Pustaka

Uraian Mbah Sholeh Darat atas Al-Hikam Ibnu Atha’illah

Senin, 7 Maret 2016 | 11:30 WIB

Bernama lengkap KH Muhammad Shalih bin ‘Umar As-Samarani atau yang kemudian dikenal dengan Mbah Sholeh Darat, adalah ulama terkemuka pada peralihan abad ke-20. Beliau merupakan maha guru para ulama besar di tanah Nusantara, seperti KH Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang, Pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta, Pendiri Muhammadiyah), KH Mahfuzh (Tremas), KH. Amir (Pekalongan), Kiai Idris (Surakarta), hingga Kiai Penghulu Tafsir Anom (Keraton Surakarta).

Di samping sebagai pengajar, Mbah Sholeh Darat juga dikenal sebagai penulis profilik kitab-kitab keagamaan dengan menggunakan aksara Arab dalam bahasa Jawa atau masyhur disebut Arab Pegon (billisanil jawi al-mirikiyyah). Kitab yang diterjemah dan disadur diantaranya adalah Matan Al-Hikam karya Ibnu ‘Atha’illah Al-Iskandari (1250 M-1309 M). Tujuan penulisan Arab Pegon yang dilakukan Mbah Sholeh tak lain agar dipahami kalangan awam, terlebih kitab Al-Hikam ini dikenal mengandung bahasan yang sulit, tinggi, serta mendalam.

Buku Syarah Al-Hikam ini begitu terang dalam melakukan terjemahan ke teks bahasa Indonesia. Selain itu, buku ini juga menyertakan teks asli dari tulisan Mbah Sholeh Darat (Arab Pegon), sehingga pembaca yang menguasai Jawa Arab Pegon bisa langsung melakukan kroscek apa dan bagaimana kalam yang telah Mbah Sholeh tafsiri. Karena bisa jadi hasil terjemah tidak sesuai ketika kita merujuk langsung kepada redaksi aslinya. 

Kitab Syarah Al-Hikam yang disyarahi Mbah Sholeh Darat ini menjadi salah satu bacaan wajib bagi siapapun, terutama yang ingin mendalami secara lebih kajian-kajian tentang tasawuf, baik yang falsafi maupun amali. Karena di dalamnya begitu terang—baik secara eksplisit—menjelaskan tahapan-tahapan mengenai syari’at, tarekat, dan hakikat. Sehingga kalangan awam dapat mencernanya dengan baik.

Salah satu contoh kajian tasawuf, pada hikmah pertama, sebagaimana yang disusun Ibnu ‘Atha’illah menyebutkan, min ‘alamaatil i’timaadi ‘ala al-‘amal, nuqshonu ar-Raja’ ‘inda wujuudi al-zalal” (diantara tanda-tanda bahwa seseorang bertumpu pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan (terhadap rahmat anugerah Allah) ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau dosa).

Menariknya, Mbah Sholeh Darat memberikan beberapa contoh, misalnya. Bahwa amal kita di dunia ini tidak akan mampu menjamin keselamatan seseorang. Karena baik iman ataupun kufur, masuk surga atau masuk neraka, itu semua berkat fadhal (karunia) dan keadilan Allah Swt semata (hlm 3). 

Untuk memperkuat hikmah tersebut, Mbah Sholeh Darat menghadirkan kisah Pendeta Bala’am bin Ba’ura dan Qarun, keduanya merupakan orang ahli ibadah, sementara Qarun sendiri adalah ulama Bani Israil. Namun, dalam ajalnya, keduanya mati dalam keadaan kafir (tidak beriman). Sementara Sayyidah Asiyah binti Muzahim, walaupun menjadi istri Fir’aun—sebagaimana diketahui bahwa Fir’aun adalah penguasa yang zalim, mengaku sebagai Tuhan, sekaligus juga musuh utama Nabi Musa—namun, pada kenyataannya, istri Fir’aun itu menjadi kekasih Allah. Bahkan, Mbah Sholeh Darat menyebutkan Saayidah Asiyah tersebut pada akhirnya nanti akan menjadi istri Rasulullah Saw saat di surga. Selain itu masih banyak yang dicontohkan oleh Mbah Sholeh atas syarahnya kitab Al-Hikam ini. 

Meski demikian, buku Syarah Al-Hikam ini tidak secara menyeluruh mensyarahi matan Al-Hikam karya Ibnu ‘Atha’illah. Mbah Sholeh Darat hanya meringkas sekira 2/3 atau 137 pesan hikmah dari 264 hikmah. Dengan tujuan, supaya masyarakat awam lebih mudah mempelajari serta mengamalkan. 

Mbah Soleh yang juga dikenal sebagai guru RA. Kartini ini, mulai melakukan penerjemahan pada tahun 1289 H/1868 M. Walaupun dengan jarak yang relatif lama tersebut, tidak kemudian buku ini menjadi usang, tidak menarik untuk didiskusikan kembali. Justru, semakin lamanya kitab itu dikarang, semakin menarik untuk dibaca dan dikaji ulang. Lebih-lebih, ketika dihadapkan pada dunia modern saat ini.

Mengingat kitab Al-Hikam adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap realitas dunia yang terjadi saat ini. Di era globalisasi seperti sekarang, kita tidak bisa lepas dari pergaulan global yang keras, saling sikut sana-sini. Dan dunia, yang konon dapat menjauhkan diri dari Tuhan, oleh sebagian orang (terutama dari kalangan sufi), sebisa mungkin untuh dijauhi dan ditinggalkan, yakni dengan melakukan suluk zuhud (meninggalkan dunia). 

Namun, disatu sisi, masyarakat kita dituntut agar mampu bersaing di ranah kancah dunia. Umat Islam selama ini jauh tertinggal dari umat-umat yang lain, dengan alasan melakukan zuhud tadi. Hatinya tidak ingin tercampur dengan urusan duniawi. Dunia yang dapat melengahkan dan memperbudak manusia. Namun, bagi Ibnu ‘Atha’illah, profesi dan mencari dunia (sandang, pangan, dan papan) itu penting. Sebagai kendaraan (washilah) untuk menuju rasa syukur kepada Allah. Pemahaman-pemahaman seperti inilah yang perlu diluruskan, supaya umat Islam tidak gagal paham, kemudian mengasingkan diri sepenuhya kepada dunia. 

Mengutip pendapat Gus Dur, kitab Al-Hikam telah menginspirasi lahirnya nama Nahdhatul Ulama. Organisasi Islam terkemuka di dunia ini terilhami dari kalimat Ibnu ‘Atha’illah, “Lataskhab man la yunhidhuka illahhi haaluhu wa laa yadulluka ilahhi maqooluhu” (janganlah engkau jadikan sahabat atau guru orang yang amalnya tidak membangkitkan kamu kepada Allah). Kata ‘yunhidu’ yang berarti membangkitkan pada kalimat tersebut, itulah inspirasinya. Siapa lagi yang bisa membangkitkan kalau bukan para ulama (hlm xvi).

Terlepas dari itu semua, petuah-petuah hikmah dan bijak bestari yang sudah digubah oleh Ibn ‘Atha’illah, yang kemudian disyarahi Mbah Sholeh Darat ini, wajib kiranya dihadirkan kembali untuk menjaga warisan budaya dan pemikiran para pendahulu, ulama nusantara.


Data Buku:

Judul Buku :      Syarah Al-Hikam 

Penulis      :     KH. Sholeh Darat

Penerbit     :      Sahifa

Cetakan     :      Pertama, Januari 2016

Tebal         :      396 halaman

ISBN         :       978-602-1361-61-0

Peresensi   : Muhammad Autad An Nasher, Aktivis Jaringan Gusdurian Indonesia