Syarif Abdurrahman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Kasus kekerasan yang terjadi di pesantren menarik perhatian Praktisi Milenial Parenting Islami asal Malang, Jawa Timur Hj Nuvisa Rizqid Diiny el-Ulya. Ia menyarankan pesantren memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai lembaga yang ramah anak.
Pengurus pesantren bisa mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 1262 tahun 2024 tentang petunjuk teknis pengasuhan ramah anak di pesantren yang memuat tentang prinsip perlindungan hak anak, tata cara pengasuhan di pesantren, peran dan fungsi pesantren dalam menjaga privasi santri, serta masih banyak petunjuk untuk pengasuhan anak yang benar tertera dalam juknis tersebut.
"Pesantren ramah anak harus memiliki SOP yang jelas untuk mengantisipasi dan mengatasi jika kekerasan terjadi," jelas Nuvisa kepada NU Online, Ahad (17/11/2024).
Dalam pandangannya, pesantren ramah anak adalah upaya untuk menciptakan lingkungan pesantren yang aman, nyaman, tapi juga mendidik. Lingkungan yang aman dan nyaman ini mencakup perlindungan pada santri dari segala bentuk kekerasan baik fisik maupun verbal.
Pengasuh Pesantren Khaira Ummah Malang ini menambahkan, dalam mewujudkan pesantren ramah anak, setidaknya ada lima prinsip dasar yang tidak boleh dilupakan.
5 Prinsip Dasar Wujudkan Pesantren Ramah Anak
Pertama, tidak ada diskriminasi. Kedua, berorientasi kepentingan terbaik anak. Ketiga, hak perkembangan dan kelangsungan hidup. Keempat, partisipasi aktif atau mendengar suara anak. Kelima, tidak ada kekerasan.
"Guru harus punya (minimal mau belajar tentang) kepekaan dan kemampuan memahami perbedaan karakter setiap anak, sehingga mampu menerapkan pendekatan persuasif kepada anak-anak sesuai kebutuhan," jelas Ning Nuvis.
Dia menggarisbawahi, pesantren ramah anak juga bukan berarti santri harus dimanjakan, tapi bagaimana supaya santri diberikan bekal pendidikan yang menekankan pada rasa kasih sayang dengan tetap mengajarkan tentang kedisiplinan.
"Pendidikan di pesantren yang ramah anak diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan usianya," katanya.
Pentingnya Pesantren Memiliki SOP Ramah Anak
Dalam pandangan Ning Nuvis, petunjuk teknis yang termuat dalam SOP memberikan arahan tentang kewajiban masing-masing yang harus dilaksanakan agar konsep pengasuhan ramah anak bisa diterapkan.
Pesantren mempunyai kewajiban melakukan pengasuhan yang layak pada santri disamping program pendidikan yang diberikan pada santri.
Orang tua juga berkewajiban memastikan anaknya diasuh secara layak di pesantren demi terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani ataupun sosial, baik dari segi katakwaan, moral dan kepatuhan, juga dari segi kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipatif anak.
Ning Nuvis memiliki pemikiran, ketika sebuah pesantren memiliki komitmen menerima santri usia anak-anak (18 ke bawah), maka pesantren ramah anak harus mau beradaptasi dengan metode pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan anak.
"Supaya sistem pesantren ramah anak berjalan sesuai yang diharapkan maka pasti harus ada pengawasan dan evaluasi yang dilakukan secara rutin untuk memastikan agar segalanya tetap kondusif. Ini pentingnya SOP," ungkapnya.
Selain SOP, langkah yang bisa dilakukan untuk mewujudkan pesantren ramah anak yaitu dengan penguatan program pendidikan karakter, memberikan pelatihan pada seluruh asatidz dan pengurus untuk memahami psikologi anak sesuai dengan tahap usianya.
Dikatakan, tak kalah pentingnya yaitu harus menerapkan kebijakan tidak menoleransi segala bentuk kekerasan. Sebab dalam memberikan hukuman sekalipun pihak pesantren bisa memberikan hukuman yang mendidik, bukan mengarah pada fisik.
"Pentingnya peran pemerintah untuk mendukung konsep pesantren ramah anak adalah dalam hal regulasi, seperti SOP yang dibuat kementerian. Penyediaan pelatihan dan pendampingan, lalu membantu meningkatkan standar perlindungan anak di lingkungan pesantren," beber Ning Nuvis
Lewat SOP, juga dapat diketahui bagaimana cara membangun komunikasi. Pendekatan kekeluargaan juga penting untuk kebutuhan memperhatikan tangki emosional santri. Hal ini bisa dilakukan dengan menyediakan layanan konseling secara rutin.
Kemudian membangun komunikasi terbuka antara pengasuh, asatidz, pengurus, dan santri sehingga semua santri merasa memiliki ruang yang aman untuk menyampaikan keluhan dan kebutuhan mereka.
Penting juga untuk mengadakan pertemuan antara pihak pesantren dan orang tua secara berkala agar orang tua memahami nilai-nilai yang ditanamkan pada anak-anak selama di pesantren.
Jika di pesantren orang tua memberikan kepercayaannya pada pesantren, maka saat di rumah orang tua juga harus mau memantau perkembangan anaknya agar kebiasaan baik yang sudah didapatkan anak-anak di pesantren tidak berhenti begitu saja.
"orang tua adalah mitra utama pesantren. Dengan itu membangun komunikasi yang baik antara pihak pesantren dan orang tua adalah suatu keharusan," tandasnya.
Terpopuler
1
Khatib Tak Baca Shalawat pada Khutbah Kedua, Sahkah?
2
Masyarakat Adat Jalawastu Brebes, Disebut Sunda Wiwitan dan Baduy-nya Jawa Tengah
3
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
4
Jalankan Arahan Prabowo, Menag akan Hemat Anggaran dengan Minimalisasi Perjalanan Dinas
5
Wacana AI untuk Anak SD, Praktisi IT dan Siber: Lebih Baik Dimulai saat SMP
6
Menag Nasaruddin Umar: Agama Terlalu Banyak Dipakai sebagai Stempel Politik
Terkini
Lihat Semua