Cepen: Nusa Firman
Pertemuan yang Tak Terduga
Namaku Fadli Aqli. Aku adalah seorang startup developer dan aplikasi berbasis digital yang bekerja di bidang teknologi dan layanan berbasis digital. Aku tinggal di Penajam Paser Utara, Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur, dan sering berinteraksi dengan berbagai kalangan dan rekan kerja dari berbagai daerah. Tak sedikit orang dengan beragam latar belakang suku dan daerah yang kukenal dan berinteraksi dengan mereka.
Namun, yang paling berkesan adalah Sri Nurjannah, gadis yang usianya 8 tahun lebih tua daripada aku. Kukenal dia sejak 2029 melalui platform diskusi teknologi di Telegram. Kami suka dan menekuni serta bekerja bekerja di passion yang sama, walaupun berasal dari daerah yang berbeda. Aku asli putra Dayak Katabkabahan—suku Dayak yang memang sudah turun-temurun Muslim, sedangkan Sri berasal dari Sumedang dan tinggal di Kapuas Raya—suatu provinsi baru pemekaran Provinsi Kalimantan Barat.
Kami melakukan komunikasi yang intens melalui aplikasi pesan singkat, baik Telegram, WA mapun NuSara dan Sapakata—aplikasi perpesanan ciptaan anak Indonesia, Putra Addakhil yang saat ini menjadi Menteri Tranformasi Teknologi dan Kecerdasan Digital pada Kabinet Nusantara 5.0. Kami sering diskusi tentang pekerjaan, sharing mengenai pengembangan aplikasi, dan berbagi ide tentang pengembangan aplikasi berbasis kecerdasan digital. Tapi, meskipun banyak ngobrol secara pribadi, hubungan kami tetap terbatas pada ranah profesional dan urusan pekerjaan. Aku membuat dan mengembangkan aplikasi e-Ummat, platform jual beli produk halal berbasis komunitas. Aku terinspirasi dan termotivasi membuat aplikasi ini karena almarhum pamanku dulunya adalah seorang ASN sebagai Pengawas Jaminan Produk Halal di Badan Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang dulunya merupakan bagian dari Kementerian Agama.
Dan di sana, Sri mengembangkan iFamily, sebuah aplikasi yang fokus pada menciptakan keluarga harmonis. Pernah kutanya, “Kenapa kamu semangat mengembangkan aplikasi itu?"
"Tak sedikit masalah rumah tangga bahkan yang berakhir perceraian disebabkan oleh medsos. Maka semoga iFamily hadir sebagai oase untuk keharmonisan rumah tangga," jawab Sri penuh semangat.
Dan hari ini, 29 Februari 2032, kami berdua mengikuti ajang penghargaan teknologi bergengsi, Borneo Digital Awards di Singapura. Kami terus berkomunikasi semakin intens, bahkan melakukan beberapa percakapan menggunakan teknologi Mtetaverse untuk ujicoba aplikasi masing-masing. Rasanya seperti ada ikatan tak terlihat antara kami, meski kami tak pernah bertemu secara fisik.
Namun, dalam sekejap, saat aku tiba di bandara, satu jam sebelum sampai di hotel perhelatan penghargaan itu, semua keakraban kami hancur. Akibat kesalahpahaman yang sukar dijelaskan. Sri salah paham mengira aku memberikan bocoran tentang celah kekurangan aplikasinya pada peserta lain yang satu kategori dengan yang ia ikuti. Sri lalu memblokir semua akun perpesanan dan medsos, sehingga aku tidak bisa menghubunginya lagi. Kucoba buat akun baru untuk menghubunginya, namun ahirnya dia pun memblokir lagi setelah tahu dari gaya bahasaku dan pastinya juga dengan keterampilannya yang juga sebagai seorang developer dengan beberapa kemampuan tracking dan hacking.
Mimpi yang Aneh
Dua tahun kami tidak ada komunikasi. Pertengahan tahun 2034, saat orang-orang sibuk dengan sosok pemimpin masa depan dan tata cara pemilihan yang baru pertama kalinya berbasis sepenuhnya digital, tiba-tiba terbesit keinginan utuk mengontak Sri kembali. Aku membuat akun NuSara. Luar biasa, versi terbaru aplikasi ini tertulis: "NuSara - Menghubungkan Kearifan Nusantara".
