Oleh Hanifah Rahadianty Kusmana
Bibir Inah tak kunjung berhenti bicara. Meletup-letup menceritakan keindahan kampung halamannya. Berulang kali ia menceritakan keseharian di desa tempat ia berasal tak membuatku bosan. Kehidupan metropolitan di ibukota menimbulkan rasa jemu pada diriku. Keseharianku berkuatat pada siklus rumah, kampus, dan kembali ke rumah, dengan sedikit variasi berupa ibadah ke gereja atau belanja di mall pada akhir pekan.
“Di kampung Inah, tidak dapat Neng temukan mall. Yang kami punya adalah sawah, air terjun, dan Gunung Manglayang. Inah sehari-hari nandur di sawah, makanya kulit Inah hitam, tidak putih seperti kulit Neng Feli,” Inah nyerocos dengan girangnya. “Kami di desa senang makan peutuey, Neng Felic tahu peuteuy tidak?”
Aku mengerutkan alis,”Peuteuy? Aku belum pernah mendengarnya.”
“Peuteuy itu sejenis sayuran yang bentuknya panjang, isinya bulat-bulat. Bila kita makan akan meninggalkan napas tak sedap pada mulut kita,”Inah memberi petunjuk seperti main tebak-tebakan.
Aku berpikir, terdiam sejenak.
“Ooo... maksudnya pete?”
Inah menyunggingkan senyum tiga jari, mengacungkan jempol. “Leres pisan!”
“Apa tuh artinya?” aku bertanya.
“Itu bahasa Sunda, dalam bahasa Indonesia artinya betul sekali.”
Aku terkekeh, begitu terhibur dengan cara Inah menyampaikan cerita. Inah bagiku bukan hanya seorang pembantu rumah tangga, melainkan juga sahabat sejati yang senantiasa mendengarkan keluh kesah di saat aku mengalami kesulitan, memberi nasihat ketika aku kebingungan, dan tentu saja melipur laraku dengan ocehan ringannya. Dara belia itu berusia 20 tahun, setahun lebih tua dibanding usiaku. Ia cantik, gesit, dan punya semangat kerja yang menggebu. Sayangnya, nasib yang ia lalui tak semenawan paras dan hatinya. Dari 4 bersaudara, ia anak tertua. Ketiga adiknya masih bersekolah. Ibunya menjanda setelah ditinggal mati bapak Inah lima tahun yang lalu. Meskipun dirinya hanya lulusan SD, Inah memiliki tekad yang tak tergoyahkan bahwa adik-adiknya harus bernasib lebih baik daripadanya. Selepas lulus bangku SD, Inah membantu kerja tani. Pada usia 17 tahun, ketika kejemuan terhadap pekerjaan di sawah sudah tak terbendung, ia memberanikan diri merantau ke kota besar nan penuh sesak bernama Jakarta, tak berbekal apa pun kecuali ongkos seadanya hasil menjual gabah dan ambisi yang membuncah meluap-luap.
Sesampainya di hingar-bingar kota tempat ia mengadu nasib, ia menginap di rumah Ceu Neneng, tetangganya di kampung yang berdagang sayur di belakang kompleks rumahku. Dari Ceu Neneng itulah ia memperoleh informasi bahwa Mami sedang mencari orang untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Semenjak hari pertama kehadirannya di rumahku, aku sudah menduga Inah akan berteman baik denganku. Dugaanku ternyata meleset. Ia tak dapat disebut sekadar teman karib, namun ia layaknya saudara bagiku. Takdir sebagai anak tunggal yang tinggal di rumah gedongan meninggalkanku dalam kesepian, apalagi Mami adalah pengusaha dengan kesibukan segudang sehingga selalu pulang kala matahari sudah dijemput malam. Dengan adanya Inah, rumah tak lagi sunyi. Bersama Inah, rasa suntukku sirna, ditepis oleh keceriaan yang ia tularkan kepadaku sepanjang hari.
