Balitbang Kemenag

Menekan Angka Perceraian dengan Perspektif Mubadalah 

Ahad, 7 November 2021 | 02:15 WIB

Menekan Angka Perceraian dengan Perspektif Mubadalah 

Ilustrasi

Pernikahan sejatinya mengarah pada kebahagian pasangan, namun yang terjadi di masyarakat ialah angka perceraian masih cukup tinggi. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menekan angka tersebut, salah satunya dengan membentuk Klinik Ketahanan Keluarga berbasis desa.  
 

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI menyoroti hal ini melalui penelitian yang berjudul Reduksi Perceraian Melalui Klinik Ketahanan Keluarga dan Relasi Kesalingan Perspektif Mubadalah (Pendekatan Tabaduli di Kabupaten Kulon Progo, DIY). Penelitian dilakukan tahun 2020. 
 

Dua desa yang menjadi projek penelitian Diana Zuhroh dan Lila Pangestu Hadiningrum ialah Desa Sogan dan Desa Giripurwo Kabupaten Kulon Progo. Tingginya kasus perceraian di daerah tersebut dibandingkan desa yang lain menjadi alasan utama penerapan proyek.
 

Penelitian tersebut mengungkap bahwa data dari Pengadilan Agama Wates, tahun 2017 telah terjadi  perceraian sebanyak 564 kasus, terdiri cerai talak 160 dan cerai gugat 404. Lalu meningkat pada tahun 2018 menjadi 679 kasus meliputi cerai talak 183, dan cerai gugat 496. tercatat penyebab utama perceraian pada dua tahun tersebut ialah perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Percekcokan tersebut umumnya diawali dari masalah ekonomi, perkawinan di bawah umur, hubungan jarak jauh karena pasangan bekerja di luar negeri atau luar kota, serta ketidakcocokan antarkeluarga.
 

Merespons hal ini, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPMD Dalduk KB) Kulon Progo kemudian membentuk Klinik Ketahanan Keluarga sebagai wadah konsultasi permasalahan rumah tangga. KUA, LSM, perangkat desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat juga dilibatkan dalam pelaksanaannya.


Penelitian menyebutkan, masalah yang kerap dihadapi klien ialah terkait kurangnya hubungan kesalingan antar pasangan, seperti masalah nafkah, tidak saling menghargai, tidak saling menghormati, ketidakcocokan baik dalam hal pemikiran maupun pemahaman terhadap agama. Oleh karena itu, pelayanan klien dilakukan dengan pola konsultasi, mediasi, dan negosiasi antar pasangan. Tujuannya ialah menguatkan kembali delapan fungsi keluarga, antara lain dari sisi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan. 
 

Delapan hal ini senada dengan prinsip mubadalah terkait lima pilar perkawinan yang harus ditegakkan. Kelimanya adalah mitsaqan ghalizhan (perjanjian agung yang harus dijaga bersama-sama), zawaj (berpasangan (suami isteri) dalam mewujudkan tujuan pernikahan), mu’asyarah bil ma’ruf (kesalingan), musyawarah (diskusi/perundingan ketika menyelesaikan masalah), dan taradhin min huma (kerelaan dan sikap saling menerima kedua belah pihak). 
 

Penguatan prinsip-prinsip di atas diharapkan dapat menjembatani para pasangan dalam menyelesaikan konflik rumah tangga sehingga terwujud keluarga yang berkualitas dan sejahtera.

Penulis: Laila Fauziah
Editor: Kendi Setiawan