Cerpen

Di Bawah Temaram Lampu

Ahad, 23 Februari 2025 | 06:00 WIB

Di Bawah Temaram Lampu

Ilustrasi (Freepik)

Cerpen: Haniah Nurlaili

Rasanya perutku begitu mual. Makanan yang tadi pagi kulahap seperti memberontak ingin keluar. Jika bukan karena mandat dari suamiku, tentu aku tak ingin bertamu ke rumah ini, rumah Mbah Narti. Beliau segera menyuguhkan segelas teh padaku dan sekarang kami duduk berhadap-hadapan. Aku mengamati gelas plastik itu secara diam-diam. 


"Nanti kamu harus melihat seluruh isi rumahnya. Perhatikan dengan seksama barang-barang di rumah itu, biar aku bisa memutuskan." Begitu pesan suamiku sebelum menyuruhku pergi ke rumah Mbah Narti sambil membawa sebuah bingkisan berisi bahan makanan.


Mbah Narti adalah seorang janda yang hidup sebatang kara. Kesibukannya sehari-hari memelihara beberapa ekor ayam dan menanam beberapa tanaman di kebun sempitnya di belakang rumah.


Beliau juga satu-satunya orang yang peduli pada masjid di kampung kami. Mbah Narti selalu merapikan mukena, sarung dan Al-Qur’an ke dalam lemari. Sebelum salat jamaah dimulai, ia menata sandal-sandal dengan rapi. Tak lupa ia selalu menyapu lantai masjid tiap pagi. Sedangkan tiap Kamis malam saat ada kajian rutin di masjid, ia akan merebus air di kuali, lantas membuatkan teh untuk para jamaah tanpa diminta, dan tanpa upah pula tentunya.


Namun orang-orang tak begitu menyukainya. Entah mengapa, padahal menurutku, beliau bak malaikat. Zaman sekarang, siapa yang mau mengurusi masjid? Yang ada, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. 


Rumor yang menyebar, Mbah Narti mengambil gelas, sandal dan mukena inventaris masjid. Berita itu tersebar saat ada seorang pengurus masjid yang mendapati barang-barang itu berkurang jumlahnya dari hari ke hari. Entah bagaimana awal mula rumor itu menyebar, tapi semua orang seperti sepakat menuduhnya.


“Hanya dia yang tahu seluk-beluk masjid kita.” 


“Betul. Dia ingin dapat mukena, gelas dan sandal secara gratis!” 


Begitulah suara-suara yang beredar. Sebenarnya suamiku tak begitu peduli. Toh, kami berdua sangat jarang salat jamaah ke masjid. Masalahnya, sebagai kandidat kuat kepala desa, suamiku harus tahu kebenarannya agar dapat menyelesaikan masalah tersebut. Ia harus berhasil menarik simpati warga untuk mendulang suara. 


“Mbah, ini ada sedikit bingkisan dari kami sekeluarga. Mohon diterima.” Ucapku sembari menyerahkan bingkisan itu dan sedikit mencuri-curi pandang ke seisi rumahnya. Kini muncul pertanyaan di benakku. Bagaimana aku tahu barang-barang yang diduga diambilnya jika aku saja tak pernah pergi ke masjid? Aku tak pernah tahu bagaimana bentuk dan warna benda-benda itu. Apalagi keadaan rumahnya teramat semrawut. Rumah Mbah Narti begitu sempit. Tak ada sekat untuk ruang tamu dan dapur. Bahkan kamarnya hanya dibatasi oleh sebuah partisi sederhana dari anyaman bambu. 


Di dapur yang terlihat jelas dari tempatku duduk, bermacam-macam barang tertumpuk di sebuah meja kayu lapuk. Mungkin karena tak ada lemari untuk menyimpan segala benda itu. Bau minyak jlantah di penggorengan, sisa makanan, dan bawang-bawangan bercampur jadi satu dan sukses mengaduk-aduk perutku.


“Monggo diminum, Bu.” Aku terkesiap. Kusunggingkan sedikit senyum ragu. Namun ajaibnya, rasa mualku hilang seketika saat aku meminum teh buatannya. Rasanya hangat mengalir ke tenggorokan hingga lambung. 