Alasan mengapa Inah dan aku menemukan kecocokan pada diri masing-masing masih menjadi teka-teki. Padahal, Tuhan memberikan segala hal yang kontras pada kehidupan kami: aku Tionghoa, sementara ia pribumi Sunda; aku pendiam dan pemalu, sedangkan ia ceriwis dan percaya diri; aku Kristen, sedangkan ia Muslim yang tak pernah meninggalkan shalat dan membaca Yasin pada malam Jumat. Dan yang paling mengherankan menurut Mami, adalah kenyataan bahwa aku anak majikan, berkebalikan 180 derajat dari status seorang pembantu. Mendengarnya, hatiku seolah tersayat oleh belati. Mengapa Mami tidak melihat ketulusan Inah berteman denganku? Sayangnya aku tak kuasa menyatakan kecamuk dalam diri, itulah rintangan bagi setiap pengecut sepertiku. Seharusnya aku dapat meyanggah persepsi pongah Mami dan membela sahabatku, meskipun itu tak mudah karena Mami adalah ibu yang dominan. Setiap sabdanya tak boleh dibantah. Alangkah menyebalkan mendengarnya mengomel, memarahi setiap orang yang gagal memenuhi standar kerja yang sempurna! Di antara pegawai pabrik milik keluarga kami, ia dikenal galak. Di antara kolega bisnisnya, ia dikenal sebagai wanita yang lihai dan cermat menyasar peluang usaha. Betapapun gondoknya aku terhadap Mami, tetap saja tak berani aku melawannya. Bagaimanapun juga, Mami adalah ibu tangguh bermental besi, tiada bandingnya, telah teruji oleh rentetan kepahitan hidup. Semenjak bercerai dari Papi 13 tahun silam, Mami bangkit dari keterpurukannya dengan mengembangkan bisnis keluarga, memperluas jaringan bisnisnya hingga skala nasional seperti hari ini. Dan yang terpenting, membesarkanku seorang diri. Ibu mana yang lebih hebat daripada dia?
***
Tugas yang menumpuk membuat berpaling dari tatapan kojing adalah sebuah dosa. Bokong yang sudah dijejalkan di atas kursi selama tiga jam ini menjadi saksi atas kawalahanku berpacu memburu 2.500 kata yang harus mengisi esaiku sebelum jam 8 malam. Akhirnya rampung sudah esai ini, siap dilayangkan melalui surel kepada dosenku. Setengah jam menuju deadline, surel tadi bertengger dalam jajaran surel yang sukses terkirim. Jantungku yang selama tiga jam ritmenya sekencang tabuhan tamborin pun melambat. Lega. Napasku kembali normal.
Pintu kamarku diketuk. Wajah Inah menyembul di baliknya. “Neng, sudah jam 8 malam. Makan dulu atuh, Neng.”
“Baiklah,”timpalku seraya beranjak menuju meja makan. Seperti biasa, Inah menemaniku bersantap makan malam.
Aroma kuah sop di mangkuk mengalir masuk ke hidungku, merangsang saraf penghirup hingga aku terbuai oleh harumnya. Aromanya saja menggiurkan, apalagi rasanya. Aroma menggoda itu datang dari kaldu ayam yang begitu gurih di lidah. Belum lagi sayuran segar yang membuat nafsu makan ini terbangkitkan setelah kumengabaikan lambung yang meronta minta makan selama aku sibuk bertempur menghadang tugas kuliah. Ah, masakan Inah barangkali paling lezat seantero jagad!
“Neng, Inah punya impian,” katanya membuka obrolan.
“Apa itu?,” tanyaku.
Inah mencecarku dengan celotehannya,“Inah ingin menyekolakan adik-adik Inah sampai lulus SMA, kalau perlu sampai lulus sarjana! Adik Inah yang perempuan sekarang kelas 2 SMP, ia pintar, rangking 1 di sekolahnya. Selain pintar, ia juga rajin mengaji. Adik Inah yang anak nomor tiga laki-laki, sekarang kelas 3 SD, agak kurang cerdas di sekolah tapi ia berbakat main bola. Kelak katanya ingin menjadi atlet sepak bola Persib Bandung. Sedangkan adik yang bontot umur 4 tahun tapi sudah bisa baca. Inah bangga pada mereka!”
Aku menyimak, sesekali mengangguk.
“Di desa Inah di Cicalengka, bangunan sekolah tidak memadai. Temboknya berjamur, atapnya gompel sehingga bocor setiap hujan turun. Justru dengan keterbatasan itu, adik-adik Inah makin terpecut belajar giat. Pesan Inah kepada mereka, boleh jadi orang kampung, asalkan tidak kampungan. Tidak kampungan salah satunya diraih melalui pendidikan,” mata Inah berkaca-kaca, menyiratkan antusiasme yang mengharukan. Aku terenyuh, sebelum lamunanku buyar oleh kedatangan Mami dari kantor.
