Syariah

Hukum Mengumbar Masalah Internal Rumah Tangga di Media Sosial

Sabtu, 9 November 2024 | 10:00 WIB

Hukum Mengumbar Masalah Internal Rumah Tangga di Media Sosial

Ilustrasi media sosial. (Foto: NU Online/Freepik)

Di era digital seperti sekarang ini, fenomena mengumbar masalah internal rumah tangga di media sosial semakin merebak. Disadari maupun tidak, tidak sedikit pasangan yang menyebarluaskan konflik keluarga mereka ke ranah publik. Dalam pandangan Islam, menjaga rahasia keluarga, terutama yang melibatkan hubungan suami istri adalah hal yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan.

 

Dinamika dan aneka permasalahan internal rumah tangga sebaiknya diselesaikan secara pribadi antara suami dan istri. Jika mengalami kebuntuan, bisa dibawa ke tingkat keluarga besar dari kedua belah pihak. Hal ini dilakukan demi menjaga kerahasiaan dan kehormatan keluarga, serta memungkinkan penyelesaian masalah dengan cara yang lebih bijaksana dan penuh hikmah, tanpa harus melibatkan pihak luar kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak.

 

Rasulullah ﷺ mengingatkan kita melalui sebuah hadits:

 

إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْأَمَانَةِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

 

Artinya: “Sungguh termasuk amanah yang paling besar di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang suami yang berhubungan dengan istrinya, atau istri yang berhubungan dengan suaminya, lalu salah satu dari mereka menyebarkan rahasianya.” (HR. Muslim)

 

Imam Mudzahiruddin al-Zaydan al-Hanafi dalam kitab al-Mafatih fi Syarhil Masabih menjelaskan, menjaga rahasia hubungan antara suami dan istri merupakan amanah besar yang tidak boleh dilanggar:

 

قَوْلُهُ: «إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْأَمَانَةِ»؛ يَعْنِي: أَوْلَى سِرًّا بِأَنْ يُحْفَظَ هُوَ السِّرُّ الْجَارِي بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ، لَا يَجُوزُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِفْشَاءُ سِرِّ صَاحِبِهِ

 

Artinya: “Sabdanya [termasuk amanah yang paling besar] berarti bahwa rahasia antara pasangan suami istri adalah yang paling layak untuk dijaga. Tidak boleh bagi salah satu dari mereka membocorkan rahasia tersebut kepada siapa pun.” (al-Mudhhiriy, Mudzahiruddin, al-Mafatih fi Syarhil Masabih, [Beirut: Dar al-Nawadir, 1433 H/2012 M], V/248)

 

Hadits lain dari Asma' binti Yazid menceritakan bagaimana Rasulullah ﷺ dengan tegas melarang perbuatan ini. Rasulullah menggambarkan orang yang menyebarkan rahasia rumah tangga sebagai orang yang mempermalukan dirinya sendiri di hadapan banyak orang:

 

«عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَالرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ قُعُودٌ عِنْدَهُ فَقَالَ: لَعَلَّ رَجُلًا يَقُولُ مَا فَعَلَ بِأَهْلِهِ، وَلَعَلَّ امْرَأَةً تُخْبِرُ مَا فَعَلَتْ مَعَ زَوْجِهَا... قَالَ: لَا تَفْعَلُوا فَإِنَّمَا مِثْلُ ذَلِكَ مِثْلُ شَيْطَانٍ لَقِيَ شَيْطَانَةً فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ» [أخرجه أحمد]

 

Artinya: “Asma' binti Yazid berkata bahwa ia berada di hadapan Rasulullah ﷺ ketika Nabi bersabda: 'Mungkin ada laki-laki yang menceritakan apa yang ia lakukan dengan istrinya, atau perempuan yang menceritakan apa yang ia lakukan dengan suaminya... Nabi bersabda: 'Jangan lakukan itu, karena perbuatan seperti itu seperti setan laki-laki bertemu dengan setan perempuan lalu ia menutupi (hubungan) di depan orang-orang yang melihatnya.” (HR. Ahmad)

 

Ibnu Hajar al-Haitami dalam Az-Zawajir memberikan perincian hukum terkait mengumbar rahasia rumah tangga. Ia menjelaskan bahwa ada dua status hukum dalam hal ini, yaitu haram dan makruh. Hukum menjadi haram apabila rahasia yang diungkapkan adalah hal yang sangat pribadi dan seharusnya tetap tersembunyi, seperti keadaan saat berhubungan intim atau saat berdua di ruang privat dan tentu termasuk juga konflik internal antara keduanya.

 

Sebaliknya, jika yang disebutkan adalah hal yang tidak terlalu rahasia seperti makanan yang tidak disuka, hukum tersebut menjadi makruh.