"Sri, aku merasa ada yang belum selesai antara kita. Aku minta maaf kalau ada yang salah."
Setelah pesan itu terkirim, aku melanjutkan perjalanan pulang menggunakan sepeda—kendaraan yang diminati kembali oleh banyak orang semenjak 2030. Hujan turun sangat deras, langit yang hitam pekat sesekali diterangi kilat petir. Tiba-tiba, sebuah petir kau dan cepat menyambar sangat dekat, dan dalam sekejap, tubuhku terasa tersengat. Aku terpental dari sepeda, tubuhku terlempar beberapa meter dan terperosok dalam got. Sebelum semuanya gelap, aku merasakan semacam sensasi menghilang.
Ketika membuka mata, aku merasa basah kuyup, tubuh terasa lemas. Namun, yang lebih mengejutkan adalah kenyataan yang kulihat. Ternyata aku bukan di tempat yang kukenal, dan aku tidak berada dalam dunia yang biasa.
Aku berdiri di dalam sebuah kelas, kelas yang terasa asing, namun familiar. Aku menoleh ke sekitar, dan aku melihat teman-teman sekelasku yang kini duduk di bangku sekolah. Aku melihat kalender di meja—dan itu adalah tahun 2001.
Aku semakin terperangah. Kumenatap pakaian yang kukenakan, yang tampaknya pakaian sekolah. Ini bukan masa depan. Ini bukan dunia yang kukenal. Tidak ada HP Android dan dan aplikasi canggih. Di depan, kulihat di atas meja guru hanya ada HP Nokia 3310 punya Pak Yunus, guru Bahasa Arab. Aku sedang kembali ke masa lalu. Aku melihat buku pelajaran yang tergeletak di meja. Ini bukanlah duniaku, ini masa lalu, saat aku masih duduk di kelas 1 Madrasah Tsanawiyah.
Kehidupan yang Baru
"Ya Allah, Gusti."
Aku berusaha mengumpulkan daya dan pikiran, menerka dan memahami ahwal yang aneh ini. "Fadli, kamu kenapa?" suara Ilham, teman sekelasku, memecah kebingunganku. Aku menatapnya penuh makna, mencoba mencari tanda-tanda apakah ini hanya mimpi atau kenyataan. Dan, semuanya memang sangat nyata. Aku benar-benar berada di tahun 2001, dan aku harus kembali menjalani hidup sebagai seorang remaja berumur 13 tahun.
Hari-hari pertama terasa penuh kebingungan. Aku terjebak pada dunia yang sangat berbeda dengan dunia yang kukenal. Namun, semakin aku menjalani kehidupan remaja ini, semakin ‘ku menyadari ada sesuatu yang sangat familiar dalam hidupku di masa lalu ini—sosok Sri Nurjannah.
Sri Nurjannah adalah mahasiswi Jurusan Teknnik Infortaika dari Universitas Mulawarman. Dia sedang menjalani KKL (Kuliah Kerja Lapangan) di sekolahku ini. Setiap hari, dia mengajar kami tentang kehidupan, nilai-nilai keluarga, dan bagaimana teknologi bisa membawa perubahan positif. Kami semakin sering berbicara. Meski begitu, aku masih merasa bingung dan tidak bisa menghubungkan semua kejadian ini.
"Fadli, kamu pasti bingung, kan? Kamu merasa seperti orang dari dunia lain," kata Sri suatu hari. Aku menatapnya, merasa semakin dekat padanya, meski kusadar aku bukanlah Fadli yang dia kenal. Aku kembali ke masa lalu, sebelum aplikasi digital, sebelum komunikasi kami yang intens.
Kejadian Aneh
Malam ini, malam Jumat di sepuluh pertama bulan Ramadhan. Sebelum berangkat shalat tarawih ke masjid, aku membaca Surat Yasin. Sementara waktu dan jejaknya terus berjalan. Kondisi ini seirama dengan Surat Yasin ayat 12 yang sedang kubaca:
Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang telah mati, dan Kami mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan apa yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Aku semakin merasa terpecah antara dua dunia. Aku mulai merasa adanya perbedaan mencolok antara dunia ini—tahun 2001—dan dunia masa depan yang kukenal. Sepuluh menit kemudian, saat mengambil sajadah dan tasbih, siap-siap mau berangkat ke Masjid Miftahul Jannah— masjid dengan tarawih 23 rakaat termasuk witir— aku mendengar percakapan ibu tentang kejadian aneh yang sedang terjadi di dunia digital.
