Warta

Lesbumi: Sensor Film Diperlukan tapi Dilakukan Dua Arah

Ahad, 10 Februari 2008 | 05:01 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) Sastrow El-Ngatawi menyatakan, Lembaga Sensor Film (LSF) harus tetap dipertahankan namun beberapa kewenangannya perlu dikurangi.

Hal tersebut menyusul tuntutan Masyarakat Film Indonesia (MFI) awal tahun lalu untuk membubarkan Lembaga Sensor Film (LSF), karena dinilai tidak mencerminkan semangat pembaharuan dan tidak berpihak pada kemajuan perfilman Indonesia. Polemik mengenai keberadaan LSF kini semakin ramai saja.<>

"Kalau LSF dibubarkan lalu yang akan mengontrol film-film kita siapa? LSF harus tetap ada asal tidak bisa semena-mena, seperti punya palu godam, menjadi hakim tunggal," kata ketua lembaga kesenian milik NU itu di sela-sela pagelaran seni kethoprak bersama Gus Dur di lapangan Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, Jum'at (8/2) lalu.

LSF diberntuk bersadarkan amanat UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Menurut Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, LSF antara lain bertugas menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan.

Sementara itu MFI mengajukan keberatan karena beberapa tema, gambar, adegan, atau dialog yang menjadi bagian penting dari alur cerita sering dihilangkan begitu saja oleh LSF.

Menurut Sastrow, proses sensor sebenarnya bisa dilakukan dari dua arah, lembaga sensor dan insan perfilman. Ada juga Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang bertugas memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh perusahaan pembuatan film atau pemilik film Indonesia terhadap film yang ditolak oleh LSF.

"Proses sensor harus tetap melibatkan yang bikin. Kalau misalnya ada adegan yang ditolak mestinya LSF punya tawaran alternatif 'kalau misalnya diubah begini bagaimana, apakah bisa dimainkan dan tidak merubah maksud cerita'," kata Santrow.

Sementara ini, menurutnya, proses sensor hanya dilakukan satu arah sehingga para kreator film malah menyodorkan kreasi secara sembarangan. "Bikin aja yang seronok sekalian nanti juga pasti dipotong," katanya. Proses sensor tidak terjadi secara dialektis.

Sensor film terutama diperlukan untuk tayangan-tayangan yang vulgar, terutama dalam hal kekerasan dan pronografi. Dikatakan Sastrow, aksi teaterikal tidak harus ditampilkan secara vulgar, malahan lebih cantik jika diolah dengan sensasi-sensasi imajinatif.

"Jangan disamakan dengan Barat. Wong mereka itu ada orang telanjang saja sudah biasa. Masyarakat kita berbeda. Selain itu kita sering tidak bisa menempatkan yang emosional dan rasional secara proporsional," katanya.

Sementara itu di saat polemik keberadaan LSF semakin mengemuka, film-film yang "menantang" justru semakin laris, semacam memeroleh momen iklan yang tepat. Sebut saja film "XL-Extra Large" film dewasa tentang seksualitas yang diramu dengan komedi.

"Saya tidak tahu apakah tututan pembubaran LSF yang kemudian diekpos berbagai media itu justru direkayasa oleh fihak MFI sendiri untuk mempromosikan film-filmnya," kata Sastrow. (nam)