Warta

Puasa adalah Ujian Kesabaran Paling Berat di Antara Ibadah Lainnya

Jumat, 26 September 2008 | 07:06 WIB

Kairo, NU Online
Puasa adalah ujian melatih kesabaran paling berat di antara bentuk ibadah lainnya. Bukan hanya sabar menahan lapar dan dahaga dalam waktu tertentu. Puasa juga berarti menuntut umat Islam untuk sabar dalam berbagai hal.

Secara yurisprudensi, puasa seorang muslim sah jika ia melaksanakan rukun-rukunnya dengan tepat. Namun, secara hakiki, puasa menjadi aktivitas tak berarti jika tidak ikhlas, kesabaran menahan amarah, sabar tidak melakukan hal-hal tercela, dan lainnya.<>

Mantan wakil rektor Universitas Al-Azhar, Mesir, Thaha Abu Kreisya, mengatakan hal itu dalam Seminar Islam harian yang diselenggarakan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Mesir, di depan Masjid Husein, Kairo, belum lama ini.

“Bahkan, orang yang sedang tidak berpuasa karena halangan tertentu pun tidak dituntut untuk menghormati dan menghargai orang lain yang sedang berpuasa,” terang Thaha.

Ia menambahkan, seorang yang mampu berpuasa dengan sempurna, maka kesabarannya tidak patut diragukan lagi. Orang itu akan menjadi seorang muslim yang memiliki tingkat kesabaran tertinggi di hadapan Tuhan.

Taha juga menyinggung masalah haji yang menurutnya kompleksitasnya tak kalah dengan puasa. Haji bukan sekedar berangkat ke Tanah Suci dan beraktivitas seperti yang telah disyariatkan. Lebih dari itu, segala hal yang berkaitan dengannya harus diperhatikan dengan seksama. Sebut saja harta dan ongkos yang digunakan.

Ketika harta itu diperoleh dengan cara yang tidak baik alias harta haram, ujarnya, maka ibadah hajinya pun tidak akan diterima. Tentunya tidak ada pahala yang akan diterima. Sebaliknya, jika uang yang digunakan berasal dari sumber-sumber halal, ibadahnya pun akan diterima.

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata dan berbuat tabu atau jorok), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal,” jelasnya mengutip Ayat 197 surat al-Baqarah.

Ayat itu dikaitkannya dengan salah satu hadits. Kesimpulannya, kata dia, orang yang berbuat rafats dan fasik pada saat haji, maka ibadahnya tidak akan mendapat pahala. Sebaliknya, ibadahnya akan diterima. “Bahkan, selepas haji, ia layaknya seorang bayi yang baru lahir. Masih suci dan tidak memiliki dosa walau sedikit. (atj)