Warta

Soal Playboy, Muslimat Tuntut Tanggungjawab Moral Pemerintah

Jumat, 3 Februari 2006 | 03:30 WIB

Jakarta, NU Online
Pucuk Pimpinan (PP) Muslimat NU menuntut tanggungjawab moral pemerintah selaku pembuat regulasi berkaitan dengan rencana penerbitan majalah Playboy pada Maret mendatang menyusul penolakan dari hampir semua elemen masyarakat.

"Untuk kasus Playboy tanggungjawab moral pemerintah selaku regulator sangat kita harapkan. Pemerintah tentu tahu majalah ini akan mendegradasi moral masyarakat," ujar Ketua Umum PP Muslimat Khofifah Indar Parawansa di sela-sela workshop tentang makanan sehat di gedung PBNU, Jl. Kramat Raya Jakarta, Kamis (2/2).

<>

Ia pun tak mau terjebak pada wacana tolak-menolak keberadaan majalah tersebut. “Kalau menolak, so what. Saya pikir tidak cukup dengan menolak,” tandasnya. Baginya yang terpenting adalah bagaimana pemerintah, selaku lembaga yang berwenang atas persoalan tersebut dapat berbuat banyak.

Lantas, apakah pemerintah harus mencabut izin penerbitan majalah itu ? Menurutnya, pemerintah sebaiknya mencabut izin penerbitan majalah Playboy yang terlanjur dikeluarkan. Pemerintah bisa saja melakukan hal itu atas pertimbangan banyak pihak yang menolak keberadaan majalah asal Amerika Serikat itu di Indonesia.

"Tetapi kalau tidak mau mencabut, sebaiknya waktu penerbitannya ditunda, menunggu disahkannya RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Kita curiga jangan-jangan penerbitan yang akan dilakukan Maret mendatang itu memanfaatkan waktu mumpung RUU itu belum disahkan," terang Khofifah.
 
Di era kapitalisme global, lanjut Khofifah, pemilik modal memang menjadi "penguasa". Bahkan mereka dapat menekan suatu pemerintahan. Meski demikian, ia berharap tanggungjawab moral pemerintah terhadap rakyatnya dapat mengalahkan tekanan pemodal tersebut, termasuk terkait kasus Playboy.
   
Meski pihak penerbit berjanji majalah yang akan dirilis tersebut isinya tidak akan sama dengan majalah serupa di luar negeri, Khofiah mengaku tidak percaya janji tersebut benar-benar akan ditepati. Dikatakannya, adanya penentuan segmen pembaca tertentu yakni usia dewasa merupakan petunjuk yang dapat dijadikan acuan.

"Kalau memang tidak akan sama dengan majalah serupa di luar negeri mengapa harus pakai nama itu, pakai franchise. Saya rasa ada prasyarat khusus tertentu bagi pemegang franchise dari pemilik brandmark," kata mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan di era pemerintahan Gus Dur itu.

Pro-kontra Playboy, Promosi Luar Biasa
Di tengah pro-kontra rencana penerbitan majalah “syur” serta pembahasan RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi, Khofifah menilainya merupakan sarana promosi yang cukup efektif. Pro-kontra itu, menurutnya sangat menguntungkan perusahaan yang akan menerbitkan majalah tersebut.

Timing-nya sangat tepat. Rencana penerbitan Playboy itu bersamaan dengan pembahasan RUU Anti-pornografi. Itu promosi luar biasa dan sangat menguntungkan penerbitnya. Karena orang semakin mencari-cari majalah Playboy itu,” terang Khofifah. (rif)