Wajah Islam Moderat yang Diajarkan Tiga Ulama Nusantara Abad 18
Selasa, 22 Juni 2021 | 08:00 WIB
Ilustrasi: Lekatnya wajah Islam yang moderat di Indonesia ternyata memang sudah ada sejak lama. Ajaran-ajaran tersebut telah diajarkan dan disebarluaskan oleh ulama-ulama Nusantara untuk mewujudkan masyarakat pribumi yang damai dan rukun .
Keberadaan manuskrip di Nusantara, khususnya manuskrip Islam, turut serta menjaga keseimbangan untuk keberlangsungan kehidupan bernegara dan beragama di Nusantara ini. Hubungan antarulama dan antarumat secara umum dengan mempertahankan budaya lokal terjalin dengan erat. Selain meninggalkan peninggalan bersifat normatif yang terkandung dalam naskah-naskah beraksara Arab, kaum Muslimin juga meninggalkan peninggalan bersifat empiris yaitu terintegrasinya bangsa Indonesia.
Hal inilah yang coba digali oleh Tim Peneliti Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi Balitbang Diklat Kementerian Agama tahun 2020 melalui penelitian Representasi Wajah Islam Moderat: Kajian Tiga Ulama Nusantara Abad 18. Penelitian fokus terhadap pesan atau ajaran dari Syekh Abdussamad Al-Palembani, Syekh Yusuf Al Makassari, dan Syekh Ahmad Rifa’i Kalisalak.
Ketiga ulama tersebut telah banyak melahirkan karya dalam bentuk manuskrip yang tidak hanya menjangkau daerah di Indonesia, namun juga ke pelbagai penjuru dunia.
Menurut penelitian tersebut, lekatnya wajah Islam yang moderat di Indonesia ternyata memang sudah ada sejak lama. Ajaran-ajaran tersebut telah diajarkan dan disebarluaskan oleh ulama-ulama Nusantara untuk mewujudkan masyarakat pribumi yang damai dan rukun .
"Pendekatan historis dapat dilakukan dengan melihat pengalaman sejarah islamisasi di Nusantara. Proses islamisasi yang sudah dilakukan oleh ulama terdahulu, bisa dijadikan contoh bagaimana para ulama dan auliya (Walisongo) mendakwahkan Islam yang damai tanpa konflik dan tanpa kekerasan berdarah. Proses islamisasi Nusantara juga dilakukan secara bertahap tidak drastis revolutif. Model islamisasi yang persuasif, moderat, melalui pendekatan kultural yang berinteraksi dengan kearifan lokal, sudah lama diterapkan oleh para Waliongo pada abad 14-16, Syekh Abdurrauf Singkili, Syekh Abdus Samad Al-Palimbangi, Syekh Yusuf Makassari, dan Syekh, Nawawi Al Bantani abad 17-18, Kiai Ahmad Rifai Kali Salak. Kiai Soleh Darat As-Samarangi, KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, abad 19-20," papar hasil penelitian.
Hasil penelitian tersebut juga mengungkap bahwa Syekh Abdus Samad Al-Palimbangi, Syekh Yusuf Makassari, dan Kiai Ahmad Rifa'i Kali Salak telah membangun persatuan dan kesatuan dengan konsep cinta tanah air, tidak membuat kerusakan, namun membuat hidup masyarakat menjadi nyaman, damai, dan tenteram.
"Ketiganya memerangi kolonial (Belanda) dengan berjihad karena kolonialisme telah meresahkan masyarakat, merusak dan membuat masyarakat tidak aman. Di sisi lain, mereka sangat bijak mendidik masyarakatnya untuk hidup toleran dan saling memahami antara satu sama lainnya. Sehingga tidak dengan mudah menyalahkan orang lain," sebut peneliti.
Namun, munculnya radikalisasi agama dewasa ini menjadi tanggung jawab bersama untuk mengembalikan ajaran agama santun dan damai. Salah satu cara deradikalisasi ialah melalui dialog persuasif dan merangkul, bukan menjauhi dan membiarkan kelompok-kelompok tersebut bebas bergerilya.
Pada lima tahun ke belakang terdapat tingkat penurunan angka kejadian aksi terorisme. Tercatat hanya satu kali, yaitu bom dan penembakan di Jalan Thamrin pada tanggal 14 Januari 2016. Berdasar laporan Global Terorisme Index (GTI) tahun 2014 dan 2015, yang merilis daftar negara-negara dengan angka tingkat terorisme tertinggi, Irak menempati rekor tertinggi dengan angka 10 pada tahun 2014 dan 2015, di posisi kedua Afganistan dengan angka 9,39 tahun 2014 dan 9,23 di tahun 2015. Dari rilis GTI tersebut posisi Indonesia ada di rangking 31 dengan angka 4,67 tahun 2014, dan turun ke rangking ke 33 dengan angka indek 4,75.
Melihat data tersebut, peneliti memberikan saran tentang adanya upaya strategi yang baik agar terlihat wujud wajah Nusantara yang sebenarnya yang memiliki akar historisnya. "Rekomendasi kebijakan yang dapat ditawarkan adalah melakukan usaha penggalian dan kajian kembali informasi atau pengetahuan sejarah dan menghubungkannya dengan masa sekarang, sehingga terlihat kesinambungan antara keduanya. Naskah kuno yang menjadi warisan bangsa akan tidak lagi dianggap sebagai benda mati namun ia akan hidup bersama dengan hidupnya bangsa ini sepanjang masa dari setiap generasi ke generasi berikutnya," tulis peneliti.
Strategi berikutnya adalah mengangkat kembali ajaran moderasi dan toleransi yang sudah dibangun para ulama masa lampau untuk tidak hanya diajarkan di sekolah, melainkan diajarkan dalam semua lini media, terutama melalui media sosial.
Penulis: Rifatuz Zahro
Editor: Kendi Setiawan