Wawancara

Tiga Capaian NU Menjelang Usia Satu Abad

Jumat, 26 Februari 2021 | 02:05 WIB

Tiga Capaian NU Menjelang Usia Satu Abad

Ketua PBNU, KH Imam Aziz. (Foto: dok. istimewa)

Jelang 100 tahun Nahdlatul Ulama, peran, manfaat, dan perjuangan ormas terbesar di Indonesia ini terus dirasakan oleh masyarakat. Bahkan tidak hanya masyarakat di dalam negeri, tetapi juga masyarakat di luar negeri.


NU memiliki magnet yang kuat terkait sejumlah isu, mulai bidang keagamaan, pendidikan, Kesehatan, ekonomi hingga politik. Apalagi menjelang suksesi kepemimpinan. NU selalu ditarik-tarik ke gelanggang kompetisi elite.


Ketua PBNU KH Imam Aziz memiliki sejumlah pandangan unik tentang NU yang sedang memasuki gerbang 1 Abad. Bagi dia, capaian mulus NU yang patut dijaga dan dilanjutkan adalah pemantapan akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) An-Nahdliyah.


Selain itu, ada dua hal lain yang juga menarik perhatiannya. Apa saja kedua hal tersebut? Berikut petikan wawancara Jurnalis NU Online, Ali Musthofa Asrori, dengan pria asal Pati yang juga Staf Khusus Wakil Presiden RI ini beberapa waktu lalu melalui obrolan di kediamannya di Yogyakarta melalui sambungan telepon.


NU akan memasuki gerbang 1 Abad. Apa pandangan Kiai Imam Aziz soal ini?


Dalam satu abad atau 100 tahun kelahiran Nahdlatul Ulama, kita coba melihat apa capaian yang sudah ditorehkan NU. Secara garis besar, setidaknya ada tiga hal yang mungkin perlu kita soroti. Pertama, keberhasilan yang dengan mulus dicapai oleh NU adalah pemantapan akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang kemudian disebut Aswaja An-Nahdliyah.


Mengapa kemudian Aswaja An-Nahdliyah?


Karena, ini merupakan satu varian yang khas. Dan ini menjadi capaian yang sungguh fenomenal, baik dalam perkembangan pemikiran maupun dalam perkembangan gerakan yang berbasis pada gerakan sosial (social movement) dan berbasis pada gerakan agama.


Menurut saya, jika ditinjau dari perspektif negara-negara lain ini merupakan capaian yang sangat fenomenal di Indonesia. Nah, beberapa bukti yang bisa kita lihat adalah dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Kalau kita lihat di mana ada mayoritas penduduk beragama Islam itu pasti kesulitan untuk membentuk negara seperti ini. Nah, yang kita lihat seperti kebanyakan kerajaan, kesultanan, atau keluarga yang berkuasa di satu daerah atau negara dengan sistem monarki.


Bagaimana dengan negara lain yang penduduknya mayoritas muslim lainnya?


Nah, ada beberapa negara yang mungkin mirip dengan Indonesia. Namun, Indonesia  ini merupakan negara paling awal berdiri setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah di Turki. Jadi, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam paling awal yang bangkit kemudian membentuk sebuah negara demokrasi pertama di dunia. Sebelum itu, belum ada. Malaysia baru tahun-tahun berikutnya. Itu pun masih menggunakan monarki juga.


Lalu, Mesir juga lebih belakangan. Tapi, Indonesia pada 1945 sudah merdeka dengan bentuk negara demokrasi. Ini merupakan prestasi yang tidak bisa kita pungkiri bahwa itu keterlibatan atau peran dari NU. Ya, peran ulama kita besar sekali. Kalau nggak, tentu sampai sekarang kita masih perang.


Karena mayoritas Islam tapi tidak ada contoh yang sebelumnya ada negara demokrasi di mana itu diterima dengan damai, dengan smooth, dengan tidak ada gejolak apapun. Jika pun gejolak, itu bukan karena sistemnya. Tapi, lebih karena soal-soal politik lokal.


Nah, para ulama bisa menerima bahkan bisa mengembangkan demokrasi khas Indonesia, menurut saya ini khas. Karena demokrasi biasanya diasosiasikan dengan sekularisme: pemisahan antara agama dengan negara. Sementara Indonesia itu belum ada polanya, di mana ada negara demokrasi yang di dalamnya terdapat Trias Politika, tapi agama tetap menjadi bagian yang hidup dan dihidupi oleh negara berdasarkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Jadi, tidak harus sekuler.


Contoh konkritnya seperti apa?


Ya, Kementerian Agama. Jadi, Kemenag itu merupakan mandat negara dalam kerangka HAM untuk memenuhi hak-hak beragama bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Inilah pola baru, bandingkan dengan Turki, misalnya, setelah Mustafa Kemal Attaturk kemudian memisahkan betul antara agama dan negara. Nah, Indonesia tidak.


Kita merangkum itu semua dengan kerangka syariat. Ini harus dipahami betul bahwa NKRI itu syar’i. Sebab, ada sebuah apresiasi dan pemikiran mendalam dari para ulama bahwa ada satu keharusan bahwa negara yang berisi berbagai macam keberagaman ini tidak bisa berbasis agama tunggal.


Oleh karena itu, harus dikembangkan sistem demokrasi dengan prinsip-prinsip Trias Politika. Ada pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dengan segala konsekuensinya. Dalam Ushul Fiqh ada kaidah al-tabi’u tabi’un (jika kita menyetujui satu perkara maka seluruh turunannya harus kita setujui juga). Ini menjadi sesuatu yang tidak terlalu banyak masalah. Kecuali nanti ada perbaikan-perbaikan.


