Warta

PTIQ akan Gelar Seminar Internasional Islam Pos-Sektarian

Rabu, 9 Maret 2011 | 11:19 WIB

Jakarta, NU Online
Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta akan menggelar seminar internasional bertajuk “Meretas Pemikiran Islam Pos-Sektarian”  pada Kamis, 24 Maret 2011 di Kampus PTIQ, yang akan dibuka oleh Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Prof Dr H Nasaruddin Umar MA.

Sebagai pembicara antara lain Prof Dr H Azyumardi Azra, Prof H Abdurrachman Mas’ud Ph.D, Dr H Adian Husaini, Dr Charles Whiteley, Prof Dr. H. Atho Muzdhar, Dr KH Masdar Farid Mas’udi, Dr H Fahmi Salim dengan moderator Drs H. Saifullah Ma’sum, SQ dan Drs  H  Imam Addaruqutni, MA. 
<>
Tujuan seminar ini kata sekretaris panitia Quraisyi Syadzily pada Rabu (9/3) adalah untuk memetakan berbagai pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia, utamanya pasca reformasi 1998 dan mengupayakan munculnya gagasan pemikiran Islam yang  nonsektarian, universal, dan rahmatan lil ‘alamin. Seminar kerjasama dengan Kemenag RI ini diketuai oleh Drs H A Mujib Rohmat.

Yang pasti seminar ini digelar menyadari sejak reformasi bergulir, fenomena keragaman pemahaman keagamaan terus berkembang dan semakin kompleks. Hal ini, selain disebabkan eksistensi masyarakat bangsa kita hidup dalam tradisi keagamaan yang berbeda-beda, juga meluasnya hubungan sosial kemasyarakatan.

Untuk itu wajar, jika akhirnya keragaman ini melahirkan pemahaman dikotomi agama, semisal apa yang sering kita disebut agama tradisional dan agama modernis, agama post tradisional dan agama neo-modernis, agama eksklusif dan agama inklusif, agama ramah dan agama garis keras, atau agama liberal dan agama literal dan seabreg atribut lainnya.

Hanya saja, tidak semua pemahaman keagamaan masa kini berada dalam aras yang sama. Bahkan, keragaman tersebut seringkali hanya sebuah nama tanpa realitas. Agama hanya menjadi simbol kepentingan atau komoditi tertentu, legitimasi kesombongan intelektual ataupun sekadar kesalehan individual. Bahkan, tidak jarang hal itu menimbulkan berbagai konflik, baik internal ataupun antaragama.

Munculnya fenomena keagamaan tersebut, disebabkan para intelektual kita saat ini mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Pertama;  problem modernitas yang terus berjalam laiknya bola salju yang kian membesar dan menggulung premis-premis kecil di sekelilingnya, yang mau tidak mau meniscayakan sebuah rekonstruksi, bahkan dekonstruksi, atas pemahaman yang selama ini mengakar.

Kedua, kesadaran internal umat Islam terhadap anomali dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks al-Qur’an, baik pada wilayah hukum (fiqh), akidah ataupun masalah-masalah yang berkait dengan ilmu pengetahuan, sangatlah minim.

Sebenarnya, Islam hadir tidak untuk menjadi diskursus dan wacana ilmiah, melainkan untuk menjadi petunjuk dan rahmat bagi manusia dalam kehidupan ini. Artinya, Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. adalah agama yang bisa memberikan rahmat, kedamaian dan ketentraman, serta menjadikan penegakan keadilan sosial sebagai dasar kehidupan masyarakat di muka bumi ini.

Yang pasti, Islam masa kini, dengan berbagai bentuk pemahamannya, tengah dihadapkan pada persoalan-persoalan besar umat beragama di Indonesia, baik tingkat lokal ataupun nasional. Lantas, bagaimana kita menyikapi dan memahami keragaman pemikiran keagamaan yang berkembang saat ini? "Karena itulah seminar ini digelar," tutur Quraisyi.(amf)