Balitbang Kemenag

Peran Masjid bagi Perkembangan Pemikiran Islam Awal Abad Ke-20

Senin, 6 Mei 2019 | 12:00 WIB

Peran Masjid bagi Perkembangan Pemikiran Islam Awal Abad Ke-20

Masjid At-Taqwa Pembusuang (placesmap.net)

Bagi seorang Muslim yang kerap mengunjungi Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, mungkin tidak asing dengan Masjid Raya Campalagian. Masjid yang dibangun awal abab ke-20 tersebut ternyata memiliki banyak nilai sejarah yang bisa dipetik oleh kita sebagai generasi Islam modern.
 
Masjid yang dimanfaatkan masyarakat kawasan Indonesia Tengah itu telah banyak melahirkan ulama Nusantara terkemuka. Seperti KH Abdul Hamid yang juga merupakan perintis; kemudian Sayyid Alwi bin Abdullah bin Sahl, KH Maddappungan, KH Abdur Rahim, KH Muhammadiyah, KH Muh Zein, KH Mahmud Ismail, dan KH Najamuddin Thahir. 

Mengapa masjid banyak melahirkan ulama hebat seperti disebutkan di atas? Ternyata fungsi masjid di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan kala itu tidak hanya menjadi tempat shalat, melainkan juga tempat mengkader generasi Islam. 

Riset Balai Penelitian dan Pengembangan Keagamaan (BLA) Makassar Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada 2018 lalu mengungkap, masjid memiliki peranan penting untuk peradaban Islam termasuk melahirkan pemikir pemikir Islam yang mengarahkan masyarakat secara langsung. 

Di antara ulama Nusantara yang memiliki kaitan dengan budaya halakah di Masjid yang berhasil ditelusuri misalnya Gurutta/Gurunta Haji GH Abdurrahim/Cella’ Panrita, GH Muhammad Said Maulana, GH Paharuddin, GH Syahruddin, GH Usman Arif, GH Abdul Jalil, GH Abdul Mun’im, GH Muhammad Saleh, GH Abdurrasyid (Ulama Pangkep), GH Abdul Gaffar Puang Tobo, GH Muhammad Asaf/GH Cappa Jambatang, G Puang Sudding Tabbua, GH Dolla, GH Syamsuddin, GH Asnawi, GH Zainuddin (ulama Maros).
 
Kemampuan para kiai sepuh dalam memahami ajaran Islam diperoleh melalui jalur kekerabatan Sayyid seperti Sayyid Abd Hamid Petta Sampa dan Sayyid Abd Rahim Puang Raga. Peninggalan mereka seperti masjid yang mereka rintis dan hingga kini masih digunakan menjadi bukti eksistensi mereka dalam memberi pencerahan atau pemahaman agama kepada masyarakat.

Kemudian, jaringan intelektual yang dilakukan oleh para ulama di Kabupaten Pinrang misalnya, pada awal abad ke-20 mereka memperkuat basis intelektualnya melalui mangaji tudang yang dipusatkan di masjid. Sistem pendidikan mangaji tudang, memperkuat akar kultur pada karakter anak didik yang berbasis budaya moral yang telah dicontohkan oleh para santri ketika menimba ilmu maupun transmisi keilmuan itu berlangsung penuh keikhlasan tanpa tendensi material, dengan tata aturan moral yang begitu menggambarkan nilai kesopanan sebagai budaya Timur.

Hasil penelitian yang dipusatkan di Masjid At-Taqwa-Pembusuang itu juga merinci, jaringan ulama di Pangkep dan Maros terbentuk melalui dua hal yaitu melalui jaringan keilmuan dan jaringan kekerabatan. Sebagian besar ulama tersebut belajar di satu tempat yaitu Makkah. Seusai menuntut ilmu, mereka aktif mengabdikan ilmu di masyarakat dalam bentuk pengajian kitab/halaqah atau ceramah agama. 

Usaha halakah ini dilaksanakan secara turun-temurun oleh keturunan keturunan Syekh Ady (Guru Ga’de) sebagai peletak dasar pembangunan Masjid At-Taqwa sekaligus sebagai imam masjid dan figur sentral dalam kaderisasi ulama. 

Kaderisasi mulai berkembang pada periode Imam KH Syahabuddin hingga ditawan oleh pihak Kolonial Belanda. Usahanya dilanjutkan oleh Habib Hasan bin Alwi bin Sahl (Puang Lero).  Pada masa inilah puncak keemasan kaderisasi ulama di Pambusuang dengan munculnya generasi penerus seperti KH Abdul Hafidz, KH Abd Hadi, KH Muh Said, KH Abdullah, KH Ismail, S Husen Alwy Alatas, KH Najamuddin, KH  Abdul Rasyid, dan lain sebagainya.

Sementara itu, dalam riset lanjutan itu, jaringan ulama di Majene dijabarkan dalam tiga poin. Pertama, jaringan keilmuan ulama di Majene terbentuk berkat peran serta beberapa ulama yang memiliki jaringan ke beberapa lokasi. 
Ada yang berjejaring ke Makkah, Sumatra, Jakarta, Mangkoso, Salemo, dan jaringan lokal seperti Campalagian, Pambusuang, dan Tinambung. Di antara tokoh ulama tersebut yakni KH Muhammad Shaleh, KH Muhammad As’ad Alias KH Daeng,KH Ahmad Ma’ruf dan beberapa tokoh lainnya.

Kedua, peran-peran ulama dalam pembentukan jaringan ulama di Kabupaten Majene lebih condong sebagai seorang guru yang melahirkan generasi ulama selanjutnya. Selebihnya, ada yang membangun pesantren, masjid, sebagai pusat kaderisasi ulama. 

Ketiga, dampak lebih jauh dari keberadaan para ulama tersebut hingga kini, yakni peninggalan-peninggalan ulama berupa pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga yang tetap eksis membina santri, ada juga beberapa masjid yang merupakan rintisan ulama yang hingga kini menjadi salah satu pembinaan keagamaan di Kabupaten Majene.

Jika ditelurusi secara mendalam terutama jika dikaji dari perkembangan islam Indonesia prakemerdekaan. Terdapat fleksibilitas jaringan ulama di daerah Bone, Wajo, dan Soppeng dalam merespons dan menjawab perubahan-perubahan sosial politik dalam konteks lebih luas. 

Pada dekade awal abad ke-20, ketika kontrol pemerintah Hindia Belanda menguat, transmisi keilmuan Islam yang diperankan oleh ulama bekerja secara nonformal melalui pengajian-pengajian di masjid-masjid.  Pada periode ini, Imam masjid memiliki peran yang sangat signifikan dalam mentransmisikan ajaran Islam. Ketika politik etis Hindia Belanda mulai menghasilkan elite baru yang terdidik, jaringan ulama pun dengan dukungan otoritas lokal merespons dengan membangun basis pendidikan yang lebih modern. 

Salah satu dampak positif dari kegiatan halawah di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat itu misalnya telah membuka cakrawala berfikir masyarakat yang lebih berkembang. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya tokoh masyarakat yang merespon dengan mendirikan pesantren. Muhammad As’ad misalnya, ia membangun MAI di Sengkang dan Andi Mappanyukki mensponsori secara finansial berdirinya Madrasah Amiriah di Watampone itu. Pada periode berikutnya, MAI yang berubah menjadi Pesantren As’adiyah menjadi pusat transmisi keilmuan Islam di Sulawesi Selatan. 

Hal serupa terjadi di Enrekang dan Palopo, kapasitas keilmuan yang mumpuni menjadikan mereka mau ikut mengembangkan pendidikan agama kepada masyarakat. Mereka belajar ilmu agama secara berjejaring, seperti Puang Kali Abd Hamid yang berguru dari AGH Muhammad As’ad di MAI Wajo, kemudian membentuk jaringan intelektual di Enrekang dengan mendirikan Sekolah Menengah Islam (SMI) di Enrekang pada tahun 1965. 

Demikian juga dengan Puang Kali Muhammad Hasyim yang juga berguru dari MAI Wajo, direkrut oleh Syekh Mahmud Abdul Jawad sebagai guru MAI Cimpu Belopa. Selanjutnya ia sendiri mendirikan Madrasah Alfakhriyah di Cimpu Belopa yang kemudian saat ini dikenal dengan MIW (Madrasah Islamiyah Wathaniyah). (Abdul Rahman Ahdori/Kendi Setiawan)


Terkait