Warta HARI BAHASA IBU (1)

Pesantren Istikomah Jaga Bahasa Ibu

Selasa, 21 Februari 2012 | 06:35 WIB

Jakarta, NU Online
Bahasa ibu adalah anugerah dari Allah. Merawatnya berarti bagian dari syukur ni’mat, ”Merawat bahasa ibu juga berarti merawat jatidiri kita,” ujar  budayawan dan sastrawan Sunda Usep Romli H M, saat dihubungi NU Online, Selasa (21/2) terkait  pentingnya merawat bahasa Ibu.

Mantan pengurus Lembaga Ta’lif wan-Nasr PWNU Jawa Barat ini, juga menjelaskan peran pesantren dalam merawat bahasa ibu. Menurutnya, pesantren merupakan lembaga yang melestarikan bahasa ibu para santri.

<>

“Selain karena pesantren berbasis di kampung-kampung, tetapi jauh dari itu, merupakan sebagai strategi budaya supaya ajarannya bisa dipahami oleh masyarakat sekitar,” tambah penulis antologi cerpen bahasa Sunda Ceurik Santri, (tangis santri)  1985, Jiad Ajengan, (Jampi-jampi Kiai, cerpen, 1991), Percikan Hikmah (kumpulan anekdot Islam, 1999), dan lain-lain.

Hal itu juga dilakukan para ajengan yang jadi mubaligh. Usep mencontohkan KH AF Ghozali (alm) yang konsisten menyampaikan ajaran agama melalui bahasa Sunda. Dengan bahasa itu, masyarakat lebih mudah memahami ajaran.

Lebih jauh, Pemimpin Pesantren Raksa Sarakan (Cinta Tanah Air) Garut, Jawa Barat, ini berpendapat, bahasa ibu mesti dirawat dengan bahasa lisan dan tulisan.

Bahasa Arab pada mulanya merupakan bahasa ibu penduduk Arab. Kemudian berkembang jadi bahasa Al-Quran. Lalu dituliskan hingga terawat jadi bahasa komunikasi yang dipakai banyak orang.

Hari Bahasa Ibu berasal dari pengakuan internasional terhadap Hari Gerakan Bahasa yang dirayakan di Bangladesh. Tanggal 21 Februari dinyatakan sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional oleh UNESCO pada tanggal 17 November 1999.

 

Penulis: Abdullah Alawi