Menguak Nilai Moderasi dari Akulturasi dan Kearifan Lokal Rumah Ibadah Bersejarah
Senin, 15 November 2021 | 05:00 WIB
Segi arsitektur bercorak Hindu-Buddha sangat kental dengan model gapura ketika memasuki Masjid Merah Panjunan, Cirebon (Foto: disparbud.jabarprov.go.id)
Penelitian oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI tahun 2020 mengungkapkan bahwa wujud moderasi juga ditemukan dalam budaya keagamaan pada rumah ibadah-rumah ibadah bersejarah.
Masmedia Pinem dan Dede Burhanudin, dalam penelitian berjudul Moderasi dan Tradisi Keagamaan di Rumah Ibadah Bersejarah menyebutkan nilai yang dimaksud adalah adanya tradisi yang masuk ke dalam wilayah keagamaan selama tidak bertentangan dengan wahyu. Begitu juga pada bangunan arsitektur rumah ibadah adanya unsur budaya lokal yang mempengaruhi bangunan rumah ibadah tertentu.
"Nilai moderasi pada bangunan atau arsitektur berakulturasi antara budaya luar dengan lokal. Begitu juga budayabudaya lokal menyatu dengan nilai-nilai keagamaan dalam suatu tradisi yang saling memengaruhi tanpa menafikan unsur yang satu dengan yang lain. Dari rumah ibadah bersejarah yang diteliti banyak nilai-nilai budaya lokal yang dan budaya luar yang masuk ke dalamnya baik pada tradisi keagamaan maupun arsitektur bangunan rumah ibadah tersebut," tulis peneliti dalam policy brief penelitan mereka.
Moderasi dalam bentuk internal beragama juga tampak, misalnya pada tradisi markurban yang ada di Masjid Sri Dunia Alam, Sipirok Tapanuli Selatan, Sumetara Utara. Tradisi saat Hari Raya Idul Kurban tersebut, masyarakat umat Islam setelah menyembelih hewan kurban, lalu memasaknya dan makan secara bersama-sama di masjid tersebut.
Hal senada didapati di Gereja Tugu, Jakarta ketika tradisi mandi-mandi dan rabo-rabo dilaksanakan setiap komunitas gereja saling mengunjungi dan saling bermaafan. Uniknya dalam berkunjung tersebut diiringi musik Kroncong Tugu, musik khas masyarakat Tugu yang keturunan Portugis.
Selanjutnya, peneliti mengungkapkan wujud moderasi didapati dalam bangunan rumah ibadah, seperti dalam arsitektur yang menerima unsur-unsur budaya lokal atau budaya yang datang dari luar. Hal semacam ini terdapat pada bangunan gereja Katolik Inkulturatif Pangururan, Samosir dan Inkulturatif St. Fransiscus, Asisi Berastagi. Kedua gereja ini tampak pada bangunannya menggunakan arsitektur dengan budaya Toba dan budaya Karo, yang diambil dari masing-masing rumah adat batak setempat.
Pada bangunan masjid ditemukan hal yang sama seperti yang terdapat pada bangunan masjid di Jawa dengan atap tumpangnya yang merupakan pengaruh agama Hindu-Budha. Bahkan dari segi arsitektur yang bercorak Hindu-Buddha pada masjid-masjid tua di Cirebon sangat kental dengan model gapura ketika memasuki masjid dengan warna merah yang mencolok seperti yang ada pada Masjid Merah Panjunan.
Di samping itu, dalam konteks tradisi keagamaan, moderasi beragama ditemukan di Masjid Demak dengan tradisi maleman (selikuran), weh-wehan (tradisi Syawalan) yang dilakukan di Masjid Al-Muttaqin, Kaliwungu. Peneliti menyebut, maleman adalah tradisi yang dilakukan sepuluh hari terakhir berupa mendekatkan diri kepada Allah dengan diorganisir oleh panitian Masjid Agung setiap tahunnya. Sedangkan weh-wehan,yaitu tradisi memafkan dan saling berkunjung ke rumah di saat Idul Fitri dengan memberikan makanan sesame tetangga dengan bentuk dan corak makanan yang tidak ditentukan jenisnya.
Dalam kehidupan yang majemuk, sebut peneliti, perlu pemahaman dan kesadaran yang multibudaya siap menghargai perbedaan, dan keinginan berinteraksi dengan siapa pun secara arif. Berhadapan dengan keragaman, diperlukan sikap moderasi berupa pengakuan atas keberadaan orang lain, memiliki sikap toleran, menghormati atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan kehendak. Nilai moderasi yang ada pada rumah ibadah bersejarah juga dapat diterapakan dengan adanya nilai-nilai berupa, keseimbangan, kedamaian, keadilan dan harmonisasi.
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori