Warta

Kalangan Seniman Menilai RUU Anti Pornografi Bermasalah

Jumat, 6 Januari 2006 | 13:12 WIB

Jakarta, NU Online
Sejumlah seniman dan budayawan berkumpul di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jum’at siang (6/1) untuk membahas Rancangan Undang Undang (RUU) anti pornografi dan pornoaksi yang segera disahkan oleh komisi VIII DPR RI. Mereka menyebut forum itu sebagai "Diskusi Meja Bundar."

Para seniman dan budayawan serempak menolak isi RUU, bahkan sebagian besar menolak kehadiran UU anti pornografi dan pornoaksi itu sendiri. Hadir seniman senior seperti WS. Rendra, Putu Wijaya, dan ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Ratna Sarumapait, Rohaniwan Mudji Sutrisno, Dosen Filsafat UI Gadis Arivia, dan Wartawan Senior Rosihan Anwar.

<>

Ketua Panitia Khusus (Pansus) pembahasan dan pengesahan RUU itu, demikian Ratna Sarumpait, meminta kalangan seniman dan Budayawan untuk membicarakan RUU itu, selanjutnya akan direkomendasikan ke DPR. “Inilah alasan diskusi ini, meskipun sebenarnya kita agak terlambat,” katanya.

Lebih dari sekedar ketakutan bahwa kreatifitas seni akan terpasung oleh aturan perundang-undangan, para seniman dan budayawan menganggap DPR tidak peka mengatasi akar persoalan pornografi dan pornoaksi. “Masa hanya gara-gara saya melempar seseorang dengan piring lalu ada larangan membuat piring,” kata salah seorang peserta diskusi membuat semacam analog.

Undang-undang anti pornografi itu jika benar-benar ada, demikian tambah Gadis Arivia, akan menjadikan kaum perempuan sebagai korban utama karena perempuanlah yang pertama kali akan diadili. Menurutnya RUU itu adalah produk dari para anggota DPR yang mayoritas laki-laki yang salah persepsi terhadap tubuh perempuan.

“RUU itu maksudnya membeci perempuan yang seksi karena dianggap erotis. Laki-laki di DPR itu menganggap kami seksi dan erotis, dan kami memang seksi dan erotis, kami menyukuri itu,” kata Gadis Arivia.

Para peserta Diskusi Meja Bundar itu sadar bahwa masyarakat akan merasa tentram dengan kehadiran undang-undang anti pornografi dan pornoaksi. Paling tidak para orang tua khawatir tayangan-tayangan yang flur akan berdampak tidak baik terhadap masa depan anak-anak mereka yang masih berusia dini. Namun undang-undang tidak akan menyelesaikan persoalan, justru akan memunculkan persoalan baru.

Salah seorang yang berbicara paling lantang menolak RUU itu adalah penyair Burung Merak WS. Rendra. Meski dalam RUU anti pornografi dan pornoaksi itu disebutkan sejumlah kelonggaran untuk kegiatan pendidikan, penelitian, seni dan adat, RUU itu sendiri dinilai bermasalah. Menurut Rendra, pendefinisian porno melalui undang-undang mengekang tanggungjawab orang kepada dirinya sendiri.

“Bagaimana dengan orang Dayak yang cawetan itu, orang Papua, bagaimana dengan Bali, bagaimana dengan warisan nenek moyang kita di Candi Borobudur. Anda itu Brutal, tidak berbudaya, sok menang, meremehkan hak orang lain, meremehkan suara hati dan Anda mendukung adanya moral yang mekanis bukan moral yang organis. Memangnya kita ini mesin. Jadi Anda melenyapkan gaya hidup!” kata Rendra dengan suara lantang seperti Burung Merak.

Rendra mengkritik kekurangpekaan para wakilnya di DPR untuk membuat undang-undang yang lebih penting dari pornografi semisal undang-undang untuk kepentingan kedaulatan kelautan Indonesia dan pembangunan infrastruktur untuk usaha kecil dan menengah. “Tidak ada itu undang-undang yang untuk rakyat,” katanya. (anm)