Cerpen

Antara Ibu dan Ayah

Ahad, 23 April 2017 | 11:03 WIB

Oleh Abdullah Zuma

Ibuku, perempuan pandai bergaul. Renyah dan lancar kalau bicara. Menginjak usia kepala empat, ia masih cantik, gesit, dan enerjik. Selain mengurus rumah tangga, ia aktif di PKK dan organisasi sosial kemasyarakatan. Karena keaktifannya, tak aneh ia mendapat sertifikat. Piagam penghargaan menumpuk. Piala berderet. 

Saat-saat senggangnya, dihabiskan untuk memeriksa data-data, agenda-agenda, dan hitungan-hitungan di depan layar komputer. Tak jarang tamu-tamu datang ke rumah membicarakan kegiatan-kegiatan. 

Sedangkan ayah sebaliknya dari sifat ibu. Di usia menjelang lima puluh, ia tampak loyo dan indolen. Ia cenderung penyendiri dan tertutup. Selalu menjauhi forum pertemuan warga. Lebih senang mengikuti kesepakatan yang telah diambil. Kalau berbicara, selalu terbata-bata, kelihatan gugup, seolah tak yakin akan kata-katanya sendiri. Saat senggangnya dihabiskan dengan duduk di beranda, menghisap rokok dalam-dalam, kemudian memain-mainkan asapnya. Setelah memuntung, ia mencabut lagi batang baru. Berbatang-batang dihabiskan. Mungkin rokok itu adalah temannya. Ia kadang tertidur di kursi dengan jari masih menjepit rokok menyala. Api rokok merayap mendekati jarinya. Kemudian terbangun spontan dengan puntung berasap terlempar. Kemudian dia mencabut batang baru lagi...

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sifat ayah yang sedemikian hematnya berkata mendapatkan ibu yang boros dengan kata. Apakah ibu yang menginginkan ayah? Ah, mana mungkin! Kecantikan ibu tak sepadan dengan ketampanan ayah yang pas-pasan. Tak mungkin juga karena harta ayah, karena ia bukan siapa-siapa. Hanya buruh serabutan. Mungkin sebenarnya mereka tidak pernah saling menginginkan. Entahlah. Pasangan hidup barangkali memang tidak eksak. Jodoh adalah teka-teki dan kadang semena-mena. Ayah dan ibu terjebak dalam hukum jodoh tak terduga. Entahlah. Adakah sebenarnya pasangan ideal itu? Yang cantik bersanding yang tampan, yang kaya mendapatkan yang serba cukup? Entahlah. 

Bagaimana pertama kali mereka jatuh cinta? Bagaimana mengekspresikannya? Mungkin tanpa kata-kata. Mungkin juga mereka tak pernah jatuh cinta dan pacaran. Mereka bertemu dengan tak terduga, kemudian langsung menikah. Entahlah. 

Antara ayah dan ibu jarang sekali kelihatan bercakap-cakap, apalagi bercanda. Tidak terlihat kemesraan di antara keduanya. Bahkan dalam potret pernikahan mereka. Keduanya tampak dua gambar terjebak dalam selembar kertas mengenakan pakaian pengantin. Tanpa mengekspresikan sesuatu yang dianggap kemesraan dan kebahagiaan. Keduanya seolah dua mahluk dari dunia berbeda yang terjebak dalam suatu tempat yang dinamakan keluarga. Sementara aku makhluk lain yang terjebak di antara keduanya.

Tapi sejauh ini aku tidak pernah mendengar ayah dan ibu cekcok dalam hal apapun. Ibu tak pernah mengeluh atau bercerita tentang kekurangan dan kejelekan ayah. Begitu pula ayah tak pernah marah-marah atau memasang seringai di hadapan ibu. Tak pula kelihatan cemburu kepada laki-laki yang bertamu ke rumah. Keduanya seolah paham akan dunia masing-masing. Saling menghormati sifat dan kebiasaan sendiri-sendiri. Mungkin mereka punya kesepakatan-kesepakatan yang aku sendiri tak mengetahuinya. Sepakat ada wilayah yang tidak boleh dijamah masing-masing. 

***

Ketika masih kanak-kanak, aku tak pernah mempermasalahkan sifat keduanya, karena menduga mereka saling bermesraan dengan cara lain yang aku sendiri tak mengetahuinya. Barangkali juga mereka sangat intim saat aku tak di rumah. Ketika aku berada di sekolah atau sedang bermain bersama teman, misalnya. Lagi pula keduanya terlihat menyayangiku dengan cara masing-masing. Ibu sering mengajakku bercakap tentang apa yang terjadi di sekolah, atau bercerita dengan panjang. Sedangkan ayah sering mengelus kepalaku sambil menatap lekat-lekat tanpa berkata-kata, kemudian memberiku uang jajan. Itulah kasih sayang yang aku pahami di antara keduanya. 

Tetapi setelah dewasa, itu menjadi masalah besar. Aku merasa tak kenal ayah dan ibuku sendiri. Tak tahu dunia antara ibu dan ayah.

“Bu, ada apa sebenarnya antara ibu dan ayah?” begitulah suatu ketika aku bertanya tentang ibu dan ayah kepada ibuku.

“Nanti juga kamu akan tahu sendiri,” jawab ibu.

Bagi pendengaranku, jawabannya menyeramkan. Kalimat itu seperti mantra guna-guna yang bisa membuat perut orang meletus. Sungguh tak mengenakkan kalimat itu. Ibu yang biasanya menghambur-hambur kalimat, begitu hati-hati dan hemat kata ketika ditanya perihal antara dia dan ayah. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan rapat-rapat. Atau mungkin memang tak mengetahuinya. 

“Ayah, ada apa sebenarnya antara ayah dan ibu?” aku bertanya tentang ayah dan ibu kepada ayah.

Ayah langsung mencabut sebatang rokok, membakarnya, kemudian mengisapnya. Sikapnya seolah mengatakan; jangan bertanya perihal itu! 

Ayah belum bicara. Aku menunggu.

“Ayah, ada apa sebenarnya antara ayah dan ibu?” aku mengulangi pertanyaan. Aku paham ayah jarang bercakap hingga memerlukan pertanyaan ulang.

“Nanti..., nanti..., juga kamu..., kamu, akan tahu sendiri,” dia mengucapkan kalimat seperti yang ibu katakan. Intonasi dan ekspresi wajahnya persis ketika ibu menggunakan kalimat itu. Tapi dengan bunyi terbata-bata. Mungkin keduanya sepakat jika suatu saat anaknya bertanya perihal ayah dan ibunya, langsung saja gunakan kalimat itu. 

Aku memendam pertanyaan itu bertahun-tahun. Orang-orang yang berada di dekatku rupanya sulit dipahami. 

Keluargaku sulit disimpulkan. Aku kadang tak kerasan di rumah yang seolah sendiri-sendiri. Tapi tak sedang bermusuhan hingga tak ada alasan untuk membenci. Terus terang tak kerasan suasana demikian. Merasa terjebak di antara keduanya kian membengkak.

Aku selalu membayangkan berada di sebuah keluarga yang sering bercanda dan penuh kemesraan. Nonton tivi bersama di ruang keluarga atau jalan-jalan ke tempat rekreasi, kemudian dipotret dan ditempelkan di ruang keluarga. Tak ada salahnya jika mereka berpura-pura bermesraan di hadapanku. Aku tak peduli jika ada keborokan-keborokan mereka di belakang. Yang penting seolah-olah bahagia. Tapi itu tak pernah terjadi. 

Karena itulah aku pernah berpikiran lebih baik berada di keluarga berantakan, agar aku bisa memahami apa yang terjadi di antara ibu dan ayahku. Misalnya, setiap hari ayah memecah piring dan gelas, sedang ibu menangis sesenggukan dengan muka memelas. Atau sebaliknya, ibu menghunus pisau dapur, sementara ayah terpojok dengan raut muka ketakutan. Atau pada suatu hari, ibu datang bersama seorang laki-laki, kemudian tidur bersamanya. Kemudian ayah tak tinggal diam, ia membawa perempuan pula, kemudian tidur bersamanya. Tapi itu tak pernah terjadi. Bahkan aku tak pernah menemukan gelagatnya. 

“Ibu, apa sebenarnya yang terjadi antara Ibu dan Ayah?” begitulah aku bertanya kembali tentang ibu dan ayah kepada ibu dengan kalimat yang agak lengkap, tapi dengan maksud sama.

“Nanti kamu akan tahu sendiri,” dia menjawab dengan kalimat yang sama dan intonasi yang serupa ketika pertama kali aku bertanya. Kalimat itu benar-benar mantra yang membuat perut meletus.

"Ayah, apa sebenarnya yang terjadi antara Ayah dan Ibu?”

Ayah sekarang menyederhanakan jawaban dengan hanya menggeleng kepala.

***

Suatu ketika, aku mendengar antara ibu dan ayah membicarakan sesuatu. Inilah untuk pertama kalinya kulihat mereka bercakap dengan serius. Sepertinya mereka tak menyadari keberadaanku yang mengintip di balik lemari.

“Ia sudah mulai bertanya kembali perihal aku dan kamu, antara kita,” kata ibu sambil mengunyah kacang. 

“Ya. Dia sudah mulai lagi bertanya tentang kita,” ayah menanggapi ibu sambil membuat bulatan dari asap rokoknya.

“Bagaimana aku menjelaskan perihal ini kepadanya?”

“Ya. Bagaimana aku menjelaskan antara kita kepadanya?”

“Aku pusing!”

“Aku juga.”

“Suatu saat dia akan sampai pada puncak keingintahuannya,” ibu melanjutkan, “dia bisa kesal kalau tidak mendapat penjelasan yang memuaskan. Bisa marah kemudian melakukan hal-hal yang tak kita harapkan. Sekarang ia masih bertanya dengan halus dan lembut. Mungkin di saat lain, akan bertanya dengan kasar sambil membawa pisau. Mungkin juga berani membunuh kita, orang tuanya sendiri. Bisa juga melakukan hal lain. Dalam keadaan kecewa misalnya, ia melakukan bunuh diri di hadapan kita dengan mengiris nadi atau minum racun serangga di kamarnya. Ia darah daging kita satu-satunya. Aku sangat mencintainya. Aku takut kehilangannya...,” kata ibu dengan nada sedih.

“Ya, aku juga berpikiran sepert itu.”

Kemudian keduanya terdiam. Aku melihat ayah terus-terusan merokok, sedangkan ibu terus-terusan mengunyah kacang. 

“Lalu harus bagimana?” ayah bertanya. 

“Mau tak mau aku dan kamu harus menjelaskannya bersama-sama. Tapi aku masih bingung bagaimana menjelaskannya?"

“Iya. Aku juga masih bingung?”

“Padahal sampai saat ini aku tak paham apa yang terjadi antara aku dan kamu.”

“Iya, aku juga tak paham.” 

Ibu berkata dengan hati-hati dengan kalimat yang tak boros. Sedangkan ayah hanya meminjam apa yang telah diucapkan ibu. Ia hanya menambah beberapa kata atau menguranginya, tapi tak mempengaruhi maksudanya. Atau dia cuma mengacak ulang susunan kalimat yang telah ibu ucapkan. 

Kemudian keduanya terdiam seolah kehabisan kosakata. 

Sedangkan aku menunggu kalimat-kalimat selanjutnya dengan belati gemetar. Aku masih ragu kepada siapa belati ini diarahkan; kepadaku, kepada ibu, ayah, atau semuanya...


Ciputat, 27 Februari 2008





Terkait