Warta

PWNU Yogja Desak Polisi Usut “Silet” Merapi

Senin, 7 Februari 2011 | 10:01 WIB

Jakarta, NU Online
Kasus dugaan berita bohong gunung Merapi dalam program “Silet” RCTI seperti bola salju. Seusai melaksanakan gelar perkara bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di kantor Bareskrim Mabes Polri, Rabu (2/2) lalu, kepolisian didesak masyarakat Yogyakarta untuk mengusut tuntas kasus itu secara adil, proporsional dan tuntas.

“Kami sangat berharap Polri menyidik perkara ini secara tuntas dan transparan agar pihak RCTI mendapatkan pelajaran berharga,” kata Imam Mukharror, juru bicara warga Jogja yang juga Ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat  Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Yogyakarta, yang merasa dirugikan oleh tayangan “Silet” itu di Jakarta, Senin (7/2).
<>
Menurut Imam, pemberitaan tak bertanggungjawab dan meresahkan masyarakat seperti bencana Merapi yang disiarkan oleh Silet tak layak ditayangkan. Jika dibiarkan, maka pihaknya khawatir media informasi semakin jauh dari fungsi sebagai sarana informasi dan pendidikan masyarakat.

Tak hanya mendapat protes soal dugaan berita bohong yang meresahkan, berita “Silet” juga dianggap mengusik sentimen masyarakat Jogja dan diduga menyebarkan isu SARA. “Bencana besar yang seharusnya dikembalikan kepada Tuhan YME, justeru diputarbalikkan oleh seorang narasumber dari paranormal bernama Permadi,”  ungkap Zaenal Petir, anggota KPID Jogjakarta.

Dalam tayangan Silet episode 7 November 2010, Permadi menyebut letusan gunung Merapi merupakan akibat dari dosa besar raja Demak, Raden Patah. Diantara dosa besar itu adalah kedurhakaan Raden Patah memaksa ayahnya yang bernama Brawijaya V untuk pindah agama, juga kedurhakaan kepada negara dan kedurhakaan kepada agama.

“Statemen paranormal itu tentu saja mengandung unsur sentimen SARA. Sebab Raden Patah dan para wali beragama Islam, sementara Prabu Brawijaya V beragama Hindu. Disini Raden Patah sebagai simbol kerajaan Islam seolah diposisikan sebagai pihak yang merusak,” tegas Petir.

Tak hanya dari lapisan masyarakat, protes keras terhadap tayangan “Silet” datang dari Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X tidak lama setelah tayangan Silet tersebut. Sultan mengajukan surat resmi berkop Gubernur DIY yang memportes tayangan Silet yang dialamatkan kepada KPI Pusat. Surat resmi Sultan HB X atas nama Gubernur DIY yang berisi protes itu memuat setidaknya tiga poin.

Pertama, pada saat masyarakat sedang mengalami musibah bencana Merapi justru Silet memberikan informasi yang menyesatkan dan menghasut sehingga menyebabkan masyarakat menjadi ketakutan dan kepanikan. Kedua, Tayangan “SILET” menyebabkan orang takut datang ke DIY, sebagian orang tua yang anaknya sekolah/kuliah di DIY banyak yang disuruh pulang.

Dampak lebih luas, masyarakat dan ekonomi DIY lumpuh. Ketiga, informasi SILET sangat tidak mendidik, berbau klenik. Harusnya bencana Merapi dapat dilihat fenomena alam yang harus dipahami masyarakat. KPID Jogjakarta dan lapisan masyarakat Jogja menganggap keputusan KPI membredel program Silet agar menjadi pelajaran bagi semua tayangan media untuk kembali ke jalur informasi yang bersih dan berkualitas.