Cerpen

Bapak Pulang Tanpa Kuku Jari Kaki

Senin, 27 Juni 2016 | 04:30 WIB

Bapak Pulang Tanpa Kuku Jari Kaki

Foto: ilustrasi

Oleh M. Hanif Dhakiri
"Politik itu bukan semata urusan dunia, tapi juga akhirat. Menyerah pada tekanan yang hendak menghancurkan kita punya prinsip, adalah kekerdilan yang memalukan. Dimanapun di dunia ini, tak ada tempat yang layak bagi kekerdilan semacam itu."

Bapak memandangi wajah-wajah di depannya. Suasana di ruang tamu rumah kami menjadi hening seolah tanpa manusia di dalamnya. Malam yang menua disesaki perlombaan suara kodok dan jangkrik. Mereka balapan memecah keheningan. Pakde Ishak, Siwo Masduki dan Lik Dalhar bergulat dengan pikiran masing-masing. Di bawah lampu petromaks nampak jelas ketegangan dan kekhawatiran di wajah mereka.

Pakde Iskak yang awalnya banyak bicara, terdiam seribu bahasa. Kamituwo dusun sebelah itu sibuk dengan rokok klobotnya, menyedotnya dalam-dalam lalu menghempaskannya ke udara. Lelaki paruh baya itu sahabat karib Bapak, sama-sama memimpin kampung sebagai kamituwo. Mereka sering saling bertandang ke rumah masing-masing, membicarakan banyak hal dari masalah keluarga, pertanian dusun, hingga masalah politik. Keduanya kiai di desa kami, Desa Blotongan, sebuah desa yang menjadi basis Partai Nahdlatul Ulama (NU). 

"Tapi resikonya itu kang yang harus kita pikirkan, terutama sampeyan sama Mas Iskak yang jadi pimpinan kita semua. Ini bukan lagi zaman Bung Karno yang ingin mengayomi semua kelompok," suara Siwo Masduki memecah keheningan. Modin kampung kami ini teman seangkatan Bapak di pesantren. Hampir setiap hari ia menemani Bapak mengurus berbagai masalah di kampung. 

"Resiko itu bagian dari perjuangan, tak boleh kita menghitung-hitungnya. Kita berpolitik bukan karena kekuasaan, tetapi karena perintah agama agar politik bermakna bagi orang banyak," Bapak menghisap dalam-dalam rokok klobotnya. 

"Begitu juga kita mengikuti politiknya kiai-kiai besar seperti Mbah Bisri, Mbah Wahab atau Kiai Idham Chalid lewat Partai NU. Bukan karena apa-apa, tapi karena perintah agama dan tabarrukan sama kiai. Memangnya kita lupa: siyaasatul ummah mabniyatun 'alaa aqidatiha, politik ummat itu didasarkan pada aqidahnya. Akidah kita Ahlussunnah wal jama'ah, makanya kita ikut Partai NU, partainya kiai-kiai Ahlussunnah. Masa iya kita menyerah dan ikut Sekber Golkar karena takut ditekan?," lanjutnya lebih tegas.

Dari amben (dipan) dekat ruang tamu keluarga, tiba-tiba Simak nimbrung. "Iya Pak, tapi ada benarnya juga itu kata Kang Duki. Aku mengkhawatirkan Bapak nanti gimana-gimana," katanya sembari membungkus tempe dagangannya dengan daun jati. 

Aku pura-pura tidak mendengar obrolan mereka. Sebagai siswa yang baru lulus Madrasah Tsanawiyah, aku masih dianggap anak-anak oleh mereka yang berada di ruang tamu keluargaku. Dengan anggapan seperti itu, aku justru memperoleh kebebasan mencuri-dengar semua obrolan yang terjadi di ruang tamu. Tidak saja malam itu, tapi hampir setiap kali obrolan terjadi di ruang tamu rumahku. Dan alibinya selalu tepat, aku membantu Simak mengikat bungkusan tempe dengan tali yang terbuat dari sisiran kulit bambu. 

***
Kampungku bernama Dusun Bonorejo, dusun terluar dari Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Lingkungannya indah dan berhawa segar karena terletak di kaki Gunung Merbabu. Warga Bonorejo sangat guyub, silaturrahim antar warga berlangsung ajeg, kerja bakti setiap minggu dilaksanakan bersama-sama untuk keperluan apa saja. Di masjid kami yang sederhana, Masjid Nurul Iman, pengajian Bapak selalu ramai diikuti oleh warga. Sebagai kamituwo, Bapak sudah memimpin kampung ini selama tiga belas tahun. Ia begitu dipercaya masyarakat.

Tetapi beberapa minggu setelah malam itu, suasana dusun berubah. Warga kampung seperti menjauhi keluarga kami, terutama Bapak. Pengajian di masjid berkurang drastis jamaahnya. Aku sering menemukan orang-orang berbisik-bisik saat Bapak lewat. Entah apa yang dibisikkan, yang jelas raut wajah mereka tampak aneh. Saat jalan berpapasan dengan Bapak, mereka memang masih menyapa ramah, tetapi seperti ada ketakutan untuk berbincang atau ngobrol lebih lama. Sungguh lain dari biasanya.

Dari radio Lik Dalhar, tetangga rumahku yang tergolong pedagang kaya, aku mendengar satu slogan yang kerap diulang-ulang: "parpol no, pembangunan yes." Aku tak begitu mengerti maksudnya. Tetapi di kampung, orang makin jarang berkumpul. Rumahku yang sering jadi tempat kongkow anak-anak muda, seketika menjadi sepi. Bahkan gardu ronda yang biasanya jadi posko main catur atau halma oleh para peronda, juga tidak tampak berfungsi. 

Para peronda hanya berkeliling kampung, mengambil jimpitan beras, dan langsung pulang. Biasanya mereka nongkrong dulu di gardu ronda. Tak jarang kalau tidak dipanggil anak atau istrinya, bapak-bapak peronda sering pulang larut ke rumah. Masjid juga bernasib sama. Sehabis sholat maghrib berjamaah, warga tidak lagi ngobrol di teras masjid, sambil menunggu anak-anak mereka mengaji al-Quran hingga waktu sholat Isya' tiba. Mereka pulang terburu, seolah ada urusan teramat penting di rumah.

Salah satu kegiatanku membantu orang tua adalah memetik daun jati di kebun Simbah. Daun jati dipakai Simak untuk membungkus tempe bikinannya. Suatu hari sepulang dari kebun, aku melihat dua orang tak kukenal berbicara dengan beberapa warga di sawah. Aku berjalan seolah tak memperhatikan, tetapi sudut mataku menangkap beberapa warga kampung itu seperti dicekam ketakutan. 

Di lain kesempatan, aku dua tiga kali berpapasan dengan orang berseragam doreng keluar masuk kampung. Orang yang sama sekali tidak kukenal! Simak pernah menasehatiku agar hati-hati bicara karena banyak orang asing keluar masuk kampung seperti mengawasi. Kepala desa pilihan kami, kata Simak, baru saja diganti seorang pejabat militer drop-dropan dari Ungaran.

"Nasir, kamu jangan jauh-jauh ya kalau dolan," kata Simak suatu hari. "Sekarang ini semua orang harus hati-hati karena mau pemilu," katanya lagi. 

"Kamu tahu nggak, kemarin ada kiai di Brebes ditemukan tewas mengenaskan di jurang dekat pesantrennya. Ia dikabarkan hilang beberapa hari sebelum mayatnya ditemukan seorang petani. Simak dapat cerita dari Bapakmu." 

Simak menatapku dalam-dalam menunjukkan kekhawatirannya yang sudah mencapai tingkat dewa. Ketakutan segera mengalir ke pikiran dan seluruh bagian tubuhku.

Aku tak habis mengerti, mengapa keadaan kampung bisa berubah begitu cepat? Dari cerita Simak, perubahan begitu bukan hanya terjadi di kampungku. Di kampung dan bahkan daerah lain, perubahan keadaan yang sama juga terjadi. 

"Kata orang-orang, ketegangan dan kecemasan ada dimana-mana. Kita harus hati-hati," kata Sudrun, teman mainku, menirukan nasehat Bapaknya.

***

"Nasir, kamu tahu Bapak pergi kemana?," tanya Simak suatu malam. "Udah Mak, nggak usah dipikirkan. Ntar juga pulang," kataku santai sembari mengencangkan tali bambu pada bungkusan tempe yang dibuat Simak. Hampir setiap malam setelah ngaji kitab kuning di Pakde Ruba'i, aku membantu Simak membungkus dan mengikat tempe dagangannya. 

Simak memang perempuan ulet dan hebat. Selain mengurus keperluan rumah tangga, ia juga membantu Bapak berjualan tempe. Simak yang membuat, Bapak yang mengantarnya ke pasar setiap pagi. Membungkus dan mengikat tempe itu seperti pekerjaan ringan, tetapi teramat melelahkan karena jumlah yang banyak dan dilakukan malam hari. Menanak kedelai, mencampur kedelai masak dengan ragi, membungkus dengan daun jati dan mengikat dengan tali sisiran kulit bambu adalah ritual Simak mengurus tempe sepanjang sore hingga malam. 

Ia hampir selalu menyelesaian pekerjaannya jam satu atau dua dinihari. Ditemani Bapak tentunya. Aku kadang membantu dan menemani mereka hingga selesai kalau keesokan harinya libur sekolah. Sering aku merasa tidak tega saat menemukan Simak terkantuk berat sementara di tangannya masih memegang bungkusan tempe yang belum selesai ditali.
 
Waktu menunjukkan jam dua dinihari. Bapak belum juga pulang. Simak sangat gelisah hingga akhirnya tertidur di amben dekat ruang tamu. Keesokan harinya, Bapak tidak juga ada kabarnya. Aku dan Simak menanyakan ke beberapa tetangga, tetapi tak ada yang tahu keberadaannya. Lik Dalhar juga ikut mencari, bertanya ke dusun sebelah soal keberadaan Bapak, tapi nihil juga hasilnya. 

Simak mulai menangis mengkhawatirkan Bapak. Tiga hari sudah Bapak belum pulang dan tak ada seorang pun di kampung yang tahu keberadaannya. Sampai kemudian bertandanglah Siwo Masduki ke rumah dan mengabarkan kalau Pakde Iskak juga tidak pulang selama beberapa hari. Simak benar-benar shok! Ia menangis terus-terusan. 

"Bapakmu kenapa ya, Le? Moga-moga Gusti Allah melindunginya." Simak hanya bisa menangis dan berdoa.

Seisi kampung geger. Aku dan Simak mendengar kesimpulan mereka: Bapak dan Pakde Iskak hilang diculik! Simak pingsan berulang-ulang. Aku dan Huda, anak Pakde Iskak, sudah kesana kemari mencari informasi keberadaan Bapak dan Pakde Iskak. Tak seorang pun tahu, atau mungkin tak berani membuka mulut. Hanya desas-desus menyebutkan kemungkinan Bapak dan Pakde Iskak diculik terkait pemilu yang akan berlangsung bulan depan. 

Sehari sebelum Bapak menghilang, ia sempat bercerita kepada Simak kalau tak lagi menjabat kamituwo. Oleh kepala desa yang baru, Bapak diganti orang dari dusun sebelah. Alasannya, katanya, untuk kepentingan pembangunan desa agar berjalan lebih cepat.Sungguh aneh, pikirku. Kamituwo dan Kepala Desa lama hasil pilihan warga bisa diganti begitu saja oleh kepala desa baru hasil penunjukan dari atas.

Hilangnya Bapak membuat warga dusun semakin cemas. Terlebih setelah beberapa hari kemudian ditemukan adanya tanda X di rumah-rumah sebagian besar warga. Tanda X dibuat dari cat kapur yang digoreskan menyilang di pintu atau pada dinding rumah. Secara acak dan bergantian, rumah-rumah yang bertanda X itu dilempari batu pada malam hari. Pelakunya tidak pernah ketahuan karena menghilang begitu cepat di kegelapan malam. Mereka yang rumahnya ditandai adalah penduduk yang dikenal sebagai warga NU. Dari daerah lain aku juga mendengar bentrokan terjadi dimana-mana. Bahkan diberitakan, sejumlah kiai dan santri ditangkap, disiksa dan bahkan ada yang dibunuh.

***
Dua bulan berlalu. Aku pulang dari memeriksakan Simak ke Pak Mantri di dusun sebelah. Simak jadi sakit-sakitan karena Bapak menghilang. Begitu masuk ke rumah, aku dan Simak terkejut mendapati Bapak tiduran di atas amben. Lik Dalhar sedang melap sekujur badannya yang tampak kotor. Wajah dan badannya lebam, berwarna kebiru-biruan. Pipi sebelah kanan bengkak. Sesekali ia meringis kesakitan saat kain lap di tangan Lik Dalhar menyentuh bagian tubuhnya yang dibersihkan dengan air hangat. Jemari kedua kakinya dibungkus kain kumal yang mengalirkan bau amis.

"Ya Allah, bapaaakkkkk! Sampeyan kenapa begini?," Simak menghambur ke pelukan Bapak sambil menangis. Tangannya membelai wajah Bapak, pandangan matanya memeriksa tubuh lelaki paruh baya di depannya. Aku naik ke amben dan duduk disamping Bapak. "Yang sabar, Mbakyu", kata Lik Dalhar menenangkan Simak.

Pandangan mata Simak menatap dalam-dalam ujung jemari kaki Bapak yang dibungkus kain kumal. Masih sambil menangis, Simak membuka kain pembungkus itu perlahan-lahan. 

"Astaghfirullaaaaaahal 'adhiiiiiimmmm...", jerit Simak histeris saat kain penutup terbuka. 

Dilihatnya gumpalan-gumpalan darah hitam di atas ujung sepuluh jari kaki Bapak. Sambil berderai air mata, Simak membersihkan jari jemari yang sudah tak berkuku itu. Hatinya tersayat membayangkan perlakuan kejam dan sadis yang dialami suaminya.  

"Siapa tega melakukan ini, pak?", tanya Simak. Bapak menegakkan tubuhnya dan duduk bersandar pada tiang rumah di sebelah amben. 

Setelah menghela nafas panjang, Bapak menyuruhku mengambilkan perlengkapan rokok klobot di ruang tamu. Dikeluarkannya dua lembar daun jagung kering dari dalam kotak seng butut bekas biskuit. Lalu diambilnya tembakau lembab dari kotak yang sama dan digelar secara merata di atas daun jagung. Keduanya ditaruh di atas amben, lalu dikeluarkannya gunting kecil dan beberapa butir cengkeh. 

Cengkeh digunting kecil-kecil lalu ditabur di atas tembakau yang sudah dialasi daun jagung kering. Segera setelah itu tangannya bergerak lincah melinting tembakau itu. Setelah ujung atas dan bawah dipotong, tampaklah rokok klobot kegemaran Bapak. Dibakarnya ujung rokok itu, lalu dihisapnya dalam-dalam. Asap tebal memenuhi mulutnya dan mengepul di depan wajahnya. Huuuuuufffffff! Begitu bunyi asap dihempas dari mulut Bapak. 

"Simak, Nasir. Kalian nggak usah sedih. Kalian harus bersyukur Bapak masih bisa pulang walau badan remuk dan tanpa kuku jari kaki. Beruntung di jalan tadi ketemu Lik Dalhar, jadi ada yang membantu jalan. Beberapa orang lain malah nggak ada kabarnya sama sekali sampai sekarang, termasuk Pakde Iskak. Padahal pemilu sudah usai," Mata Bapak berkaca-kaca saat menyebut nama Pakde Iskak.

Ditatapnya aku dan Simak bergantian, lalu kembali menghisap rokoknya dalam-dalam. Kendati seperti menahan sakit di sekujur tubuh, Bapak kelihatan sangat tegar. Lik Dalhar bercerita bahwa dari berita radio dikabarkan Pemilu 5 Juli 1971 dimenangkan Sekber Golkar dengan suara mayoritas mutlak sebesar 62,82 persen atau setara 236 kursi DPR, disusul Partai NU dengan 18,68 persen suara atau setara 58 kursi DPR. Delapan partai politik lainnya seperti Parmusi dan PNI berada jauh di bawah kedua kekuatan politik itu. 

"Nasir, dengar baik-baik, ya Nak. Mereka bisa menumpulkan kaki Bapak dengan mencabut kuku-kukunya. Tetapi mereka tidak akan pernah bisa menumpulkan hati dan pikiran Bapak yang menyatu dengan tradisi keagamaan dan pikiran politik para kiai", kata Bapak penuh semangat. "Politikku, dan politik keluarga kita, adalah pengabdian kepada Gusti Allah. Kalau sudah begitu, tak ada resiko yang boleh menciutkan nyali atau mematikan semangat kita. Kita boleh kalah saat ini, tetapi kita tidak boleh mati!". 

Bapak menyedot lagi rokoknya dalam-dalam. Asap membubung memenuhi angkasa di depan wajahnya. Lelaki paruh baya itu menatapku tajam seakan hendak meminta jawaban dariku, anaknya semata wayang.***

Pengadegan, 25 Juni 2016

Penulis adalah Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia.


Terkait