Salah satu hasil riset Balai Penelitian Pengembangan (Balai Litbang) Makassar Kementerian Agama tahun 2018 menyatakan Gowa dan Takalar di Provinsi Sulawesi Selatan pernah menjadi sentra pembentukan jaringan intelektual ulama pada pertengahan abad ke-17.
Diawali dengan sentra-sentra kaderisasi ulama angngaji kitta yang tadinya membanggakan berubah menjadi kemerosotan. Misalnya di Bontoala, Makkasar sebagai basis pengembangan Islam, hancur karena terjadinya perang Rompegading tahun 1824. Setelah pusat pemerintahan dan institusi syara di Bontoala, Makassar lenyap, kegiatan berpindah ke Labuang Maros, Sulawesi Selatan.
Begitupun dengan kaderisasi ulama di pusat halakah di Cikoang, Laikang, Takalar oleh Syekh Djaluddin Al-Aidid tidak berlanjut. Padahal, saat itu corak kaderisasi di halakah tersebut paling mashur. Perkembangan selanjutnya mulai didirikan kembali, yaitu sentra tempat belajar yang baru pada abad ke-20.
Misalnya di Cikoang, Anrongguru Arunda Tuan Ngaru dan Abubakar Tuan Panawang luaran menggalakan kembali angngaji kitta. Halakah itu diasuh langsung oleh KH Ahmad Bone. Di daerah pedalaman dan pegunungan, angngaji kitta digalakkan oleh seorang ulama tradisional yang bernama KH Saidi, sementara di daerah Malakaji, Gowa digalakan KH Ramli, H Puang Ramma, dan seorang ulama Jepang alumni Al-Azhar yang mendedikasikan dirinya di Indonesia kawasan bagian tengah.
Selanjutnya, corak dan karakteristik ulama yang melakukan dinamisasi perkembangan Islam di Jeneponto dan Bantaeng, Sulawesi Selatan dapat diklasifikasi dalam tiga kelompok besar. Pertama, mereka tidak berafiliasi dengan kekuatan politik mana pun, bekerja memperjuangkan pembumian nilai-nilai Islam secara kultural dan personal. Kala itu mereka menjaga jarak dari rezim dan memusatkan perhatian ke dakwah dan tarbiah berdasarkan tafsir Islam yang berada di sisi puritan dalam spektrum modernis-reformis.
Kedua, ulama yang membangun afiliasi dan bersinergi dengan kekuatan politik lokal yang kerap memangku jabatan penghulu, kadi, atau jabatan lain yang membuat mereka selalu berada di lingkungan istana bahkan menjadi bagian dari elite lokal. Kelompok itu lebih bersikap konstruktif dalam berurusan dan bekerja sama dengan pemerintah. Mereka disebut sebagai pihak yang akomodasionis.
Ketiga, mereka adalah ulama yang memilih jalan dakwah melalui pengembangan pranata kelembagaan yang berbasis pada masjid dan pendidikan pondok pesantren.
Sementara itu, jaringan ulama di Bulukumba dan Selayar, meliputi cakupan kehidupan yang sangat luas. Tidak hanya dalam mengajar agama dan mengkaji Al-Qur'an dan hadits, tetapi juga upaya mewujudkan masyarakat Islami.
Mereka mengajarkan agama di rumahnya, di rumah tetangganya, di masjid-masjid, pondok pesantren, bahkan di tanah lapang. Para ulama tersebut menilai, masyarakat Islami tidak hanya diwujudkan lewat ritual keagamaan, tetapi mendirikan perkumpulan-perkumpulan sosial keagamaan, ekonomi, lembaga pendidikan bahkan organisasi politik seperti yang dilakukan oleh Puang Muhammad Said dan Daeng Masiki di Pulau Rajuni, Pulau Jampue di Selayar Kepulauan, dan Labuang Bajo, di Nusa Tenggara Timur.
Termasuk Hayyung dan para pengikutnya dengan gerakan Muhammadiyah, di Benteng dan sekitarnya, metode dakwahnya hampir sama yakni menyasar mental Islam dan gotong royong memperkuat kemandirain ekonomi. Di Bulukumba, Islam tidak bersifat homogen. Sebaliknya, Islam di wilayah tersebut bersifat heterogen sesuai sejarah dan lingkungan kebudayaannya.
Perkembangan Islam di wilayah Indonesia bagian Tengah tidak terlepas dari peran sejumlah ulama yang memiliki haluan Ahlusunnah wal Jama'ah. Di antara ulama tersebut sebagian berasal dari Makkah, Saudi Arabia. Bahkan, pemikiran ulama yang tergolong ahlul bait itu menjadi corak perkembangan Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat kala itu.
Mereka yaitu Sayid Syekh Umar Al Yamani yang berkiprah di Parepare, Assayyid Syekh Muhammad Al Akhdal yang mengajar di Pinrang dan Mandar, Sayyid Syekh Mahmud Al Jawab Al Madani. Sedangkan kiai atau uama nusantara yang berkiprah di Kawasan Indonesia Tengah antara lain, KH Ahmad Bone, KH Said, KH Ramli, dan H Puang Ramma.
Para ulama asal Makka, Arab Saudi memiliki alasan tersendiri mengapa harus menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia. Saat itu abad ke-20, tepatnya tahun 1926 terjadi pergolakan di Tanah Makkah. Telah terjadi pengambilalihan kekuasaan pemerintahan Raja Syarif Husain di Mekah oleh Sultan Abdul Azis bin Ibnu Saud.
Akibat pengambilalihan kekuasaan tersebut, terdapat banyak ulama besar dari kelompok Ahlul Bait yang ditangkap dan dipenjarakan karena dianggap tidak tunduk kepada pemerintahan Wahabi. Sehingga dampak dari insiden tersebut sejumlah ulama dari golongan Ahlul bait yang berhaluan Ahlussunnah waljamaah melarikan diri meninggalkan Tanah Mekah mereka menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk ke Nusantara. (Abdul Rahman Ahdori/Kendi Setiawan)