Terapkan Kurikulum, Kemenag Perlu Pemetaan dan Tipologisasi Sekolah
Jumat, 13 Maret 2020 | 01:40 WIB
Penelitian ini menyasar sembilan provinsi. Yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Semarang), Jawa Timur (Surabaya), Sumatera Barat (Padang), Nusa Tenggara Barat (Mataram), Kalimantan Selatan (Banjarmasin), dan Sulawesi Selatan (Makassar).
Riset yang menggunakan metode kualitatif ini menyebar di 27 sekolah di semua jenjang, yakni SDN, SMPN, dan SMAN. Pengumpulan data melalui wawancara dengan pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, dan siswa.
Penelitian tersebut setidaknya menghasilkan tujuh temuan. Pertama, secara umum KI dan KD Kurikulum Tahun 2013 pada mapel PAI dan Budi Pekerti meliputi SD, SMP, dan SMA tidak bermasalah. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan kesesuaian antara KI dengan bobot KD. Secara psikologis, sesuai pula dengan kebutuhan perkembangan keagamaan siswa kendati dalam beberapa materi terjadi repetisi.
Kedua, cara pandang yang digunakan dalam menyusun Standar Kompetensi Lulusan (SKL), KI, dan KD adalah kontekstual, integratif, dan holistik meliputi dimensi pengetahuan, sikap/perilaku, dan keterampilan. Kesemuanya diharapkan dapat dikuasai siswa pascapembelajaran. Untuk SKL sendiri menjadi rujukan utama mengembangkan KI yang dijabarkan dalam KD.
Ketiga, dilihat dari aspek dokumen Kurikulum 2013, proses pembelajaran PAI meliputi SD, SMP, dan SMA sarat dengan pesan moral keagamaan dan kebangsaan. Keduanya terintegrasi dalam misi membangun religiusitas dan kebangsaan sekaligus. Hal ini tercermin antara lain dengan banyaknya tema yang relevan dengan kondisi kebangsaan seperti cinta Tanah Air, toleransi, saling menghargai, anti kekerasan, dan bersikap terbuka terhadap perbedaan.
Keempat, terkait perbaikan KI KD mapel PAI perlu direvisi. Sebab, kurikulum PAI di sekolah telah memuat materi keagamaan dan kebangsaan. Namun, ada beberapa bagian yang perlu ditambahkan tentang materi toleransi dan kebangsaan. Terutama pada jenjang SMP dan SMA. Meski demikian, terkait perubahan KI KD baik itu penambahan atau pengurangan porsi tetap memperhatikan beban kerja guru dan alokasi waktu yang tersedia untuk pembelajaran di sekolah.
Kelima, menurut penilaian guru, materi PAI yang lebih diprioritaskan adalah Akhlak, baru Ibadah, kemudian Akidah. Akhlak dinilai sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pribadi dan anggota masyarakat. Sejatinya, pondasi akidah dan ibadah sudah ada, terutama pada SMP dan SMA. Materi yang disampaikan juga lebih bersifat pendalaman dan penguatan.
Meski demikian, faktanya justru materi Ibadah dan Akidah lebih banyak daripada Akhlak. Oleh karena itu, materi terkait Akhlak harus lebih banyak sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013 terkait pembangunan karakter peserta didik.
Keenam, KI-KD PAI dan materinya lebih pada pembentukan akhlak personal (individual) ketimbang akhlak sosial. Sebagai sebuah bangsa dengan keanekaragaman yang sangat kaya, sangat dibutuhkan akhlak sosial yaitu individu yang menghargai dan peduli sesama dan orang lain. Oleh karenanya, KI-KD PAI harus dapat mengembangkan secara seimbang antara akhlak personal dengan akhlak sosial.
Ketujuh, pemberian materi PAI tentang perbedaan intraagama (madzhab atau sekte) dan antaragama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu) untuk jenjang SD dan SMP masih belum layak diperkenalkan. Sedangkan pada jenjang SMA sudah boleh dipelajari. Namun, hanya sebatas pengenalan saja. Tidak perlu mendalam.
Selain perlu melakukan pemetaan dan tipologisasi sekolah dalam mengimplementasikan kurikulum, setidaknya ada dua rekomendasi dari riset tersebut. Pertama, pengulangan atau repetisi beberapa materi mapel PAI mungkin dibutuhkan. Alasannya untuk penguatan pesan atau sebagai pijakan dalam memasuki materi berikutnya.
Meski demikian, penyajian materi yang diulang harus disesuaikan dengan perkembangan wawasan dan pengetahuan siswa. Hal ini ditempuh agar tidak monoton dan ada nilai plusnya dibanding materi yang sama sebelumnya. Dalam hal ini Kemenag berkoordinasi dengan Kemendikbud mengupayakan pengayaan terhadap materi-materi PAI yang diulang.
Kedua, perspektif yang digunakan dalam penyusunan SKL, KI, dan KD yang kontekstual, integratif dan holistik memungkinkan terbangunnya sosok pribadi yang religius sekaligus memiliki komitmen kebangsaan yang kuat. Meski begitu, seiring dengan menguatnya gejala radikalisme agama di satu sisi dan liberalisme di sisi lainnya, Kemenag perlu memodifikasi materi pelajaran PAI yang lebih menekankan pada penguatan nilai-nilai toleransi dan kebangsaan.
Penulis: Musthofa Asrori