Tak seperti biasanya, napas Mami terengah-engah.
“Feli, jangan keluar rumah malam ini. Di luar sedang bahaya,”suaranya tercekat. Wajahnya pucat pasi. Kalut dan panik.
“Memang ada apa, Mi?” aku penasaran.
Ia tak menjawab. Berlalu ke kamarnya.
Pagi tiba, menyembunyikan malam, tetapi tak sanggup menghilangkan ancaman malam yang baru saja berlalu. Mami akhirnya menceritakan kepanikannya semalam, 11 Mei 2016. Jalanan di Jakarta Utara begitu mencekam. Massa berulah dengan liarnya di sekitar Pasar Ikan. Mereka memboikot jalan, berorasi dengan gegap gempita,” Kafir! Ganyang China! Allahu akbar!” Batu, kerikil, dan botol kaca dilemparkan ke jalan, pecahannya berserakan sepanjang Jalan Gedong Panjang.
Toko mesin dan perkakas otomotif bertuliskan huruf hanzi dijarah massa. Kaca dipecah, separuh toko dibakar. Tepat di seberang toko, seonggok bangkai motor tergeletak di tepi jalan, hangus tak bersisa. Halte Pakin, tak jauh dari toko itu, ikut dirusak. Kacanya pecah porak-poranda dilempar batu oleh demonstran. Aparat terus menembakkan gas air mata dan cannon water, tapi massa tak kunjung mundur.
Kericuhan itu membuat mobil Mami tak bisa lewat. Ia takut dicegat demonstran, apalagi wajah Mami wajah Tionghoa, sasaran empuk di setiap demo berbau bentrokan etnis. Demostran semalam ialah warga Kampung Luar Batang yang tak terima lahannya digusur. Mereka mengincar satu rumah yang penghuninya mereka anggap kafir, namun dihalangi aparat.
“Tidak aman bagi kita, etnis bermata sipit, untuk tinggal di Jakarta. Jauh lebih parah dari semalam, adalah ketika bulan Mei 1998. Waktu itu kamu masih 1 tahun. Mami ingat, mendekapmu dalam buaian di tengah ancaman kehilangan harta dan nyawa. Krisis moneter yang memiskinkan negara ini, diikuti oleh krisis terhadap persatuan kita. Kamu tebak siapa yang jadi korban, Feli? Kita! Mami, kamu, dan saudara-saudara kita lainnya. Toko-toko orang China dibumihanguskan, perempuan Tionghoa diperkosa di depan mata kepala keluarganya sendiri oleh keparat-keparat itu! Kita tak akan bisa prediksi, apakah peristiwa semalam hanya berlangsung sementara ataukah menjadi awal dari penjarahan serupa seperti 1998. Mami sudah trauma!” Mami memekik. Tangisnya pecah.
Air mata Mami keluar makin deras. Aku hanya bisa termenung, membayangkan kejadian Mei 1998, peristiwa paling pahit yang dapat diingat orang keturunan China di Jakarta. Menyisakan trauma, bahkan ada korban yang kehilangan kewarasannya seumur hidup. Aku menatap wajah Mami, sementara Mami menatap kosong ke arah lain. Jelas ia murka. Murka yang terramu sejak 18 tahun lalu. Murka yang terbentuk dari trauma atas diskiriminasi, dan lebih dahsyat dari itu, antara hidup dan mati. Sebagai orang Tionghoa yang hidup di kawasan pecinan di Jakarta Utara, tidak menutup kemungkinan harta kami dirampas dan nyawa kami dihabisi sewaktu-waktu, apalagi di tengah kemelut sentimen etnis begini.
Tangis Mami belum surut. Kurangkul bahunya.
“Sebagai minoritas yang selalu tertindas, kita mesti berjaga jarak dari pribumi. Buat kamu Feli, jangan lagi dekat-dekat dengan Inah. Mami tidak suka kamu bersahabat dengan dia. Seharusnya kamu bergaul dengan teman-temanmu di kampus sesama Tionghoa, bukan dengan pribumi dekil seperti Inah. Mengerti?!” Mami memburuku dengan omelan. Sontak aku tidak terima.
“Tapi, Mi...”
Sebelum dapat kumenangkisnya, ia lebih dulu menutup pembicaraan dengan bergegas berangkat ke kantor, tanpa memberiku kesempatan bicara.
