Warta

Pesantren Istikomah Jaga Bahasa Ibu (III)

Rabu, 29 Februari 2012 | 07:36 WIB

“Kitab itu mula-mula dibaca kata demi kata dalam kalimat panjang. Tiap kata diterjemahkan melalui logat pesantren, bahasa daerah khas pesantren. Jika selesai satu kalimat, barulah diartikan makna keseluruhannya dalam bahasa yang lazim dipakai sehar-hari,”

Ungkapan KH Saifuddin Zuhri itu menjelaskan proses berbahasa di kalangan pesantren dalam buku berjudul Berangkat dari Pesantren yang terbit tahun 1984.

<>

Di Jawa disebut maknani atau ngapsahi, di Sunda disebut ngalogat. Prosesnya adalah, kitab-kitab kuning bahasa Arab diterjemahkan oleh kiai ke dalam bahasa daerah supaya dipahami para santri. Di kebanyakan pesantren Sunda, agak njelimet. Teks bahasa Arab itu, diterjemahakan terlebih dahulu dalam bahasa Jawa. Lalu dijelaskan dalam bahasa Sunda.

Dari tradisi semcam ini lahirlah karya-karya pesantren yang menggunakan bahasa daerah. Di Jawa misalnya, lahir tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa yang monumental karya KH Bisri Musthofa, Al-Ibriz. Di Cirebon, KH Sanusi Babakan melahirkan kitab-kitab akhlak, fiqih, hingga tauhid berbahasa Cerbonan, dan sebagian ditulis dalam bentuk puisi.

Di Sunda, KH Ahmad Makki menerjemahkan ratusan kitab-kitab kuning ke dalam bahasa Sunda. Di Banjar, Kalimatan Selatan, Syekh Arsyad al-Banjari menulis karya monumental dengan bahasa melayu, judulnya Sabilal Muhtadin.

Di Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabuaten Sidrap, KH Abdul Mu’in Yusuf menafsirkan Al-Qur’an 30 juz dalam bahasa Bugis. Namanya Tafsere Akorang Ma’basa. Tafsir yang menggunakan aksara Lontara ini berjumlah sebelas jilid. Isinya mencakup munasabah ayat, asbabun nuzul, terjemah per ayat, dan penjelasan tiap-tiap ayat. Tafsir ini ditulis selama delapan tahun, dari 1988 hingga 1996.

Perawatan bahasa lokal akan terus berlangsung selama pesantren, dengan jutaan santri di dalamnya, masih berdiri tegak.

Akan tetapi, peran pesantren dalam pemeliharan bahasa dianggap “sepi” oleh para penentu kebijakan bahasa. Hal itu, setidaknya ditunjukkan Iip D. Yahya ketika meneliti pesantren-pesantren Jawa Barat.

Pesantren misalnya, tidak pernah diminta masukan dalam kongres bahasa dan sastra Sunda. Menurut Iip, ada kelanjutan kebijakan kolonial yang berlaku oleh penentu kebijakan kebudayaan.

Senada dengan Iip, menurut Abdul Mun’in DZ, hal tersebut dikarenakan kalangan akademik di negeri ini masih berpikir dengan cara kolonial.

“Masih cara berpikir kolonial di kalangan ahli bahasa kita. Memang rata-rata pendidikan Barat. Tahunya ya universitas. Nggak tahu yang  namanya pesantren. Dan mereka tidak pernah melakukan penelitian serius tentang pesantren itu. Walaupun mereka udah merdeka, tapi cara berpikirnya Barat. Cara berpikir kolonial menurun kepada intelektual di perguruan tinggi,” tegasnya pada NU Online beberapa waktu lalu.


Penulis: Abdullah Alawi