“Fadli, sini, Nak. Ini ada berita aneh. Katanya, ada mahasiswa yang menghilang setelah menguji coba aplikasi digital. Mereka seperti hilang ke dalam dunia maya, entah ke mana," kata ibuku saat menonton Liputan 6 Petang di SCTV.
Tentu aku sangat terkejut mendengar berita itu. "Apakah ini ada hubungannya dengan Sri dan aplikasi yang kami kembangkan di masa depan?" aku membatin.
Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik kejadian ini, sesuatu yang menghubungkan antara masa lalu dan masa depan. Aku mulai merasa terperangkap di antara dua dunia yang seharusnya tidak bertemu.
Dunia di Balik Layar
Setelah libur puasa dan lebaran, tanpa sengaja aku bertemu dengan Sri pada acara study tour yang dilakukan sekolah kami. Saat itu, Sri menjadi pemateri menggantikan dosennya. Kuambil kesempatan untuk berdiskusi dengan mahasiswa bepresatasi itu selesai sesi materi, berbicara tentang masa depan, tentang teknologi, dan kehidupan.
Namun, saat Sri menyentuh ponselnya, aku melihat layar ponselnya yang terbuka pada aplikasi iFamily. Tanpa sengaja, aku melihat kode-kode yang sangat familiar, kode yang saya tulis untuk aplikasi yang kubuat: e-Ummat.
Sri menyadari aku menatap layar ponselnya dengan heran. Dia tersenyum, lalu berkata, "Fadli, kamu tahu, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari masa lalu dan masa depan. Tapi, pernahkah kamu berpikir bahwa semua ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar?"
Aku terpejam. Kepalaku pusing mau pecah rasanya. Kututup telinga dengan kedua tangan. Rasanya ingin meledak dan berteriak. Namun, tiba-tiba, aku merasa seperti dunia ini mulai berputar cepat. Dalam momen yang sangat singkat, Sri berkata, "Fadli, kamu belum sepenuhnya tahu. Kamu sebenarnya tidak kembali ke masa lalu. Kamu terjebak dalam dunia alternatif—dunia yang diciptakan oleh aplikasi-aplikasi yang kita bangun."
Aku terperanjat. Ternyata, apa yang kuanggap sebagai kehidupan di tahun 2001 bukanlah dunia yang nyata. Itu adalah simulasi yang diciptakan oleh teknologi yang kami bangun bersama. Dunia yang kujalani selama ini, termasuk interaksiku dengan Sri Nurjannah adalah bagian dari eksperimen besar dalam dunia digital. Kami—Sri dan aku—terjebak dalam sistem yang kami buat, sebuah simulasi untuk menguji pengaruh teknologi terhadap kehidupan manusia.
Kembali ke Masa Depan
Lalu, dengan sensasi yang sukar digambarkan, aku merasakan tubuh ini kembali bergetar. Semua visualisasi berupa gambar, suara, dan perasaanku mulai memudar. Ketika membuka mata, aku sudah berada kembali di dunia yang kukenal—tahun 2034. Namun, kali ini, semuanya terasa berbeda. Aku melihat layar komputer di ruang kerjaku dengan aplikasi e-Ummat yang sudah berkembang pesat, dan aku sadar, segala yang terjadi adalah bagian dari perjalanan besar yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Di luar sana, dunia terus bergerak maju, dan aplikasi-aplikasi yang kami buat telah membantu banyak orang. Namun, aku tahu, tidak akan pernah terlupakan pada satu hal: takdir kami berdua, aku dan Sri Nurjannah, tidak hanya ditentukan oleh teknologi. Ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan kami—sesuatu yang lebih dari sekadar kode dan algoritma.
Dengan satu langkah, aku melangkah maju, siap untuk menghadapi dunia yang baru.
Nusa Firman adalah nama pena dari Faisol Abdurrahman, seorang Penyuluh Agama yang hobi menulis cerpen, puisi dan artikel.