***
Satu pekan berjalan dengan janggal. Tak lagi Inah dengan girang di ambang pintu menyambut kepulanganku dari kampus. Tak ada lagi suara tawaku dan Inah yang biasa menggema di rumah ini. Inah yang biasanya melontarkan lelucon kini membisu. Sengaja kuciptakan keadaan ini. Aku menghindari gadis pribumi itu.
Satu pekan ini sering kumerenung. Mencerna petuah Mami yang tak bisa dielak. Entitas kami sebagai Tionghoa membawa ironi. Itulah sebabnya Mami mengurungku dalam lingkungan Tionghoa. Mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga kampusku adalah dunia pendidikan Kristen yang mayoritas muridnya berdarah Tionghoa. Tujuannya tak lain melindungiku dari segala bentuk diskriminasi yang menimpa orang Tionghoa yang tinggal di tengah komunitas pribumi. Antara Tionghoa dan pribumi terdapat dinding pemisah yang tebal dan tak terruntuhkan. Sekat itu akan terus membatasi persaudaraan antar keduanya.
Mami sudah makan asam garam soal itu. Ia masuk ke salah satu SMA negeri di Jakarta. Seluruh temannya pribumi, 80% di antaranya Muslim. Menjadi satu-satunya Tionghoa membuat ia disingkirkan dari pergaulan. Mata sipit dan kulit putihnya acap kali dijadikan bahan cemooh. Belum lagi jatuh bangun Mami membesarkan perusahaan dipenuhi dengan kesulitan birokrasi yang dialami oleh pengusaha-pengusaha Tionghoa lainnya. Goresan hidup begitu pedih. Apa salah Tionghoa sehingga pribumi begitu benci mendarah daging? Bukankah kita hidup bersaudara, satu tanah air Indonesia? Terbuat dari apakah dinding pemisah itu? Apakah tembaga, alumunium, ataukah bongkahan intan? Ah, barangkali baja paling kuat sedunia, sehingga dinding itu tak runtuh, tak retak dimakan zaman.
Lama aku termenung, sebelum teriakan Mami di luar kamar memecah keheningan. Aku melongo lewat jendela.
“Inah! Mengapa baju Feli jadi gosong begini?!” Mami naik pitam, menunjuk ke arah gaun biru berbahan beludru milikku yang elok sekali, di bagian dadanya kini terdapat noda hitam berbentuk setrika seperti terbakar.
Inah menghampiri dengan ketakutan. Kepalanya menunduk.
“Maaf, Nyonya,”suara Inah bergetar. “Itu kelalaian saya. Sewaktu saya menyetrika, saya tinggal ke kamar mandi. Begitu kembali, bagian baju yang ditimpa setrika sudah gosong.”
Inah memandang Mami dengan mata yang basah. “Nyonya, maafkan saya. Saya rela dipotong gaji selama berbulan-bulan, seharga gaun yang telah saya rusak,” pinta Inah dengan terisak.
Wajah Mami memerah oleh kecamuk angkara. “Kamu dasar pembantu tidak becus. Kapan sih kamu bisa kerja dengan benar? Menyetrika saja selebor. Lalu bisanya apa? Rumah saya tak lagi dapat menampung babu bodoh sepertimu!”
Mendengar makian dari Mulut mami, jantungku seolah mau loncat keluar dari tulang iga saking terkejutnya. Tak pernah kusangka aku memiliki ibu yang lisannya sekasar itu. Bukankah wanita terpelajar tercermin dari ucapannya?
Tubuh Inah lemas. Pipinya banjir air mata. “Nyonya, izinkan saya bekerja di sini lebih lama lagi. Adik-adik saya butuh biaya sekolah, dan ibu saya perlu biaya berobat TBC,”Inah memohon.
Mami meyodorkan telapak tangan ke wajah Inah. “Tidak menerima maaf dan belas kasihan. Segera kemasi barang-barangmu. Angkat kakilah dari rumah ini esok hari!”
Pikiranku kalut bagai benang kusut. Apa yang sedang kusaksikan sulit diterima logika. Tak bisa disangkal gaun indah itu rusak dan tak bisa dipakai lagi, tetapi aku masih punya gaun-gaun lain yang tak kalah cantiknya, jumlahnya membeludak di lemari kamarku. Dan gadis pribumi itu, sepanjang tiga tahun bekerja untukku, baru kali ini ia bersikap ceroboh. Senista itukah keteledorannya hingga tak termaafkan?
