Cerpen

Dakwah dengan Babi

Ahad, 4 Maret 2018 | 08:30 WIB

Dakwah dengan Babi

Babi Hutan, lukisan Affandi 1969

Oleh Muhammad Shodiq Masrur 

Sore hari menjelang senja.

Zaki adalah pelaku utama atas keributan yang terjadi selama ini. Terutama pembakaran surau yang direncanakan oleh Zaki. Seketika rencana itu diberhentikan oleh sebagian masyarakat setempat. Karena sudah geram sekaligus tekanan darah masyarakat sudah naik secara drastis. Seakan-akan sudah siap tumpah semua kemarahan yang dipendam sekian lama. Apalagi Sudrajat, kedua bola matanya sudah melotot dan air ludahnya bermuncratan.

“Zak, apa yang kamu inginkan? Ini ilmu yang kamu dapat dari pesantren!”

“Aku hanya memangkas jalan kemaksiatan,” jawab Zaki dengan bahasa sederhana.

“Dasar bocah sesat! Surau tempat ibadah pada sang pencipta bisa-bisanya kamu mengatakan memangkas jalan kemaksiatan.

“Djat, aku mengikuti anjuran serta ajaran Islam. Menghancurkan segala hal yang sudah tidak punya manfaat buat kemaslahatan umat. Toh, surau ini sudah jarang dipakai. Kenapa harus dipertahankan?”

“Dan aku rasa kalian sudah tak butuh surau ini. Sudah sering kali aku lihat kalian begitu teramat sibuk dengan ambisi pekerjaan. Hingga terkadang bisa lupa dengan adanya Ilahi. Sehabis masuknya waktu magrib surau ini pun sepi. Kayaknya keramaian di waktu magrib telah tergeser. Tidak ada tilawatil Qur’an. Apalagi bacaan huruf Hijaiyah yang masih dieja. Sudah tidak terdengar lagi. Yang ada malahan suara musik hingar-bingar yang merusak gendang telinga,” Zaki mengela napas, sesekali memejamkan mata pertanda ingatanya baru meyilami masa lalu yang masih mengelayuti pikirannya.

“Mendingan kita bakar. Lalu lahannya dijadikan sebagai peternakan babi. Bukankah itu memberi manfaat kepada orang lain?” ucap Zaki yang mengandung saran kepada Sudrajat.

Gigi Sudrajat bergemeletuk. Dari bibirnya terucap sumpah-serapah.

“Anjing, kamu pengen dapat azab dengan membakar tempat ini?”

Zaki hanya tersenyum miring. 

“Buat apa dibiarkan Djat? Kalau setiap hari surau ini dibiarkan kosong. Tidak ada yang menghidupkan tempat ini. Tidak ada manfaatnya. Kata Pak Lurah, apa-apa yang tidak dimanfaatkan. Lebih baik dimusnahkan saja. Biar tidak jadi sarang nyamuk pembawa penyakit di masyarakat, masih ingat kan?”

“Sudahlah, Zak, jangan bikin keonaran! Apalagi menyulut emosi warga sekitar dengan pemikiran gila yang kamu dapat dari pesantren,” kata seorang pria setengah baya yang tiba-tiba menyentuh pergelangan tangan. Kemudian merebut obor dari tangan kanannya Zaki yang terang sekaligus panas karena api.

Lalu sebagian warga yang berada di kerumunan mengusir Zaki dengan mengatai macam-macam.

“Dasar bocah gila!” begitulah umpatan yang terdengar dari kerumunan warga. Sebelum kerumunan itu dibubarkan oleh Pak Lurah.

Ada pula yang mengancam. Tapi Zaki masih bersikap tenang. Meskipun diterjang berbagai macam angin yang kencang sekaligus kuat. Selayaknya pohon randu dengan akar-akar pohonnya yang kuat mencekram tekadnya.

“Sudah, pergi sana!” bentak Sudrajat dengan wajah murka.

***

Pagi menjelang penuh ketenangan.

Pagi hari yang semakin basah. Di sebuah pekarangan rumah yang berbentuk Joglo dengan barisan tanaman perdu yang tingginya tidak sampai satu meter, sekaligus berfungsi sebagai pagar rumah. Sudrajat duduk santai di sebuah kursi goyang milik almarhum kakeknya. Ia hanya diam sekaligus tenang, sedangkan di dalam tempurung kepalanya lagi berusaha mengingat-ingat suatu kenangan.

Tiba-tiba Sudrajat berdiri dan beranjak pergi dari tempat duduknya. Sesekali tingkah lakunya kelihatan seperti anak kecil yang kebingungan, mencari keberadaan ibunya yang hilang di tempat keramaian. Dengan sikap yang diperlihatkan semacam itu. Ternyata tak disangka dan dikira. Sudrajat masih kepikiran dengan sepenuh hati atas keributan yang terjadi kemarin sore.

