Jakarta, NU Online
Islam, selain sebagai ajaran, merupakan fenomena historis/ deskriptif. Perwujudan Islam dalam tataran deskriptif itu dapat dilihat pada masyarakat Muslim, tokoh Muslim, organisasi keagamaan, dan bentuk fisik bangunan. Kajian terhadap fenomena historis/deskriptif Islam menarik minat para akademisi karena fenomena historis Islam menggambarkan dinamika dan persentuhan Islam dengan berbagai budaya masyarakat penganutnya. Satu perwujudan deskriptif/ historis Islam, misalnya masjid, bisa menunjukkan keterkaitan erat antara ajaran agama, struktur sosial, budaya, dan bahkan arsitektur. Hal itu menunjukkan bahwa spirit agama membawa di dalamnya perubahan sosial dan budaya.
Hasil penelitian Balai Litbang Semarang pada tahun 2015, mengemukakan masjid, sebagai pusat peradaban Islam, memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah perkembangan agama Islam. Hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah ditandai dengan pendirian masjid di Quba pada Senin 12 Rabiul Awal (28 Juli 622 Masehi), di Tanah milik Bani Najjar. Pendirian masjid menjadi titik tolak bagi pembangunan masyarakat Islam karena masjid memainkan berbagai fungsi sosial maupun kultural, selain fungsi peribadatan. Masjid pada zaman Nabi Muhammad digunakan untuk berbagai keperluan, yaitu: ibadah, pertemuan umat Islam, pengembangan pengetahuan/pendidikan, tempat baitul mall, tempat penyelesaian perkara, pengumuman masalah sosial, menyalatkan orang meninggal, dan penginapan bagi musafir (Gazalba 1983: 121, 126-130).
Hal itu menunjukkan bahwa fungsi masjid sebagai pusat kegiatan sosial dan peradaban telah berlangsung sejak masa Rasulullah sendiri. Bentuk yang dipandang sebagai model dasar bagi pembangunan masjid adalah masjid Nabawi di Madinah. Masjid Nabawi dibangun dalam bentuk segi empat, dengan berdinding tembok. Bentuk sederhana itulah yang menjadi model dasar bagi pembangunan masjid hingga saat ini.
Perkembangan arsitektur masjid yang mendasar terjadi pada Masjid Fustat (kairo) di Mesir, yang dibangun oleh Amru bin Ash, yang juga merupakan masjid ketiga dalam sejarah Islam. Masjid Fustat menjadi contoh bagi pembangunan masjid jami. Pada Masjid Fustat inilah diperkenalkan mimbar bagi khatib, maqshurah (dinding rendah pembatas antara imam dan makmum), menara bagi muazzin, dan mihrab tempat imam memimpin jamaah (Hoesin 1964: 128, 133).
Hosein berpendapat bahwa model masjid tidaklah mengacu kepada budaya Arab, pengaruh gereja, maupun pengaruh arsitektur Romawi, melainkan kreasi Islam. Ia melihat tidak ada pengaruh budaya Arab, gereja, maupun arsitektur Romawi yang bisa dlihat dalam masjid (Hoesin 1964: 134-136). Akan tetapi, beberapa sarjana melihat adanya pengaruh peradaban lain dalam pembangunan masjid. Menara, misalnya, yang mulai ada pada masjid Kairo, baru berkembang pada masa Abbasiyah. Di Syiria dan di Afrika Utara, menara masjid diduga mendapatkan pengaruh dari menara lonceng gereja era Byzantium.
Meskipun demikian, ada faktor budaya lokal yang mempengaruhi model dan bentuk menara sehingga menara di Mesir, Iran, dan di Turki memiliki ciri khas tersendiri. Termasuk, adanya fenomena masjid tanpa menara di India karena di India menara bukan sebuah fenomena yang berlaku umum (Andrew Paterson 1996: 187-190).
Di Indonesia sendiri, menara masjid juga bervariasi. Salah satu bentuk menara yang menggambarkan pengaruh tradisi pra-Islam adalah menara masjid Kudus. Menara di Masjid Kudus menunjukkan kesamaan dengan bentuk bangunan candi, khususnya Candi Singasari. Penempatan menara itu sendiri mengingatkan kepada penunggun karang atau monumen penjaga situs, yaitu tempat ruh penjaga keselamatan dan pengingat, dalam tradisi Hindu (Wiryomartono 2009: 37-38).
