Balitbang Kemenag

Bangun Pendidikan Karakter, Peneliti Rekomendasikan Gotong Royong Terus Digelorakan

Ahad, 23 Agustus 2020 | 19:00 WIB

Bangun Pendidikan Karakter, Peneliti Rekomendasikan Gotong Royong Terus Digelorakan

Salah satu kegiatan gotong royong mendirikan rumah oleh masyarakat perdesaan. (Foto: NU Online/Kendi Setiawan)

Semangat gotong-royong, kemandirian, dan pendidikan karakter bagi bangsa Indonesia perlu terus digelorakan. Pasalnya, ketiga hal ini, utamanya pendidikan karakter merupakan bagian esensial dalam proses pendidikan.

 

Hal tersebut merupakan inti rekomendasi kebijakan yang ditujukan Balai Litbang Agama (BLA) Semarang Badan Litbang dan Diklat Kemenag kepada beberapa kementerian terkait. Antara lain, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Kemenko PMK ini diminta untuk terus menggelorakan semangat gotong-royong dan kemandirian bangsa Indonesia.

 

Sementara dua kementerian yang membawahi langsung sektor pendidikan, baik umum maupun agama, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama diminta perlu terus meningkatkan strategi penguatan pendidikan karakter peserta didik terutama penguatan pendidikan karakter kemandirian dan gotong-royong.

 

Untuk Kemenag Pusat, rekomendasi kebijakan tersebut kemudian di-breakdown kepada pejabat setingkat direktorat jenderal, yakni Ditjen Pendidikan Islam agar menyusun pedoman pelaksanaan dan pengembangan kompetensi pengawas dan guru berupa pelatihan mengembangkan silabus dan RPP dalam rangka penguatan pendidikan karakter. Untuk di daerah, Kepala Kanwil Kemenag diminta melakukan penguatan terhadap materi moderasi beragama di madrasah dan sekolah.

 

Kemudian, untuk Kemendikbud ditujukan kepada Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah agar terus melakukan supervisi terhadap pelaksanaan penguatan pendidikan karakter di setiap sekolah. Untuk di daerah, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi diharap menyusun regulasi terkait kewajiban pakaian seragam sekolah produk daerah setempat (batik, lurik, sasirangan, songket, jumput, dan lainnya).

 

Rekomendasi kebijakan itu juga ditujukan kepada pihak sekolah atau madrasah dapat melakukan penguatan pendidikan karakter melalui tiga hal: pembelajaran di kelas, pembiasaan di sekolah atau madrasah, dan kegiatan ekstrakurikuler.

 

Survei Karakter
Rekomendasi itu muncul setelah sejumlah peneliti menggelar penelitian Survei Karakter Peserta Didik MA dan SMA. Penelitian tersebut diselenggarakan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang berkolaborasi dengan BLA Jakarta, BLA Semarang, dan BLA Makassar. Penelitian ini merupakan survei nasional karakter peserta didik di 34 provinsi. Pengambilan sampel ada di 169 kabupaten/kota di Indonesia.

 

Dalam laporan Executive Summary-nya, dua peneliti Peneliti Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan BLA Semarang, Aji Sofanudin dan Wahab, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan pengumpulan data di empat provinsi yakni Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

 

Jumlah sampel penelitian yang dikumpulkan oleh Tim Peneliti BLA Semarang sebanyak 2.180 peserta didik kelas XI (220 satuan pendidikan) atau 18,9 persen dari sampel nasional. Rinciannya, 1.420 peserta didik kelas XI tersebar di 144 SMA. Sisanya,yakni 760 peserta didik kelas XI tersebar di 76 MA.

 

Survei tersebut hendak mengukur kualitas karakter peserta didik MA dan SMA yang terdiri atas karakter religiusitas, nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas di empat provinsi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI pada MA dan SMA, baik negeri maupun swasta di empat provinsi.

 

Penelitian ini secara umum menghasilkan setidaknya empat hal. Pertama, kualitas karakter peserta didik pada MA dan SMA di empat provinsi mencapai rata-rata skor 3,41 atau masuk pada kategori 'sangat baik'. Jawa Timur menempati urutan pertama dengan tingkat karakter tertinggi mencapai 3,46 (sangat baik), disusul DIY mendulang nilai 3,41 (sangat baik), NTB meraih nilai 3,41 (sangat baik), dan Bali meraup nilai 3,37 (sangat baik).

 

Kedua, kualitas karakter peserta didik secara berurutan adalah sebagai berikut: karakter nasionalisme (3,53); religiusitas (3,49); integritas (3,39); kemandirian (3,34); dan gotong royong (3,32).Tiga karakter urutannya sama di empat provinsi, yaitu karakter nasionalisme, religiusitas dan integritas. Dua karakter lainnya, yakni gotong-royong dan kemandirian berbeda urutan. Untuk provinsi DIY dan Bali, karakter kemandirian menempati posisi terendah, sedangkan Provinsi Jawa Timur dan NTB, karakter gotong royong menempati posisi terendah.

 

Ketiga, dalam kaitan dengan karakter religiusitas, terdapat respons dari beberapa peserta didik yang berpotensi melahirkan eksklusivitas beragama. Hal ini ditunjukkan bahwa dari 2.180 peserta didik, terdapat 10,05 persen yang menyatakan 'tidak setuju/sangat tidak setuju' bergaul dengan tetangga berbeda agama.

 

Persentase peserta didik yang 'tidak setuju/sangat tidak setuju' untuk bekerjasama dengan teman berbeda agama mencapai 13,21 persen. Sedangkan pernyataan 'saya membenci kekerasan bernuansa agama' terdapat 9,68 persen peserta didik yang menyatakan 'tidak setuju/sangat tidak setuju'.

 

Keempat, walaupun karakter nasionalisme peserta didik sudah sangat baik, terdapat beberapa hal yang masih perlu dilakukan penguatan pada tiga indikator. Terkait batik yang merupakan pakaian khas Indonesia masih terdapat 9,68 persen peserta didik yang memberikan respons 'tidak setuju/sangat tidak setuju' terhadap pernyataan 'saya suka mengenakan baju batik'.

 

Lalu, ditemukan 5,14 persen yang menyatakan tidak lebih senang terhadap produk anak bangsa dibanding produk luar negeri. Selain itu, ditemukan 30,55 persen yang menyatakan 'tidak setuju/sangat tidak setuju' jika sekolah memaksakan peserta didik menyanyikan lagu Indonesia Raya untuk melahirkan patriotisme.

 

Keempat, terkait integritas peserta didik, ditemukan 23,94 persen yang menyatakan 'setuju dan sangat setuju' tindakan mencontek pada saat tes atau ujian. Selanjutnya, terdapat 14,27 persen yang 'setuju dan sangat setuju' meniru tugas yang dibuat teman.

 

Sebagaimana diketahui bersama, Depdiknas (2010) telah mengidentifikasi 18 nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Nilai tersebut bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

 

Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 2017 melalui Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), Kemendikbud 'memeras'18 nilai tersebut menjadi limanilai utama karakter yang saling terkait satu sama lain. Yaitu, 1) religiusitas, 2) nasionalisme, 3) mandiri, 4) gotong royong dan 5) integritas. Secara operasional, ada dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.

 


Penulis: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan