Jakarta, NU Online
Dalam buku Top 10 Ekosantri, Pionir Kemandirian Pesantren yang diterbitkan tahun 2017 oleh Puslitbang Pendidikan dan Keagamaan Balitbang Diklat Kementerian Agama, Desa Mlangi merupakan desa wisata religi. Salah satu wujudnya karena Desa Mlangi memang tergolong kampung santri. Enam belas pesantren dan santri-santrinya mampu mewarnai kampung dengan kekhasannya. Tidak heran jika Mlangi ditetapkan sebagai desa wisata berbasis pesantren.
Pengembangan desa wisata, sebagai perwujudan pariwisata telah menjadi alternatif ekonomi berbasis masyarakat yang berkembang akhir-akhir ini. Di Yogyakarta bermunculan destinasi desa wisata di berbagai lokasi. Dilansir dari pikiranrakyat.com, jumlah desa wisata di Yogyakarta yang telah terdaftar di lima kabupaten dan kota telah mencapai jumlah 122 tempat, dengan sebaran 38 desa wisata di Sleman, 14 desa wisata di Gunung Kidul, 27 di Kota Yogyakarta, 33 di Bantul, dan 10 di Kulon Progo.
Berdasarkan keterangan Ihsan, salah satu narasumber dalam buku tersebut dan merupakan ketua panitia Pengembangan Desa Wisata Mlangi, jumlah pengunjung ke Desa Mlangi dari luar daerah rata-rata per hari tidak kurang dari dua bus. Hal ini menunjukkan potensi yang dimiliki Desa Mlangi sebagai desa berbasis pesantren.
Bukan hanya kaya sejarah budaya dan religi, Mlangi juga dihidupkan oleh kegiatan ekonomi. Mlangi pernah mencatat menjadi salah satu pusat industri batik berbasis masyarakat pada era 70-an hingga 80-an. Batik yang dihasilkan adalah batik lukis. Tradisi ini kemudian redup dengan adanya industrialisasi batik melalui batik stempel yang diproduksi secara massal oleh pabrik. Meredupnya batik tidak membuat mati ekonomi di dusun ini. Mlangi bangkit lagi menjadi salah satu pusat industri konveksi pada era 90-an.
Berbagai komoditi untuk pemenuhan pasar rakyat Malioboro dihasilkan dari industri santri Mlangi. Mlangi saat itu menjadi pemasok utama dagangan konveksi di sepanjang Malioboro. Bahkan saat itu, konveksi produksi Mlangi telah menjadi pemasok ke Borobudur, Prambanan hingga ke Pangandaran di Jawa Barat.
Menurut pengakuan Siti Umiyah, salah satu pelaku industri konveksi, dia berhasil mempekerjakan 35 orang dalam mengelola industri konveksi ini pada 90-an. Dia juga berkeliling Indonesia memasarkan hasil produksinya. Selain menyuplai produk ke tempat-tempat wisata seperti Malioboro, Prambanan dan Borobudur, dia juga memasarkan barang ke Medan, Padang, Lampung, Palembang, Jakarta. Dia pun ikut pameran di Manado, Lombok dan Bali. Industri konveksi Mlangi kembali dihantam pengusaha konveksi khususnya dari Pekalongan, Klaten dan Solo. Saat ini usaha konveksi masih bertahan dalam batas-batas tertentu.
Usaha pengembangan ekonomi di Mlangi secara perlahan mendapatkan momentumnya kembali dengan ditetapkannya Mlangi sebagai Desa Wisata. Pemerintah Kabupaten Sleman telah menetapkan 38 desa wisata di wilayahnya, dan Mlangi menjadi salah satunya. Mlangi disebut sebagai desa wisata religi, dengan salah satu modal pendukungnya adalah industri kreatif masyarakat. Kawasan Mlangi sebagai kawasan desa wisata yang berbasis pesantren merupakan modal sosial dan budaya yang tidak terpungkiri.
Dengan keberadaan beberapa aset wisata seperti Masjid Pathok Negoro, makam Mbah Nur Iman, keberadaan 16 pesantren, keberadaan masyarakat yang aktif dalam industri kreatif menjadi kekayaan Desa Mlangi yang saling melengkapi untuk menjadikan kawasan Mlangi layak sebagai daerah tujuan wisata.
Pesantren Ar Risalah dengan kepemimpinan KH Abdullah juga telah menjadi pelopor dalam menjadikan kawasan Mlangi sebagai tujuan wisata (ziarah). Beberapa langkah telah dilakukan KH Abdullah untuk mendorong Mlangi menjadi yang semakin ramai dikunjungi para peziarah, seperti pembangunan Makam Mbah Nur Iman, pendiri desa Mlangi, acara Haul Tahunan yang melibatkan semua warga Mlangi dalam menghormati tokoh pendahulu mereka. Tak lupa usaha ekonomi yang memfasilitasi kebutuhan para peziarah.
Obyek wisata desa religi Mlangi memiliki keunggulan dan unique selling point sumber daya lokal yang berbeda dari desa wisata lain. Sejarah dan religi yang dimiliki oleh Kabupaten Sleman menjadi pembeda itu. Hanya saja dibutuhkan kerjasama antar-stakeholder dan kesadaran warga setempat untuk bersama-sama menjaga, melestarikan dan juga mempromosikan desa wisata Mlangi ini sebagai wisata religi yang baik dan layak.
Melihat potensi besar seperti ini, tentunya pengembangan wisata berbasis pesantren hanya memerlukan sentuhan-sentuhan yang lebih canggih agar penataan kawasan bisa terlaksana. Beberapa harapan yang muncul dalam konteks pengembangan ke arah itu antara lain munculnya generasi muda baru. Mereka terpelajar dalam pendidikan modern yang berpotensi menjadi kekuatan dinamis dari dalam masyarakat pesantren. Beberapa putra atau keluarga kiai telah menempuh pendidikan S2 dan S3 yang mempunyai wawasan lebih terbuka dibandingkan para pendahulunya.
Di samping itu, masyarakat Mlangi telah melalui berbagai pembicaraan. Dengan demikian, mulai ada titik temu masyarakat dalam mencoba mengarahkan pengembangan kawasan wisata melalui yayasan yang dimiliki masyarakat melalui divisi pengembangan kebudayaan. Adanya dua potensi saja, menurut pengkaji belumlah cukup untuk mempercepat usaha pengembangan desa wisata. Dari pihak pemerintah, melalui berbagai unit yang terkait seperti dinas pariwisata, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Kementerian Agama (Kemenag) bisa melakukan pendampingan yang terencana untuk kemajuan pengembangan wisata berbasis pesantren.
Dapat disebutkan bahwa potensi pariwisata di lingkungan pesantren sesungguhnya mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan. Lokasi pesantren dan beberapa hal yang mendukung seperti tokoh awal pendiri pesantren, kreativitas di bidang ekonomi telah mengundang peziarah untuk datang. Kerjasama berbagai pihak akan mendorong terwujudnya pengembangan pariwisata berbasis pesantren tanpa harus mengorbankan kekhasan pesantren sebagai lembaga tafaquh fiddin. (Kendi Setiawan)