 

وَأَنَّ مَحَلَّ الْحُرْمَةِ فِيمَا إِذَا ذَكَرَ حَلِيلَتَهُ بِمَا يُخْفَى كَالْأَحْوَالِ الَّتِي تَقَعُ بَيْنَهُمَا عِنْدَ الْجِمَاعِ وَالْخَلْوَةِ، وَالْكَرَاهَةُ فِيمَا إِذَا ذَكَرَ مَا لَا يَخْفَى مُرُوءَةً

 

Artinya: “Dan keharaman berlaku apabila seseorang menyebutkan istrinya dengan hal-hal yang seharusnya tersembunyi, seperti keadaan saat berhubungan intim atau dalam keheningan privat. Adapun jika yang diceritakan adalah hal yang tidak rahasia, maka hukum perbuatan tersebut hanya makruh.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Az-Zawajir 'an Iqtiraf al-Kaba'ir, [Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H/1987 M], II: 45)

 

Sementara itu, Imam Munawi menyebut bahwa larangan membocorkan rahasia pasangan suami istri akan berlaku jika hal itu termasuk ghibah.

 

النَّهْيُ عَنْ إِفْشَاءِ السِّرِّ مِنْ قَبِيلِ الْغِيبَةِ أَوْ إِنْ كَانَ مُفَصَّلًا أَوْ بِحُضُورِ النَّاسِ

 

Artinya: “Larangan membocorkan rahasia (antar suami istri) berlaku jika termasuk kategori ghibah (menyebar hal yang tak disukai), atau jika dijelaskan secara rinci (sehingga aspek-aspek dari rahasia itu disebutkan secara jelas dan lengkap) atau di hadapan orang banyak". (Imam Munawi, Faidhul Qadir, Juz II, Halaman 677)

 

Melalui penjelasan tersebut, diketahui bahwa unsur keharaman menyebarkan masalah internal disebabkan satu di antara tiga unsur. Pertama ghibah, kedua terperinci, dan ketiga dihadapan orang banyak. Tanpa perlu berfikir panjang, kita bisa memahami bahwa menyebarkan masalah internal keluarga bahkan memenuhi ketiga unsur itu.

 

Boleh Melaporkan jika Melanggar Hukum

Memandang konsepsi hukum menceritakan konflik keluarga masuk dalam kategori ghibah, tentu hukum ini tidak buta terhadap dinamika. Dalam beberapa keadaan, seorang istri misalnya, boleh menceritakan keadaan rumah tangganya dalam kondisi mendesak.

 

Salah satu contohnya sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar al-Haitami:

 

الْأَصْلُ فِي الْغِيبَةِ الْحُرْمَةُ، وَقَدْ تَجِبُ أَوْ تُبَاحُ لِغَرَضٍ صَحِيحٍ شَرْعِيٍّ لَا يُتَوَصَّلُ إِلَيْهِ إِلَّا بِهَا، وَتَنْحَصِرُ فِي صِحَّتِهِ أَبْوَابٌ: الْأَوَّلُ: الْمُتَظَلِّمُ، فَلِمَنْ ظُلِمَ أَنْ يَشْكُوَ لِمَنْ يَظُنُّ أَنَّ لَهُ قُدْرَةً عَلَى إزَالَةِ ظُلْمِهِ أَوْ تَخْفِيفِهِ

 

Artinya: “Pada asalnya, ghibah itu haram. Namun, bisa menjadi wajib atau boleh apabila ada tujuan yang sah menurut syariat yang tidak dapat dicapai kecuali dengan cara tersebut. Ada beberapa kasus yang membolehkannya, yaitu: pertama, bagi orang yang terzalimi, bagi orang yang terzalimi diperbolehkan untuk mengadu kepada seseorang yang diyakininya mampu menghilangkan atau meringankan kezaliman yang dialaminya.” (Ibn Hajar al-Haitami, Az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kaba'ir, Juz II, halaman 23)

 

Misalnya, seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suaminya. Dalam kasus ini, istri tidak perlu diam saja, ia diperbolehkan mengadukan perbuatan suaminya kepada orang yang bisa memberikan bantuan atau menyelesaikan masalah tersebut, seperti tokoh masyarakat atau pihak berwenang, agar masalah ini dapat diatasi dan tidak berlarut-larut.

 

Tidak berhenti sampai di situ, ketika suami melakukan pelanggaran hukum seperti terlibat dalam kasus pidana, misalnya perjudian atau melakukan pelanggaran syariat seperti perzinahan atau mengajak istrinya untuk melakukan hubungan yang melanggar syariat (seperti liwath, seks bebas atau lainnya), maka istri berhak untuk melaporkannya ke pihak berwenang. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak istri serta menjaga integritas rumah tangga sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan syariat.

 

Pada kesimpulannya, menyebarkan masalah internal rumah tangga, khususnya rahasia yang sangat pribadi, bertentangan dengan prinsip Islam dalam menjaga kehormatan dan keutuhan keluarga. Di era media sosial, pasangan suami istri muslim seharusnya menjaga etika dan menahan diri dari menyebarkan hal-hal yang seharusnya tetap menjadi privasi keluarga. Namun jika suami melakukan pelanggaran hukum, baik hukum negara maupun hukum syariat, maka istri boleh melaporkan suaminya ke aparat penegak hukum.

 

Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah Batuan, Sumenep.