Sebenarnya atas kebingungan yang dialami oleh Sudrajat, bermula dari rasa tidak nyaman tentang suatu hal yang dialaminya. Ketika ia hanya mengira-ngira pola pemikirannya Zaki, setelah dia meninggalkan kampung halamannya.

Sudrajat merasa pemikiran Zaki mulai kelihatan aneh. Ketika dia dinyatakan keterima di universitas ternama di Yogya. Kemudian Zaki lebih milih nyantri di pesantren. Pulang bukan berdakwah, malah bikin keributan di kampung sendiri. Tentu saja hal itu membuat Sudrajat yang tidak lain adalah ketua remaja kampung jadi berang kepadanya.

Kemudian dari kejadian itu. Sudrajat punya niatan untuk bergegas menuju rumah Pak Lurah. Ia khawatir akan adanya keributan lagi yang dibuat oleh Zaki. Lalu Sudrajat mengira-ngira di dalam pikirannya. Bahwa Zaki sekaligus teman kecilnya di masa lampau. Sudah teracuni oleh aliran liberal. Jadi, tidak ada salahnya bila Zaki harus disingkirkan secara sosial-budaya. Biar perkampungan Atmajaya kembali damai sedia kala.

“Tapi bagaimana caranya?” batin Sudrajat. Apa pun caranya aku harus bisa menyingkirkan Zaki dari perkampungan ini. Sebelum semuanya jadi berantakan atas ulah pemikiran yang aneh tanpa ajaran yang jelas.

Sesampainya di depan pintu rumah Pak Lurah. Sudrajat mengetuk pintu dengan pelan. Tanpa pikir panjang dia mengucapkan salam. Yang diselipi sepatah kata panggilan untuk penghuni rumah.

“Pak Lurah... Pak Lurah...”

Dengan segera, Pak Lurah menuju ke sumber suara. Sambil menarik gagang pintu yang berada di ruang tamu. Seketika ke dua matanya melihat Sudrajat sudah berdiri di depan pintu dengan tingkah gelisah.

“Ada apa, Djat?” Pak Lurah menyapa.

“Zaki sudah kelewatan kewajaran, Pak Lurah. Aku sarankan mending kita usir saja dari perkampungan ini. Sebelum peristiwa yang tidak diharapkan benar-benar terjadi berupa pembakaran surau oleh Zaki,” Sudrajat berucap dengan bahasa yang teramat cepat tanpa jeda.

“Zaki bikin keributan apa lagi?”

“Bukan keributan lagi, Pak Lurah, melainkan dia sudah bikin resah masyarakat sekampung, membuat kehidupan di perkampungan kita sudah tidak nyaman lagi. Karena ulah Zaki itu, semuanya berubah tidak setenang di masa silam” Sudrajat menjawab dengan tegas dengan sedikit air ludahnya yang terjun bebas ke lantai sekaligus menyatu dengan butiran debu.

“Terus apa yang harus aku perbuat, Djat” tanya Pak Lurah penuh kebingungan

“Pak Lurah harus punya sikap yang tegas. Dengan segera kalau bisa secepatnya hari ini, Zaki harus diusir dari perkampungan Atmajaya,” ucap Sudrajat sekaligus mendesak Pak Lurah.

“Aku pun sebagai kepala desa belum bisa mengambil keputusan untuk mengusir Zaki secepat ini. Toh kemarin tekadnya untuk membakar surau di tengah perkampungan diurungkan.”

Percakapan itu tidak berlangsung lama. Akan tetapi, Sudrajat kecewa berat atas sikap yang diperlihatkan oleh Pak Lurah. Kemudian Sudrajat punya anggapan, bahwa kepala desa sekalipun masih berpihak dengan pemuda bajingan itu. Yang punya pikiran sesat sekaligus tindakannya hampir mirip dengan orang-orang yang menyukai kerusakan di muka bumi. Sudah tidak ada bedanya dengan kaum kafir.

“Baik Pak Lurah, semisal Bapak masih diam dengan kejadian ini, aku yang akan segera bertindak cepat; bila Zaki bikin keributan lagi di perkampungan ini. Dan aku juga yang akan membinasakan dia dari perkampungan kita.”

***

Sore hari kembali lagi.

Penuh dengan untaian warna merah merekah. Sudrajat tetap berjalan tanpa mempedulikan rasa kecewannya tadi pagi. Ia hanya membatin sekaligus berharap setengah hati. Pada kesempatan ke berapa bisa membinasakan Zaki.