Inah berkemas malam harinya. Tak satupun barangnya luput ia bawa. Setitik rasa sendu bercampur kehilangan hinggap padaku, segera kugempur dengan pesan Mami “jangan dekat-dekat dengan pribumi.” Kubiarkan Inah meninggalkan rumah. Tak peduli lagi aku dengan sahabat sejatiku itu. Bagaimanapun juga, aku dan Mami sepakat untuk membangun dinding yang membatasi pribumi dengan Tionghoa. Dinding itu semakin kokoh, ditopang oleh kerangka dendam sejak bertahun silam dan etnosentrisme adalah semen yang merekatkannya. Angin tornado pun tak mampu menghantam dinding itu.
***
Berkali-kali Mami berupaya mencari pengganti Inah, namun tak kunjung menemukan. Rumah besar ini sunyi. Baru sekarang, ketika aku harus mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri, aku menyadari betapa letihnya pekerjaan Inah menyapu dan mengepel rumah sebesar ini. Melalui hari-hari tanpa celoteh Inah telah berhasil mengurung jiwaku dalam belenggu sepi. Kehampaan menyergap, mengepul di dadaku. Alangkah beratnya hari-hari kulalui tanpa Inah.
Sesal dan melankolis laksana saudara kembar yang keluar masuk akal sehatku. Senjata paling ampuh membentengi keduanya hanyalah sugesti rasis: “Inah orang pribumi, dan aku harus menjauhi pribumi.” Otakku berputar bagaikan komidi putar. Di mana letak kebenaran jalan pikir rasis itu? Bukankah persahabatan tiga tahun dengan Inah adalah ikatan termanis yang pernah kurasakan setelah kasih sayang ibuku sendiri? Seumur hidup terperangkap dalam sangkar orang-orang Tionghoa membuatku tak sekalipun bahkan menengok, apalagi bersentuhan dengan dunia orang pribumi.
Hari ini hari Minggu. Mami dan aku melangkahkan kaki ke gerja, enggan lepas dari kasih Kristus. Pendeta Jacob tengah berkhotbah di altar. Wibawanya bagai lampur sorot yang menyinari jemaat setianya. Ia memiliki daya pikat paras yang rupawan, kecerdasan, dan kharisma yang membius. Khotbahnya selalu dinantikan oleh Mami.
“Membenci itu boleh,” demikian ia mengawali khotbahnya. Jemaat terperangah kaget.
“Membenci apa yang boleh? Membenci kejahatan. Tertuang dalam Mazmur 97 ayat 10, ‘Hai orang-orang yang mengasihi Tuhan, bencilah kejahatan.’ Ketika seseorang semakin dekat dengan Allah, semakin dalam persekutuan kita dengan-Nya.”
Membenci kejahatan. Dua kata itu menyihirku. Tak sabar aku menunggu lanjutan khotbah ini.
“Namun, kebencian yang negatif pastinya ialah kebencian yang diarahkan terhadap sesama. Dalam Matthius 5 ayat 22, ‘tetapi aku berkata kepadamu: setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum. Tidak hanya harus berdamai dengan saudara kita sebelum kita datang ke hadapan Allah, Allah memerintahkan kita harus melakukannya dengan cepat, seperti firman Tuhan dalam Matthius 5 ayat 23-26.”
‘Tidak hanya harus berdamai dengan saudara kita sebelum kita datang ke hadapan Allah, Allah memerintahkan kita harus melakukannya dengan cepat’. Kalimat ini bersemayam dalam batinku berhari-hari lamanya. Kata ‘saudara’ dalam penggalan ayat Matthius itu bermakna luas. Suara batinku menafsirkannya sebagai saudara dalam cinta Tuhan, saudara sesama manusia, atau... saudara se-Tanah Air Indonesia? Ah, entahlah. Sejauh yang bisa dijangkau oleh buah pikirku, pribumi dan Tionghoa adalah saudara, begitu pula Muslim dan Kristiani.
