Oleh Abdullah Zuma
Laki-laki itu berjalan terhuyung di trotoar sebuah jalan. Kepalanya tertunduk memandang tanah yang diinjaknya. Tak pernah dia melihat ke belakang seolah ingin meninggalkan apa pun yang telah dilewatinya.
Telah banyak jalan yang ia lalui. Tak pernah ia menemukan bentuk dan alur jalan yang sama dengan jalan di tempat lain. Selalu berbeda. Dan tentunya dengan riwayat yang berlainan. Seperti manusia yang tak pernah ada yang sama. Kadang memang ada yang mirip. Tetapi tetap saja ada perbedaan, misalnya dalam sidik jarinya.
Udara berembus sepoi-sepoi saja. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Sisa cahaya merahnya menyemburat melukis langit. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan.
Jalan yang dilaluinya mulai sepi. Hanya sesekali saja kendaraan melintas dengan tergesa. Kadang berpapasan dengan pejalan kaki yang terburu-buru.
Waktu mulai malam.
Dia terus berjalan mengikuti kemauan ibu jari kakinya. Entah berapa jauh dia berjalan. Seolah ingin mencari ujung. Tetapi jalan memang tak pernah berujung. Selalu ada jalan lain yang bisa untuk dilewati. Ketika jalan seolah berakhir, ia menyatu lagi dengan jalanan besar yang memiliki jalan lain yang tak terhingga. Kadang memang ada jalan yang buntu. Tapi bukan berarti tidak bisa pergi kemana-mana lagi. Kembali lagi adalah jalan lain untuk menemukan jalan lain.
Laki-laki itu sekarang memasuki sebuah jalan kecil. Tak ada alasan untuk memasuki jalan itu. Yang penting ia berjalan. Padahal tubuhnya sudah penat, kakinya terasa lemas, kepalanya terasa berat dan berputar-putar. Tapi ia terus berjalan. Dan terus berjalan karena merasa ia harus terus berjalan. Pergi dan pergi.
Malam bertambah malam.
Orang-orang yang berada di pinggir jalan semakin sedikit. Anak-anak sudah pada tidur. Hanya beberapa orang saja yang memang berniat untuk begadang di luar atau menghilangkan gerah di ruangan.
Dan rembulan di langit begitu purnama. Ah, bulan dengan bentuk seperti itu selalu mengingatkan dia pada seorang perempuan yang selalu bersamanya setiap purnama.
"Lihat! Bulan bugil bulat," kata perempuan itu.
“Ya, bulan bugil bulat,” kata laki-laki itu.
Kemudian perempuan itu tak berkata-kata apa lagi. Begitu pula dia. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Seolah kata itu adalah kata awal sekaligus akhir. Seolah keduanya tak memiliki perbendaharaan kalimat lain selain itu. Keduanya hanya memandangi bulan yang bugil bulat dengan latar awan berarak. Lama keduanya tak berbicara dan hanya memandangi bulan.
“Bulan bugil bulat,” kata perempuan itu lagi.
“Ya, bulan bugil bulat,” kata laki-laki itu.
Setelah berkata seperti itu, keduanya paham bahwa sudah waktunya untuk berpisah. Bulan depan, saat biasanya bulan purnama lagi, keduanya bertemu kembali. Pertemuan mereka adalah pertemuan seperti sebelumnya. Tak ada yang lebih tak ada yang kurang. Tak ada kalimat lain yang diucapkan dan tak ada hal lain yang dilakukan. Tak lebih tak kurang.
Kemudian perempuan itu pindah ke kota lain. Tapi keduanya mensiasati untuk tetap menikmati bulan bugil bulat. Pertama kali mereka melakukannya dengan berkirim surat. Waktu pengirimannya diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sampai pada waktu yang pada malam harinya bulan menjadi purnama. Dan laki-laki itu pun sudah mengirimkan surat yang memungkinkan sampai di hari yang waktu malam harinya bulan purnama muncul.
Ketika bulan bugil bulat, laki-laki itu membuka surat dari perempuan itu. Tak ada tempat dan tanggal surat waktu pengiriman. Tak ada salam hormat, tanda atau NB. Isinya sudah bisa dipastikan.
“Bulan bugil bulat.”
Hanya itu. Tak lebih tak kurang.
Sementara di sana perempuan itu melakukan hal yang sama. Dia membuka surat dari laki-laki itu. Dia sudah bisa memastikan isi surat itu.
“Iya, bulan bugil bulat.”
Hanya itu. Tak lebih tak kurang.
Kemudian ponsel merebak. Kebiasaan itu pun dilanjutkan dengan mengirim pesan singkat sebulan sekali.
Jika bulan purnama, perempuan itu mengirim SMS, “Bulan bugil bulat.” Dan laki-laki itu membalasnya. “Iya, Bulan bugil bulat.”
Tapi itu beberap waktu yang lalu. Sudah beberapa purnama ini perempuan itu tak pernah mengirim kalimat-kalimat itu. Padahal dia selalu mengirim kalimat yang biasa ia kirimkan. Karena itulah dia memutuskan untuk tidak berkirim lagi.
Laki-laki itu masih terus berjalan sambil sesekali melihat bulan yang begitu bugil dan bulat. Kadang bulan terhalang oleh rindangnya pepohonan atau gedung. Tetapi dia bisa melihatnya lagi.
“Bulan itu memang bugil dan bulat. Tapi mau apa lagi?" batinnya. "Dari dulu dan entah sampai kapan mungkin akan seperti itu.” Dia terus berjalan. Ketika menengok ke atas, kadang-kadang bulan terselip di daun pepohonan, atau terperangkap di kabel listrik dan telepon. Atau kadang-kadang beradu dengan cahaya lampu mecuri.
Malam semakin sepi. Embun sudah turun. Orang-orang sudah nyenyak di peraduannya. Hanya tinggal petugas ronda di posnya yang sedang main domino. Di kejauhan terdengar tiang telepon dipukul orang.
Ketika dia melihat ke depan dia melihat sesosok yang berambut panjang. Dia memperlambat jalannya. Sosok itu benar-benar lambat. Sementara dia ingin melewati sosok itu.
Sekarang tubuhnya hanya beberapa depa lagi dengan sosok itu. Dia seolah tidak acuh ada makhluk lain di belakangnya. Dia terus berjalan pelahan seperti keong. Mukanya melihat bulan yang menggantung.
Dia semakin dekat dengan sosok itu. Sekarang tubuhnya sejajar dengan sosok itu.
“Bulan bugil bulat,” kata sosok itu.
“Ya, bulan bugil bulat," kata laki-laki itu tanpa sadar.
Sosok itu berpaling ke arahnya.
“Kenapa kamu mengucapkan kalimat itu?” kata sosok itu.
“Kenapa kamu mengucapkan kalimat itu?” kata laki-laki itu.
“Siapa kamu?"
“Kamu siapa?"
Ciputat September 2008
*Cerpen ini terinspirasi dari cerpen Judul cerpen ini mengikuti judul cerpen Yanusa Nugroho yang berjudul sama, tapi dengan isi yang berbeda.