Sesampainya di sekitaran surau, yang berada di tengah perkampungan. Sudrajat mendengar suara teriakan masyarakat desa yang begitu keras. Tanpa pikir panjang ia berlari sekencang-kencangnya menuju ke sumber suara.

Saat memasuki perkarangan surau. Sudrajat murka dengan wajah yang teramat merah. Dengan untaian warna yang sudah memerah. Wajahnya persis gunung berapi yang siap memuntahkan semua laharnya. Karena melihat Zaki membawa sepasang hewan babi di sekitaran surau.

“Zak, baca Istighfar!” seruan warga  untuk menyuruh Zaki bertobat.

“Kamu itu sudah gila barangkali, ya...” ucapan itu selalu berulang-ulang sekaligus menggema serta mengapung-ngapung di udara, dan menyusup di cela-cela lubang telingannya orang sekampung.

“Binatang yang diharamkan oleh agama Islam. Kamu bawa ke surau? Benar-benar keblingger pikiran kamu itu, Zak, segeralah bertobat sebelum terlambat,” ucap Pak Lurah dengan bahasa yang penuh wibawa.

“Pak Lurah, aku sekadar memelihara hewan ternak yang berupa babi,” sahut Zaki penuh ketenangan, “setahu aku juga yang diharamkan bagi kita hanya memakannya. Tapi tidak untuk memelihara hewan itu kan?”

“Lalu buat apa, Zak, memelihara hewan ternak berupa babi kalau pada akhirnya bukan untuk dimakan!” bentak Sudrajat penuh rasa amarah.

“Djat, tenangkan jiwamu! Jangan biarkan rasa amarahmu menutupi segala pandangan mata hati. Aku memelihara sepasang hewan babi ini punya niatan untuk memberi makan kepada orang-orang yang berada di sebelah perkampungan kita. Kehidupan mereka begitu teramat miskin. Hewan-hewan ternak yang lain begitu teramat mahal. Sementara hewan babi, jika sekali mengandung bisa memiliki lebih dari 10 anak. Ia termasuk jenis binatang yang paling banyak memiliki keturunan. Itulah awalnya aku memutuskan untuk memelihara babi.”

“Astaghfirullah, Zak, kenapa kamu memberi makanan kepada mereka berupa daging babi?” Tanya Pak Lurah sambil mengelus-ngelus dadanya yang rata.

“Mereka teramat miskin dan mereka bukan orang Islam. Terlalu mewah bicara agama dengan mereka. Agama mereka barangkali hanya makanan dan air bersih saja, Pak Lurah,” jawab Zaki dengan ucapan nada santun sekaligus mengusap wajanya dengan butiran debu yang menempel lengket di kedua telapak tanganya.

Terdiam sesaat sekaligus mengambil napas.

Lalu Pak Lurah mengucapkan sepatah kata, “Atas izin Tuhan, Zaki bisa menyampaikan suatu hidayah kepadaku dan aku bisa memahami niat baiknya.”

Seketika di sekitar pekarangan surau, yang berada di tengah perkampungan itu berubah senyap. Dan sebagian warga ikut terharu setelah mendengar niat baiknya Zaki.

“Tunggu, Zak!”

Tiba-tiba warga datang secara berbondong-bondong. Bahkan Sudrajat sekaligus teman sebayanya di masa kecil. Dengan cepat berada di hadapan Zaki. Kemudian menatap dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Begitu pun dengan sikap Zaki. Hanya bisa tersenyum simpul melihat tingkah Sudrajat yang dilihatkan kepadanya.

“Wealeh, Zak, tak kira kamu itu pengen ngerusak dan mengotori surau ini. Soalnya dari kemarin selalu bikin keonaran yang meresahkan warga. Ternyata dengan sikapmu yang aneh itu punya niat tersendiri. Sini aku bantu dengan sepenuh hati,” ucap Sudrajat penuh keramahan.

Lalu Zaki sesekali menganggukkan kepalanya sebagai pertanda dia tidak akan membakar surau. Apalagi mengotorinya. Zaki hanya ingin merenovasi surau agar layak ditempati sebagai rumah ibadah dan dijadikan tempat untuk mengais ilmu. Dia juga akan mengajak warga biar kembali mengerjakan tiang agama. Sekaligus lebih peduli terhadap nasib sesama umat manusia. Dengan memberikan daging babi kepada warga non-Islam yang hidup miskin di kampung sebelah.

Yogyakarta, 2017

 

Penulis adalah alumnus MAPK Surakarta. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa program studi Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dia untuk sementara waktu ini, tinggal di Pondok Pesantren Nailul Ula Plosokuning, Kecamatan Minomartani, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. 
 
 


Terkait