Warta

Kang Said: Ulama NU Tak Pernah Berpikir Jadikan Indonesia Negara Islam

Kamis, 25 September 2008 | 04:12 WIB

Canberra, NU Online
Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) tak pernah berpikir menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Sikap itu bahkan sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Hal itu dapat dilihat dari keputusan Muktamar NU di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 1935.

Demikian dikatakan Ketua Pengurus Besar NU, KH Said Aqil Siroj, dalam ceramahnya pada peringatan Nuzulul Quran yang diselenggarakan Pengurus Cabang Istimewa NU Australia-Selandia Baru di Canberra, Australia, akhir pekan lalu.<>

Kang Said—begitu ia akrab disapa—menjelaskan, pada Muktamar itu, NU mengukuhkan sikapnya bahwa jika kelak sudah merdeka, Indonesia harus dibangun menjadi negara damai yang dapat ‘merangkul’ semua pemeluk agama, golongan, suku, dan lain-lain.

“Keputusannya menyatakan: ‘Kalau Indonesia merdeka, kami menghendaki Indonesia menjadi Darus Salam, bukan Darul Islam.’ (Darus Salam) artinya negara damai, negara yang merangkul semua komponen yang ada: Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, (suku) Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Madura, dan sebagainya,” papar Kang Said.

Keputusan tersebut, imbuhnya, kelak menjadi kesepakatan bersama di antara para pendiri negara ini. Dalam rapat Panitia Sembilan bentukan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945, ditetapkan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila.

“Bapak-bapak (pendiri negara) kita, di antaranya, ada Soekarno yang nasionalis, Agus Salim dari Sumatera, KH Wahid Hasyim yang merupakan ayah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), dan lain-lain, sepakat bahwa negara kita berdasarkan Pancasila,” urai Kang Said.

Kesepakatan yang sejalan dengan sikap NU tersebut, menurut Kang Said, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, di dalamnya telah tercakup nilai-nilai dan ajaran suci Islam.

“Ibarat makan rendang (makanan khas Padang), jangan bertanya: ‘mana santannya?’ Santannya sudah ada di dalam. Di dalam Pancasila sudah ada Al-Quran, sudah ada Islam: (prinsip) keadilan, kesejahteraan, musyawarah-mufakat, dan sebagainya. Itu Al-Quran-nya,” jelas alumnus Universitas Ummul Qurra’, Mekah, Arab Saudi, itu.

Pancasila, imbuh dia, dapat disebut sebagai panduan atau pedoman bagi setiap warga negara dalam berbangsa dan bernegara. Hal itu artinya juga bahwa setiap pemeluk agama, termasuk umat Islam, tetap diakui keberagamaannya. Mengakui Pancasila tidaklah menggugurkan keberagamaan setiap warga negara Indonesia. (rif)