Terngiang khotbah Pendeta Jacob membuat tidurku tak nyenyak, selalu digubris rasa bersalah dan rindu terhadap Inah. Bagaimana bisa kepiluan di masa lalu mengeruhkan hatiku dan hati Mami sehingga kami buta terhadap kepribadian Inah yang begitu jernih? Benci bak racun yang perlahan menggerogoti jiwa, bahkan jiwa seorang religius sekalipun dapat habis olehnya. Dendam ialah kutukan yang membuat hati tak lagi peka terhadap dosa. Haruskah aku mempertahankan keduanya?
***
Tekad adalah amunisiku untuk bertatap muka dan mengutarakan pandanganku kepada Mami. Rasa gamang harus kusingkirkan sementara. Sebulan sudah nuraniku terusik oleh sikap tak adil kami terhadap Inah. Kini saatnya mengurai itu semua.
“Mami, izinkan Feli bicara. Ini soal kebencian terhadap Inah yang kita pupuk dalam hati kita.”
“Kamu kok masih mengingat-ingat gadis pribumi itu?” nada Mami mulai meninggi.
“Mami, sebagai anak Tuhan yang tak ingin putus dari kasih sayang-Nya, mengapa kita memelihara benci terhadap sesama? Mami ingat khotbah Pendeta Jacob, bahwa Tuhan akan meminta pertanggung jawaban kelak kepada orang-orang yang memusuhi saudaranya? Bila Inah bukan saudara kita dalam satu etnis, biarlah ia bersaudara dengan kita sebagai sesama manusia. Masa silam Mami maupun kerabat-kerabat Tionghoa kita tak berkaitan dengan Inah. Inah punya hati paling tulus dan kerja yang paling tekun bagi seorang pembantu rumah tangga. Selama tiga tahun bekerja untuk kita, kecerobohan menyetrika baju ialah kesalahan yang pertama kali ia buat. Idealnya hati seorang hamba Tuhan adalah hati yang lembut, sehingga menaburkan kedamaian bagi orang sekitar. Sementara kita yang tak sanggup memaafkan kesalahan Inah, terbuat dari apakah hati kita? Batu?”
Mulut Mami terkatup. Baru kali ini ia mendengar kata-kataku tanpa mencela sebelum aku menyelesaikan kalimat. Ia tak berkutik. Bahunya turun. Menghela napas. Egonya tengah menukik.
***
Mami menghabiskan tiga hari untuk mencerna kata-kataku, sebelum akhirnya mengizinkanku menghubungi Inah untuk memintanya kembali bekerja di rumah kami. Aku senang bukan kepalang. Akhirnya gadis pengecut bernama Felicia ini menang bertarung melawan ketakutannya terhadap ketangguhan ibunya sendiri. Keberanianku menentang persepsi Mami yang keliru telah menumbangkan pohon kebencian yang sebelumnya tumbuh subur.
Berkali-kali kuhubungi ponsel Inah tapi tak kunjung ia menyahut. Aku tak kehabisan akal. Aku berkunjung ke kios sayur di belakang komplek untuk mencari Ceu Neneng, tetangga Inah di kampung. Kebetulan Ceu Neneng akan menengok anaknya di kampung dua hari lagi, maka aku akan turut pergi bersamanya untuk menjemput Inah.
Kereta melesat bagai naga merah dalam film laga Tiongkok, melintasi persawahan hijau yang menyejukkan mata, tak kelabu seperti udara di ibukota. Di Stasiun Bandung kami berganti kereta, menuju Stasiun Cicalengka. Setibanya di beranda rumah Inah tepat ketika matahari tuntas melaksanakan tugasnya hari ini, nampak Inah tengah mengajari ketiga adiknya membaca kitab suci. Ia terkejut melihat sosok putih sipit di depan pagar bambu.
“Neng Feli, ada apa datang kemari?” dahinya mengernyit keheranan.
Sebelum kujawab pertanyaannya, badanku spontan melekap ke pinggangnya. Bukankah pelukan adalah simbol kerinduan yang membuat diri paling puas setelah diekspresikan?
“Aku dan Mami ingin Inah kembali ke Jakarta, bekerja kembali di rumah kami. Maafkan kami ya, Inah.”
Kepala Inah mengangguk-angguk. Pelupuk matanya digenangi air mata. Hatiku lantas berpuisi:
Sahabat sejatiku telah kembali
Setelah satu bulan dihanyutkan lautan benci alias diskriminasi
Aku telah silap
Menganggap dinding pemisah antara kami tak akan lenyap
Di luar riuh akupun tak acuh
Dinding itu kini runtuh
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan