Warta

Gus Solah: RUU Pornografi Akan Memunculkan ‘Polisi Swasta’

Selasa, 23 September 2008 | 01:17 WIB

Jakarta, NU Online
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi yang kemudian akan diikuti penerapannya, dinilai akan memunculkan ‘polisi swasta’ atau ‘aparat penegak hukum ilegal’. Hal itu pasti akan terjadi jika aparat penegak hukum sesungguhnya, yakni kepolisian, tidak dibenahi terlebih dahulu.

Mantan ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Solahuddin Wahid mengatakan hal tersebut kepada wartawan usai acara Silaturrahim dan Diskusi Pemantapan dan Fungsi Dewan Integritas Bangsa di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (22/9) kemarin.<>

Gus Solah—begitu panggilan akrabnya—menjelaskan, salah satu pelaksana UU itu nantinya adalah kepolisian. Sementara, dia menilai, lembaga tersebut belum sepenuhnya tertata dengan baik. Utamanya dari segi jumlah personel dan dana operasional yang ada.

Kondisi yang demikian, lanjutnya, dapat menjadi ‘lapangan pekerjaan baru’ bagi keberadaan ‘polisi swasta’. Setiap warga negara maupun kelompok tertentu akan menafsirkan UU tersebut sekehendak hatinya. Itu berarti telah menggantikan tugas dan peran kepolisian.

“Kalau kita bikin UU yang mengharuskan polisi begini, polisi begitu, tapi dia (polisi) tidak punya dana operasional, nanti yang bergerak polisi swasta. Nanti setiap orang menafsirkan UU semau dia, dan orang yang dianggap melanggar, ditangkap,” terang mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu.

Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, itu menambahkan, pembenahan terhadap lembaga kepolisian juga berarti menyediakan dana operasional yang cukup. “Kalau jumlah polisinya ditambah, dana operasionalnya enggak cukup, kan, enggak bisa jalan juga,” pungkasnya.

“Sama dengan minuman keras, prostitusi remang-remang, yang kalau dibiarkan, akhirnya yang bertindak polisi swasta. Bahaya sekali, enggak boleh, dong. Itu berarti akan terjadi anarki,” imbuhnya.

Selain itu, pinta Gus Solah, semua pihak juga harus melihat apakah keberadaan RUU Pornografi itu tidak tumpang tindih dengan UU lainnya yang berkait dengan upaya pemberantasan pornografi dan pornoaksi.

“Ini masalahnya apa dulu? Masalah Undang-Undang atau masalah penerapan Undang-Undang? Apakah sekarang ini UU-nya tidak cukup, karena UU-nya sendiri tidak mengatur, atau karena UU-nya tidak dilaksanakan? Itu harus dijawab dulu,” paparnya.

Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus RUU Pornografi, Balkan Kaplale, memperkirakan tarik-ulur dan alotnya pengesahan RUU Pornografi akan berujung pada mekanisme pemungutan suara (voting). Sebab, tidak semua fraksi menyetujui pengesahan RUU tersebut.

Namun, Balkan membantah bahwa RUU ini akan disahkan pada 23 September 2008, karena masukan-masukan dari hasil uji publik belum masuk ke Pansus. "Sebenarnya Bamus sudah merancang jadwal. Tapi, secara teknis kami masih butuh masukan dari uji publik demi penyempurnaan RUU ini," katanya. (rif)