***


Sudah kuduga, omelan beruntun kudapatkan dari suamiku bahkan ketika aku belum sempat duduk. Katanya, diberi tugas begitu saja tidak mampu. 


“Ya sudah, biar Slamet saja yang besok kesana.” Suamiku merasa putus asa. Menurutnya aku terlalu banyak alasan, padahal tugas itu teramat gampang. Lantas bagaimana aku bisa jadi Bu Lurah jika pendekatan dengan satu warga saja tak bisa?


“Tunggu!” Tetiba saja aku menghentikan rencana suamiku. Aku merasa terusik dengan kata-kata terakhirnya.


“Apalagi?”


“Beri aku waktu.”


 Aku mengajukan rencana. Aku ingin melakukan pendekatan secara alami. Aku akan salat jamaah ke masjid lima kali sehari. Aku akan mengikuti kajian tiap Kamis malam. Aku berjanji, dalam dua minggu kedepan, kupastikan suamiku akan mendapatkan jawabannya.

***


Cibiran demi cibiran mendarat dalam tiap tatapan. Aku yang dulu tak pernah ke masjid kini hanya dituding sebagai pencitraan. Mereka menganggapku salat ke masjid hanya demi suamiku yang mencalonkan diri sebagai kepala desa. 


Dalam situasi itu, Mbah Narti selalu menenangkanku. Kami kerap berjalan bersama seusai salat berjamaah, di bawah temaram lampu.


“Sebaik apapun perbuatan kita, pasti selalu ada orang yang tidak suka.” Mbah Narti mengelus lenganku. 


“Dulu, saat almarhum Mbah Narto masih hidup, banyak juga yang tak menyukainya. Banyak yang bilang, Mbah Narto bersih-bersih masjid demi mendapatkan uang. Padahal saya tahu betul beliau orang yang ikhlas. Maka dari itu, sebisa mungkin saya meneruskan kebaikan-kebaikan suami saya. Itu akan menjadi ladang pahala bagi kami kelak.”


“Njenengan orang baik. Dan saya percaya, jika Pak Budi berhasil menjadi kepala desa, pasti beliau akan menjadi pemimpin yang bijaksana.” 


Aku memandangi semua yang melekat padanya. Baju, mukena, sandal, semuanya terlihat lusuh. Sangat bertolak belakang dengan hatinya yang begitu bersih. Bahkan ia selalu berprasangka baik terhadap suamiku, yang aku tahu wataknya tak sebagus itu.

 

Memang sedari awal suamiku menolak rencanaku. Tapi aku tetap bersikeras, aku hanya tak ingin dianggap tidak mampu. Sebenarnya hanya itu tujuan awalku. Bukan ingin selalu salat di masjid tepat waktu. 


Kini, aku dan Mbah Narti sudah cukup dekat secara alami. Bahkan beberapa kali aku ke rumahnya, minta diajari membuat racikan tehnya yang nikmat. Jika sedang tak berhalangan, saat mendengar azan, aku buru-buru ingin ke masjid untuk salat berjamaah. Kutemukan kedamaian saat imam melantunkan surat, saat memimpin zikir dan ditutup dengan doa sapu jagat.


Sejujurnya, saat bertandang ke rumahnya, aku sudah mendapatkan jawaban. Namun jawaban itu kusimpan rapat-rapat. Aku percaya Tuhan pasti akan segera menunjukkan kebenaran. Kini aku hanya menikmati waktu bersamanya. Saat-saat langka dan menentramkan, di bawah temaram lampu seusai salat berjamaah. 
 

Haniah Nurlaili tinggal di Sragen, Jawa Tengah. Hobi menulis dan penyuka dekorasi rumah. Karya-karyanya pernah dimuat di Solopos, Joglosemar, Kedaulatan Rakyat, Detik.com, ideide.id, Fiksi Islami, Mbludus.com, Harian Rakyat Sultra, Cerpen Sastra, Janang.id, Kurungbuka.com, LP Ma’arif NU Jateng, Magrib.id, Pesawaran Inside, dan Erakini.