Pembangunan masjid dalam sejarah Islam awal dilakukan oleh para panglima perang. Masjid dibangun di tengah-tengah komunitas, dekat kediaman panglima perang, dan di sekitarnya terdapat tempat tahanan dan tempat musyawarah di depannya. Pembangunan masjid oleh panglima perang tidak menjadi tren di Indonesia karena masuknya Islam ke Indonesia dimulai melalui jalur perdagangan. Wajar jika masjid dibangun oleh para tokoh agama.
Di Indonesia, masjid juga dipandang sebagai kelengkapan dari kerajaan Islam sehingga masjid dibangun di dekat kraton dan alun-alun. Ada kalanya panglima perang (adipati) memiliki masjid sendiri di tempat kedudukannya (Gazalba 1983: 256- 259). Oleh karena itu, bisa dipahami mengapa di Demak ada Masjid Agung Demak dan di sebelah timurnya (tepatnya di Kudus) terdapat masjid Kudus, karena Sunan Kudus adalah qadli (hakim) dan juga pernah berperan sebagai panglima Perang Kerajaan Demak ketika menaklukkan kekuasaan terakhir Majapahit di Kediri (Guillot dan Kalus 2008: 104, 117).
Dalam tradisi Islam klasik, terdapat dua jenis masjid, yaitu masjid jami dan masjid biasa. Masjid jam adalah masjid khusus yang dipergunakan untuk shalat Jumat, sedangkan masjid biasa dipergunakan untuk shalat sehari-hari. Masjid jami didirikan dengan izin khalifah dan memiliki khatib untuk shalat Jumat. Khalifah pula yang menunjuk imam shalat. Masjid jami berperan pula sebagai tempat pembelajaran dengan adanya halaqah-halaqah kajian keislaman di dalamnya. Jumlah masjid jami lebih sedikit dibandingkan masjid biasa.
Di Bagdad pada abad kesebelas masehi, misalnya, hanya ada enam masjid jami, sedangkan masjid biasa jumlahnya mencapai tiga ribuan (Makdisi 1981: 12-14). Di Indonesia, pembedaan masjid jami dan masjid biasa mungkin lebih cair. Masjid jami dibangun oleh raja, atau oleh para tokoh agama, sebagaimana dalam hal Masjid Demak. Masjid biasa menjadi masjid sekunder, yang dibangun oleh etnis maupun oleh masyarakat desa dan komunitas. Pengaruh etnis itu melahirkan masjid Pakojan, masjid Pacinan, dan Masjid Melayu, misalnya di Semarang. Masjid-masjid desa dibangun oleh masyarakat desa atau komunitas Ada pula masjid yang dibangun di dekat makam-makam keramat, yang awalnya dibangun untuk tempat shalat penziarah (Lombard 2005: II. 218-219).
Di Indonesia pada dasarnya tidak ada model tunggal bagi bentuk masjid. Denah masjid, misalnya, selalu berbentuk bujur sangkar, namun di denah Masjid Cirebon berbentuk persegi panjang. Masjid-masjid lama tidak dilengkapi dengan menara, namun beberapa masjid di Banten, seperti Masjid Agung Banten, Masjid Kasunyatan dan Masjid Pacinan memiliki menara sejak awal. Kolam air di masjid yang terletak di undak-undakan menuju ruang shalat dan ada pula yang kolamnya mengelilingi masjid.
Ciri khas masjid di Indonesia, khususnya di Jawa, adalah atap berbentuk tumpang ganjil (lima atau tujuh). Atap itu diduga dipengaruhi oleh meru (gunung mistik) di Bali atau dalam relief candi-candi Jawa, yang menggambarkan duplikat kosmos tentang tingkatan alam surgawi. Ada pula yang berpendapat atap tumpang dipengaruhi oleh bangunan bertingkat di Kashmir dan Malabar (Lombard 2005: II. 219).
Selain atap tumpang, masjid-masjid lama di Indonesia memiliki beberapa ciri khas lainnya, yaitu adanya serambi di depan atau di samping ruang utama masjid, adanya kolam di samping atau depan masjid, dan adanya pagar tembok di sekeliling masjid dengan satu sampai tiga pintu gerbang. Pintu masjid lama cukup rendah sehingga harus menundukkan kepala ketika melewatinya. Letak masjid umumnya di Bagian Barat alun-alun (Tjandrasasmita 2009: 239-240). Posisi masjid yang berada di alun-alun itu ada yang menafsirkan sebagai bagian dari tata letak gaya Hindu (Bagoes Wiryomartono 2009: 37-38). (Kendi Setiawan)
Baca hasil penelitian lainnya
DI SINI.