Balitbang Kemenag

Abduh Pabbaja, Penggerak Literasi Keagamaan dari Parepare 

Jumat, 8 Mei 2020 | 08:45 WIB

Abduh Pabbaja, Penggerak Literasi Keagamaan dari Parepare 

Karya tulis Abduh Pabbaja juga berpengaruh pada aspek ketauhidan, penghargaan, dan perwujudan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. (Foto: Istimewa)

Abduh Pabbajah adalah salah seorang ulama penggerak literasi keagamaan dari Parepare, Sulawesi Selatan. Abduh memiliki karya tulis yang secara sangat signifikan memengaruhi dan menanamkan prinsip keislaman dalam karateristik penanaman pendidikan pada usia muda. Karya tulisnya juga berpengaruh pada aspek ketauhidan dan penghargaan serta perwujudan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.

Demikian salah satu simpulan dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2019. Para peneliti mengungkapkan, karya tulis yang dihasilkan Abduh Pabbaja berupa syair-syair keagamaan berbahasa Bugis. Sementara aksara yang digunakan adalah Lontara.
 
Merujuk pada Wikipedia, Aksara Lontara memang dikenal sebagai aksara Bugis, aksara Bugis-Makassar, atau aksara Lontara Baru. Yaitu, salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Sulawesi Selatan. Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi. 

Aksara Lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan oleh huruf Latin. Saat ini, aksara Lontara masih diajarkan di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari muatan lokal. Namun, dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.

Aksara Lontara adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 23 aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan.
 
Secara tradisional, aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan tanda baca yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Lontara, sehingga teks Lontara secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.

Pada penelitian tersebut, aksara Lontara dapat digunakan sebagai media pengembangan literasi yang menopang unsur kebudayaan dan lokalitas Bugis yang juga tidak bisa dilepaskan dari muatan-muatan utama keislaman sebagai penggerak utamanya.

Perwujudan pengembangan literasi berbasis syair-syair keagamaan yang dihasilkan oleh Abduh Pabbaja itu kemudian diimplementasikan dalam pendidikan keagamaan di Pesantren Al-Furqan Parepare yang masih dilaksanakan hingga saat ini. Karya yang sangat khas Bugis ini juga sedemikian akrab pada berbagai elemen usia yang pengkajian dan analisis pemahaman mendalam terhadapnya memungkinkan pengejawantahan karakteristik keagamaan khas Bugis. Dalam karya itu, juga menggambarkan betapa aksara dan Bahasa Bugis dilestarikan dengan baik.

Perhatian Abduh Pabbaja terhadap dunia pendidikan membuatnya juga layak disebut sebagai "sang pencerah" di kalangan anak muda. Hal ini juga sesuai pemikirannya dalam aspek adab anak muda dalam menuntut ilmu yang ditaungkan hasil karya tulis berjudul mir’atun linnasyi’in (atellongenna anak mula mpekkek’e), yaitu penerangan bagi penuntut ilmu.
 
Abduh Pabbaja juga disebut sebagai orang pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih di kampung halamannya (Allekuang) pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Komitmennya terhadap Kesatuan Negara Republik Indonesia sejak itu tertanam, dan terus dijalaninya dengan keterlibatannya dalam pembangunan partai politik yang sejalan dengan ideologinya
 
Para peneliti sebelumnya menyebutkan bahwa konteks pemikiran ulama dan hubungannya dengan karya tulis di Sulawesi Selatan dapat ditelusuri jejaknya dalam upaya pencarian naskah kuno. Sebagian kalangan menganggap bahwa ulama Sulawesi Selatan lebih senang dengan dakwah billisan dibanding dengan dakwah birrisalah atau melalui tulisan.
 
"Hal itu, tidak sepenuhnya bisa diterima begitu saja, karena di tengah keterbatasan media tulis di masa lalu, mereka masih bisa mewariskan berbagai jenis karya tulis baik berupa Al-Qur’an, fikhi, kutika, pananrang dan sekke rupa. Di samping itu, kondisi politik masa lalu memungkinkan berbagai macam naskah kuno raib karena rusak dimakan usia, dirampok oleh penjajah, atau ikut terbakar oleh gejolak politik DI/TII dan Westerling," tulis para peneliti. 

Peneliti juga mengungkapkan, ada masyarakat yang mengubur naskah kuno di dalam tanah dengan maksud mengamankan dari ancaman kebakaran dan perampasan. Meskipun dikubur dengan peti kayu atau besi, naskah tersebut tidak terhindar dari kerusakan dan kehilangan jejak.
 
Karena itu, pertumbuhan semangat literasi dalam masyarakat jangan sampai menyalahkan ulama yang sulit ditemukan karya tulisnya. Bisa jadi, masyarakat saat itu terkendala dengan berbagai kesulitan sehingga karya tulisnya tidak dapat sampai ke tangan generasi pelanjutnya.
 
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori