Cerpen

Budi Bertanya Soal Pancasila

Sabtu, 7 April 2018 | 05:18 WIB

Oleh Ade Ubaidil

Pak Ruslan sudah tiba di depan sekolah. Bel pulang berbunyi. Pandangannya tertuju pada ruang kelas 3, di sanalah anak semata wayangnya belajar. Anak-anak berebut keluar kelas. Satu di antaranya terselip bocah gempal berlarian. Ia langsung menuju gerbang sekolah. Senyumnya rekah.

“Halo Ayah!”

“Hai, Budi. Ayo lekas naik motor. Kita pulang,” sahut Ayahnya. Mereka pun gegas menuju rumah.

Ketika sampai rumah, Ibunya bertanya, “Bagaimana sekolahmu? Ada PR, enggak?”

Budi menjawab dengan wajah yang lesu dan tampak capek. “Ada, Bu. Tentang Pancasila. 

Budi hafal, tapi Budi enggak ngerti.”

“Memangnya apa tugasnya?” tanya Ayah nimbrung.

“Bu Guru minta kita menjelaskan maksud dan nilai-nilai dari setiap bulir Pancasila.”

Mendengar itu ayahnya tersenyum, lalu berkata, “Oh, gampang, nanti ikut Ayah ngeriung habis ashar.” Budi tidak mengerti maksud ayahnya, apa hubungan dari nilai Pancasila dengan ngeriung, tapi toh ia akhirnya nurut juga.

Saat ikut hadir pada riungan dan mendapatkan posisi duduk, Ayahnya mulai menjelaskan.  “Apa sila pertama, Budi?” dengan mantap Budi menjawab, “Ketuhanan yang Maha Esa.”

Lalu Ayahnya menjelaskan. Dalam riungan, kita memuja dan memuji Tuhan yang Maha Esa, itu berarti kita telah mengamalkan sila pertama. Ayahnya bertanya lagi, “Sila kedua apa?”

Budi yakin menjawab, “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Ayahnya bangga memiliki putra secerdas Budi.

“Coba kamu perhatikan dari setiap orang yang hadir dalam riungan ini. Secara berpakaian, posisi duduk, bahkan tempat duduknya sama rata sama rasa. Itulah nilai yang ada dalam sila kedua,” Ayahnya menjelaskan. Budi memandang sekelilingnya, ia mulai paham dan mengangguk-angguk.

“Sekarang, apa sila ketiga?”

Budi tampak berpikir sejenak. “Persatuan Indonesia.” Ayahnya menunjuk ke bagian barat. “Lihat, kamu tahu Pak Poltak orang mana?”

“Dari Medan, Yah.”

“Betul. Nah, lalu di sebelahnya ada Pak Sarwono dari Jawa. Di depannya ada Pak Beta dari Papua dan lain-lain. Kamu tahu maksud Ayah apa?” Budi menggeleng tak paham.

“Mereka itu, meskipun berbeda-beda, tetapi, dalam riungan ini mereka bersatu. Duduk bersama dan membaca puja-pujian yang serempak. Itulah nilai dari sila ke....”

“Ketiga, Yah!” Budi memotong. Ayahnya menepuk bahunya bangga.

“Betul sekali. Sekarang apa sila keempat?”

“Budi lupa-lupa ingat, Yah. Kepanjangan....” Budi menundukkan kepalanya.

“Ayo bareng-bareng,” Ayahnya mulai mengucapkan perlahan, karena riungan masih berlangsung, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.” Budi mulai teringat kembali.

“Kamu lihat siapa yang memimpin riungan ini? Tuh, yang ada di tengah.”

“Yang mimpin Pak Kiai Rosyid. Guru ngaji Budi, Yah.”

“Benar. Pak Kiai Rosyid-lah yang memandu puja-pujian, yasinan dan tahlilan. Ayah dan Budi kali ini sebagai rakyatnya. Dan dari sinilah sebagai pemimpin dan rakyat harus saling bijaksana dan menghargai. Penunjukkan pemimpin doa pun lewat musyawarat dulu kan? Lalu Pak Kiai mewakili kita semua. Inilah makna sila keempat,” kali ini ayahnya menjelaskan cukup panjang.
Acara riungan pun sudah sampai pada akhir. Pak Kiai Rosyid sekarang sedang memimpin doa. Ketika doa selesai, pemilik rumah mulai membagi-bagikan berekat atau besek kepada semua yang hadir termasuk Budi dan Ayahnya.

“Hayuk sekarang kita pulang,” mereka berdiri. Tetapi Budi masih memasang wajah bingung.

“Tunggu dulu, Yah. Kan pancasila ada lima. Sila kelima-nya apa?”

“Hmm..., apa bunyinya?”

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jawab Budi mantap sambil berjalan pulang.

“Nah, ini.” Ayahnya menunjukkan besek atau berekat yang ada digenggamannya. “Inilah nilai dari sila kelima. Semua dibagi rata dan mendapatkan berekat setelah usai riungan.”

Mendengar jawaban itu, Budi mulai lega. Ia kini paham makna dan nilai pada butir-butir Pancasila. Tetapi, saat akan belok ke gang, ia melihat Pak Kiai Rosyid membawa dua berekat. Sedangkan ia dan bapaknya masing-masing satu. Ia protes.

“Ayah, katanya keadilan sosial, tapi kok Pak Kiai dapatnya dua?”

“Nak, kamu nanti akan tahu, adil itu tidak mesti sama. Lihat pohon mangga di rumah itu, kira-kira ayah butuh tangga enggak untuk mengambilnya?”

“Hmm..., enggak, Yah. Ayah kan tinggi. Kalau Budi baru perlu tangga.”

“Nah, itulah. Kalau misal tangga itu buat Ayah, apakah adil?”

Budi menggeleng sesaat, lalu ia tersenyum.

“Budi laper, enggak?”

“Laper banget, Ayah.”

“Ayo kita balapan sampai rumah. Kita makan berekat ini bareng Ibu,” ajak ayahnya. Budi tidak mau kalah. Ia memulai lari lebih dulu. Ayahnya mengikuti dari belakang.


Serang, 20 Maret 2018


Penulis berasal Cilegon, Banten. Kelahiran Cibeber, 02 April 1993. Terpilih sebagai salah satu penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival 2017. Buku terbarunya berjudul, “Surat yang Berbicara tentang Masa Lalu” (Basabasi, 2017). Arsip tulisannya bisa dilihat di: www.quadraterz.com, Instagram: @adeubaidil


Terkait