Balitbang Kemenag

Interaksi Keberagamaan pada Tradisi Gaok, Bobotan, dan Ngukus

Senin, 3 Agustus 2020 | 01:00 WIB

Interaksi Keberagamaan pada Tradisi Gaok, Bobotan, dan Ngukus

Selain menggunakan cerita tutur (kidung), tradisi bobotan di Indramayu menghadirkan sebuah tindakan dan ritual penimbangan tubuh dengan bahan-bahan kebutuhan pokok. Hal ini menunjukkan adanya prinsip-prinsip keseimbangan. (Foto: Antara)

Seiring waktu dan perkembangan zaman, banyak kebertahanan tradisi budaya di Indonesia yang dilemahkan oleh cara pandang keagamaan eksternal yang dikuatkan oleh para pendukung pelaku internalnya. Nilai utama atau nilai baik dalam tradisi dibantah dengan penilaian normatif keagamaan. 


Di satu sisi, proses itu menciptakan pelemahan tradisi, dan di sisi lain menguatkan konflik kelompok-kelompok di dalam komunitas, baik dalam sudut pandang keagamaan maupun dalam sudut sosial budaya pada umumnya. Cara pandang radikal dan perilaku intoleransi terhadap mereka yang berbeda merupakan dampak lanjutan dari proses pelemahan tradisi-tradisi sosial.


Seperti pada penelitian Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI tahun 2019 di mana para peneliti mengungkapkan bahwa parktik Gaok, Bobotan dan Ngukus dalam masyarakat Sunda dan Jawa memiliki sejarah tersendiri yang cukup panjang. Sayangnya, tiga tradisi ini semakin terpinggirkan oleh derasnya arus modernisasi terlebih ketika gerakan purifikasi menguat di perdesaan.


Padahal, tiga tradisi menjadi cerminan interaksi keberagamaan masyarakat Islam dengan budaya lokal. Hal ini menunjukkan sebuah gambaran tentang cara bagaimana masyarakat 'memahami kehidupan di dunia ini'. Secara konteks keagamaan, tiga tradisi ini merupakan manifestasi dari corak keagamaan yang berorientasi sufistik, sebagaimana nuansa perdesaan pada umumnya. Corak keagamaan sufistik merupakan corak keagamaan yang bersifat substitut (pengganti) bagi corak keagamaan yang legal formal (fiqh oriented). 


Gaok dalam praktiknya, mentransmisikan nilai-nilai lama dalam bentuk kidung, nyanyian, pepatah, dan bahkan ayat-ayat Al-Qur’an, disertai dengan langgam langgam sebagaimana dikenal oleh masyarakat Sunda. Para penutur Gaok berusaha mengemas ceritanya dengan penggunaan bahasa yang mudah dimengerti, gestur tubuh yang menarik dan ritme suara yang sesuai dengan ide ceritanya. 


Tidak demikian halnya dengan Bobotan, selain menggunakan cerita tutur (kidung), tradisi ini menghadirkan sebuah tindakan dan ritual penimbangan tubuh dengan bahan-bahan kebutuhan pokok. Hal ini menunjukkan adanya prinsip-prinsip keseimbangan.

 

Hampir sama dengan Bobotan, Ngukus memadukan antara tuturan (mantra dan kidung) dengan praktik ritual berupa pembakaran kemenyan. Dua tradisi terakhir yang paling sering dilabeli sebagai perbuatan bidah dalam kacamata kelompok puritan.


Di tengah perdebatan atau penilaian bidah terhadap tradisi tradisi lokal, sering kali terlupakan nilai-nilai utama yang menjadi kekuatan lahirnya berbagai tradisi itu di masyarakat. Tradisi Gaok, misalnya menunjukkan upaya transmisi nilai kebaikan tentang kehidupan sosial, pelestarian lingkungan, penghambaan kepada Tuhan, proses pemenuhan kebutuhan hidup dari nenek moyang kepada generasi selanjutnya. 


Demikian juga dengan tradisi Bobotan, di dalamnya sarat dengan nilai-nilai keutamaan. Misalnya, mengajarkan prinsip keseimbangan, kerendahan hati, mawas diri, etos kerja yang tinggi, membangun nilai nilai harmoni antara kepentingan diri dengan kepentingan kolektif. 

 

Sementara tradisi Ngukus mengajarkan penghargaan terhadap nilai-nilai kebaikan para leluhur, khususnya saat melakukan pembukaan wilayah, membangun wilayah, dan membentuk kolektivitas berbagai kelompok yang berbeda. Nilai-nilai utama tiga tradisi itu merupakan kekuatan dari apa yang disebut kearifan lokal. Dalam konteks trilogi kerukunan umat beragama, kearifan lokal yang dipenuhi dengan nilai keutamaan seperti ini sangat strategis dalam membangun harmoni kebangsaan.

 

Penulis: Kendi Setiawan

Editor: Musthofa Asrori