Warta

PBNU Tentang Pengambilan Sidik Jari Santri Ponpes

Senin, 5 Desember 2005 | 12:22 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Hasyim Muzadi menentang keras langkah polisi yang mengambil sidik jari santri pondok pesantren untuk membongkar jaringan terorisme di Indonesia. Langkah polisi tersebut tersebut tidak akan menyelesaikan masalah, tapi malah akan memperpanjang masalah, karena langkah tersebut dipastikan akan ditentang banyak kalangan.

”Terorisme bisa diselidiki dengan inteljen. Tidak perlu ada pengambilan sidik jari. Itu malah akan mengusik ketenteman,” kata Hasyim Muzadi ditemui usai memberikan sambutan pada acara pelantikan Pengurus Pucuk Pimpinan Fatayat NU periode 2005-2009 di gedung PBNU, Jl. Kramat Raya Jakarta, Senin (5/12).

<>

Seperti diberitakan sejumlah media massa nasional, polisi telah mengambil sidik jari santri dan pimpinan pondok pesantren di Cimahi Jawa Barat. Langkah polisi ini tidak hanya ditentang oleh ketua PBNU tersebut, tapi juga ditentang ulama dan tokoh lainya, seperti KH. Makruf Amin dan KH. Sayukron Makmun, tokoh NU yang juga pengasuh pondok pesantren Darul Rahman, Jakarta.

Penolakan Hasyim dan sejumlah tokoh NU lainya atas langkah polisi tersebut sangat beralasan, karena ada indikasi polisi menganggap semua pesantren adalah biang terorisme di Indonesia. Padahal, pondok pesantren, terutama yang berada dalam naungan NU selama ini tidak pernah melakukan perbuatan negatif terhadap pemerintah. ”Tidak semua terorisme terkait dengan pesantren. Jadi peran inteljen saja cukup,” tegas Hasyim.
 
Menanggapi adanya keinginan mengubah kurikulum pesantren karena masalah terorisme, mantan Ketua PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur ini juga menentang dengan keras. Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak terpengaruh oleh intervensi pihak asing, termasuk Amerika. Baginya, terorisme tidak selalu terkait dengan pesantren atau agama.

“Itu kan Amerika. Pemerintah tidak usah ikut-ikutan. Jadi tidak perlu ada perubahan kurikulum. Terorisme itu bisa muncul dengan berbagai macam watak, bisa karena suku atau ras,” ungkapnya kepada wartawan usai menghadiri acara tersebut..

Pembelokan Makna Jihad

Saat tampil sebagai pembicara dalam kesempatan tersebut, kiai pengasuh pondok pesantren Al-Hikam, Malang tersebut juga mengatakan, bahwa makna jihad telah dibelokan oleh sejumlah kalangan, sehingga tindakan kekerasan dan terorisme atas nama jihad dan agama marak terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia akhir-akhir ini.”Makna jihad telah dibelokkan. Begitu pula dengan makna qitalí,” ungkapnya.

Pembelokan makna jihad terjadi, lanjut Hasyim, karena sejumlah kelompok di dalam Islam tidak mempunyai manhaj berfikir yang jelas, seperti manhaj berfikir yang selama ini dipakai dan dikembangkan oleh NU. ”Kalau NU punya manhaj berfikir,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menambahkan, manhaj berfikir yang dikembangkan NU sesuai dengan apa yang digariskan oleh para pendirinya. NU selama ini dikenal dengan pemikiranya yang moderat dan nasionalis, namun tetap mempunyai patokan-patokan pengembangan syariat yang jelas, sehingga NU dapat diterima oleh semua kalangan.“NU itu bisa dikenal moderat dan nasionalis, tapi mempunyai patokan-patokan pengembangan syariat,” paparnya.(rif)