Warta

Ulama dan Kiai Diminta Kurangi Aktivitas di Politik Praktis

Jumat, 10 Oktober 2008 | 03:31 WIB

Cirebon, NU Online
Para ulama dan kiai diminta mengurangi aktivitasnya di politik praktis. Kegiatan para pengayom umat itu saat dukung-mendukung salah satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), misal, telah membuat banyak persoalan umat terbengkalai.

Syarif Abu Bakar, Pengasuh Pesantren Miftahul Muta’alimin, Babakan, Ciwaringin, Cirebon, mengatakan hal tersebut pada Halalbihalal Intelektual Muda NU di Pesantren Khatulistiwa Kempek, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, belum lama ini.<>

Abub—begitu panggilan akrabnya—menjelaskan, kiai dan ulama masih menjadi panutan masyarakat. Namun, masyarakat bingung saat panutannya berbeda kepentingan dalam politik praktis. Hal itu kemudian mengakibatkan menurunnya ketokohan seorang kiai.

”Sekarang ini susah sekali mencari tokoh politik dari pesantren yang berpolitik untuk pemberdayaan masyarakat,” ujar Abub, dilaporkan Kontributor NU Online, Ali Mursyid.

Hal senada diungkapkan Dr Waryono, intelektual muda NU yang kini tinggal di Yogyakarta. Menurutnya, masyarakat kini sangat disibukkan berbagai isu politik praktis. Masyarakat juga mulai terpecah-pecah terkait kegiatan dukung-mendukung.

“Sementara, persoalan-persoalan riil, seperti langkanya air bersih, malah terbengkalai,” pungkasnya.

Karena itu, ia menyarankan agar para ulama dan tokoh pesantren tidak menghabiskan energinya hanya untuk urusan politik praktis, tetapi juga ada yang menggarap permasalahan riil di masyarakat.

Namun demikian, hal itu bukan berarti masyarakat tidak diperkenankan mengerti politik. Ia juga menyarankan agar dikembangkan pendidikan melek politik bagi masyarakat yang bisa dilakukan melalui forum pengajian-pengajian.

Pengasuh Pesantren Arjawinangun, Cirebon, KH Husein Muhammad, yang juga hadir pada kesempatan itu, tak membantah penilaian jika banyak kiai dan ulama yang terlalu jauh terlibat dalam politik praktis. Apalagi, aktivitas kepolitikannya itu melibatkan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi.

”Karena kenyataannya, kiai sebagai pribadi dan kiai sebagai lembaga NU susah dibedakan masyarakat. Apalagi kiai sendiri merupakan instansi tersendiri,” paparnya.

Ia menambahkan, faktanya jelas sekali, masuknya kiai dalam politik, kurang mendidik masyarakat. “Lebih banyak bikin bingung masyarakat,” tandasnya. (rif)