupinya sehari-hari. Kalaupun dapat, kebanyakan masih asadar. Kuatnya ketidaksadaran ini terkait pula dengan kuatnya anggapan yang mengatakan bahwa ilmu hukum merupakan sebuah disiplin yang berdiri sendiri dan kedap kritik.
Sebagai ilmu praktek, Anom Surya Putra mencoba rengkuh bahasa sebagai gerbang awal dalam mengembangkan penalaran filosofis-pragmatik ke dalam studi ilmu hukum. Menurutnya, Teori Hukum Kritis haruslah disertai pula dengan pembacaan bahasa, linguistik-struktural, hermeneutik dan semiotik-dekonstruk pada kajian hukum publik, yaitu hukum konstitusi. Mengapa harus konstitusi? Sebab di dalam praktek ketatanegaraan, penguasa seringkali menggunakan wacana sebagai proses teknologisasi politik terhadap warga negara. Contohnya, tentang konsep pemerintahan rechtsstaat (Negara Hukum). Bagi siapapun, machtsstaat adalah “common enemy” yang harus dihindari. Argumentasi negara yang dapat kita tangkap adalah bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama dimata hukum.
Namun dalam kenyataan-empiris, argumentasi ini ternyata gagal total. Dalam studi ilmu hukum, keretakan yang menimpa konsep (baca: teks) dengan praktek akan terkuak dengan menggunakan “permainan” bahasa. Permainan bahasa yang digagas oleh Anom Surya Putra bukanlah permainan lingustik Marxian Ortodoks yang harus tampil “heroik”, karena model seperti itu cenderung parsial dan terpaku dengan teks atau terkungkung dalam linguistik strukturalis. Permainan bahasa yang dimaksud oleh si penulis adalah permainan yang dilatari oleh wacana filsafat dan ilmu bahasa yang lebih kritis. Dari sini masalah Negara Hukum (rechtsstaat) dicari persoalannya dalam konteks pembatasan kekuasaan dalam konstitusi yang menurutnya: antara Negara Hukum dan rechtsstaat ternyata seringkali berujung pada konsep tanpa praxis.
Dengan demikian, melalui permainan bahasa, Anom ingin memperlihatkan kepada bahwa rule of law yang “terdekonstruksi” sebenarnya amat bergantung pada permainan bebas dari teks-teks. Karena sebenarnya wacana “Kepastian Hukum” dan “Keadilan” itu tidak ada, tapi bisa di-hadir-kan oleh pembaca secara bebas-sekenanya dan dimana saja. Dan elemen civil society atau political society sebenarnya tidak akan pernah bisa menampilkan rule of law itu, selagi ia tidak bisa menguak tabir kuasa yang terpendam di dalam ruang publik. Karena itu, melalui per
Terpopuler
1
Hitung Cepat Dimulai, Luthfi-Yasin Unggul Sementara di Pilkada Jateng 2024
2
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
3
Hitung Cepat Litbang Kompas, Pilkada Jakarta Berpotensi Dua Putaran
4
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
5
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
6
Ma'had Aly Ilmu Falak Siap Kerja Sama Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan
Terkini
Lihat Semua