Kalau dulu dalam teori politiknya Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, baru eksekutif, legislatif. Sementara yudikatif-nya belum. Tapi, kita lihat bahwa kitab ini merupakan peletak dasar demokrasi awal dalam Islam karena waktu itu belum ada cara berpikir orang tentang kesukuan. Al-Mawardi telah memperkenalkan istilah ahlul halli wal ‘aqdi (AHWA) yang sekarang mungkin semacam DPR atau parlemen. 


Terkait hal itu, apa upaya para ulama Indonesia?


Nah, para ulama kita mencerap itu semua, lalu mengolahnya dengan penyesuaian-penyesuaian sehingga selaras dengan syariat. Konsekuensinya, seluruh warga negara termasuk umat Islam wajib mentaati NKRI.


Itulah kenapa dulu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa wajib ‘ain untuk membela NKRI. Kalau tidak ada penerimaan NKRI, jelas nggak mungkin. Nah, inilah tugas kita hingga nanti untuk terus meyakinkan bahwa NKRI itu syar’i. Tidak perlu ada lagi upaya untuk mencari-cari bentuk negara lain.


Tinggal kita nanti melakukan penyesuaian-penyesuaian dan terus menerus diperbaiki sistem ketatanegaraan kita. Toh prinsip-prinsipnya sudah diletakkan oleh para ulama. Terpenting, memadukan negara demokrasi dengan agama di mana-mana itu tidak ada.


Kita ini bukan negara sekuler. Tapi negara demokrasi murni di mana ada kewajiban negara untuk memenuhi hak beragama dan berkeyakinan. Nah, secara demokrasi itu absah.  


Lalu apa capaian kedua NU?


Kedua, tentu keberhasilan NU dalam mengembangkan kelembagaannya. Saya kira NU merupakan prototipe dari organisasi masyarakat sipil Islam yang hampir final. Sebab, kelembagaan masyarakat sipil itu punya prasyarat. Jadi, NU ini organisasi massa yang khas. Meski tidak ketat dalam keanggotaan, namun ada struktur organisasi. Selain itu, juga ada pembagian tugas dalam organisasi.


Nah, terpenting adalah pembagian masalah sipil dan politik. Itu penting. Karena jika tidak demikian, seperti pengalaman NU sebelumnya pasti akan kacau balau. Kalau sekarang, sudah agak settle polanya. Jadi, sekarang ini orang NU sudah bisa membedakan mana urusan politik mana pula yang tidak.


Ini merupakan prototipe organisasi masyarakat sipil Indonesia. Beda misalnya cerita tentang Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Itu nggak jelas apakah ormas Islam atau organisasi politik. Di Indonesia juga ada semacam ini meski tidak banyak, apakah ini ormas politik atau ormas sosial keagamaan, itu nggak jelas.


NU sudah bisa bisa membedakan mana ranah sosial keagamaan dan mana yang politik. Meskipun ini harus terus disempurnakan. Tapi ini merupakan warisan dan capaian penting yang saya kira ini dari proses belajar yang lama. Sekarang kalau ada gejolak di partai politik itu tidak akan berimbas kepada NU. Kalau ada gejolak di sebuah rezim itu tidak terlalu berpengaruh. Misalnya, pada zaman Orde Baru kayak apa, meski berdampak tapi NU masih ada. Sementara yang lain tewas semua. 


Artinya apa?


Artinya hal itu menandakan bahwa secara kelembagaan ada capaian-capaian yang saya kira ini patut terus-menerus dipertahankan dengan sejumlah perbaikan. Menurut saya, ini sudah capaian penting dan luar biasa di mana kita kemudian bisa memisahkan antara ranah sipil dan ranah politik. Misalnya, ada pemilu atau pilpres kita biasa-biasa saja. Hahaha..


Terpenting, capaian ini harus tetap dipertahankan dengan perbaikan-perbaikan terus-menerus. Bagaimana antara kekuatan sipil dan kekuatan politik baik itu parpol maupun negara bisa kita petakan. Sekarang ini warga NU bisa melihat jalur-jalur yang sudah kelihatan.


NU sebagai masyarakat sipil tidak ikut campur dalam urusan-urusan penyelenggaraan partai politik meskipun kemudian kader-kader NU ada di situ. Masing-masing tidak saling ngrecokin. Memang ini masih belum sempurna. Saya kira ini nanti akan kita sempurnakan dengan sebaik-baiknya supaya tetap smooth. Jadi, kalau ada apa-apa NU tetap selamat. Kalau ada apa-apa, parpol juga bisa tetap memperjuangkan aspirasi Nahdliyin tanpa harus merecoki NU. 


Lalu, apa capaian yang ketiga?


Ketiga, adalah capaian pada sumber daya manusia (SDM). Jadi, modal dasar sebelum NU dan NKRI lahir adalah SDM NU itu sendiri. Kita tahu bahwa sebelum ada sistem pendidikan, pesantren itu sudah menjadi sistem pendidikan lawas yang sampai sekarang masih bertahan dengan sejumlah modifikasi. Hanya ini yang menurut saya kalau di level pendidikan kita masih perlu banyak perbaikan.


Tapi, menurut saya ada satu poin yang juga harus kita sebut di sini bahwa karena NU sumber daya yang paling penting ya itu adalah kesetaraan antara lelaki dan perempuan di segala bidang. Itu merupakan catatan yang harus juga dikemukakan dan disebutkan sebagai sebuah capaian. Sekarang ini di banyak negara mayoritas muslim masih kesulitan. Tapi, di sini sudah selesai soal itu. Sudah nggak ada yang mempersoalkan lagi soal kesetaraan ini. (*)