Cerpen

Doa dalam Ibid

Ahad, 30 September 2018 | 15:00 WIB

Doa dalam Ibid

fishermans-prayer (http://contemporaryartistsofcalifornia.blogspot.com)

Oleh Abdullah Alawi
 
“Ya Tuhan, aku berdoa seperti doa yang aku ucapkan kemarin. Kabulkanlah doaku, Tuhan...” 
 
Akhirnya aku bisa mendengar dengan jelas bisik dari kamar sebelah kiriku. Sebelumnya hanyalah gemeremang saja. Seperti desis. 
 
Gemeremang tak jelas itu menjadi perhatiaku sejak aku menjadi penghuni ruangan 3 X 3 ini beberapa hari yang lalu setelah sewa kontrakanku di tempat sebelumnya habis.
 
Entah kenapa aku jadi penasaran bisik itu. Diam-diam selalu menyimak. 
 
Bisik-bisik itu biasanya kudengar ketika aku sedang tiduran di atas selembar tikar melepas lelah sehabis kerja. Saat itulah lamat-lamat telingaku mendengar gemeremang suara yang berasal dari kamar sebelah kiriku. Aku memasang telinga berusaha menyimak suara itu. Telingaku aku tempelkan ke tripleks pembatas ruangan. Tapi aku tidak berhasil mendengar dengan jelas. Kemudian sepi. Entah apa yang kemudian dilakukannya. Mungkin tidur. Dan malam inilah suara itu menjadi jelas. Ternyata doa. Suara itu sendiri menyebutnya doa. 
 
Aku tak habis pikir atas doa yang diucapkannya. Belum pernah aku mendengar doa semacam itu. Biasanya doa memakai bahasa Arab yang tak kupahami sama sekali. Mungkin doa tak mesti kita pahami artinya. Ada juga doa yang menggunakan bahasa terjemahan, biasanya berbunyi seperti ini, “ya Tuhan, ampunilah dosa-dosaku, dosa-dosa kedua orang tuaku, limpahkan rizki yang halal, panjangkanlah usia kami, selamatkanlah kami di dunia dan akhirat.” Sungguh aku baru mendengar doa yang terdengar dari ruangan sebelah. 
 
Doa itu menjadi bahan pemikiranku. Suaranya masih terngiang di telingaku. Aku mereka-reka kemungkinan tentang doa itu. Orang itu mungkin orang yang senang mengucapkan doa yang panjang-panjang. Segala permohonan dia kemukakan. Doa yang panjang tentunya memerlukan waktu lama. Esoknya dia mengucapkan doa yang kurang lebih sama. Dan esoknya dia juga melakukan hal yang sama. Terus begitu. Tapi pada suatu waktu, dia mengalami kejenuhan juga dengan doa-doa panjang. Mungkin dia dalam keadaan lelah dan ngantuk berat. Tetapi keinginan untuk berdoa seperti kemarin tetap ada. Maka keluarlah ucapan seperti ini, “Ya Tuhan, aku berdoa seperti doa yang aku ucapkan kemarin. Kabulkanlah doaku, Tuhan...” Esok harinya dia melakukan hal yang sama. Dia berdoa dengan hanya menyebutkan ‘seperti kemarin’ saja. Kemudian berdoa semacam itu menjadi kebiasaan. Tetapi tetap dengan harapan Tuhan mendengarnya. Bukankah Tuhan tahu segala bahasa doa dengan segala cara?
 
Kebiasaan doa yang demikian mengingatkanku pada saat aku masih berstatus mahasiswa beberapa waktu lalu. Aku ingat saat-saat membikin karya ilmiah. Seperti dalam membuat makalah misalnya, apabila penulis mau mengutip kembali dari buku yang sama dari pengarang yang sama, dia tidak perlu menulis kembali nama pengarang, judul buku, tahun terbit dan nama penerbit tersebut. Dia cukup menulis tanda ibid dan nomor halaman. Pembaca akan mengerti dengan tanda ibid itu.
 
Doa dia pun aku rasa nyaris sama dengan sistem ibid ini. Ketika dia lelah atau malas dengan doa yang panjang, dia mengambil cara lain yang mudah dan praktis. Dan dia yakin bahwa Tuhan mengetahui apa makna dari doanya itu meski dia tak menyebutkan doanya secara utuh.
 
Namun, aku tidak tahu apakah dia pernah menulis makalah dan mengetahui sistem ibid  atau tidak. Tapi itu tidak penting. 
 
Permasalahannya sekarang adalah, aku tidak tahu apa doa yang diucapkannya kemarin. Juga entah kapan yang dimaksudnya kemarin itu karena dia selalu mengatakan kemarin dalam setiap doanya. Aku layaknya pembaca yang menemukan catatan kaki pada sebuah buku dengan tanda ibid, sementara catatan kaki sebelumnya hilang karena tersobek. Aku tidak tahu rujukan awalnya. Kenapa aku begitu berhasrat untuk mengetahuinya, itu permasalahan lain pula. Padahal orang tak kukenal sama sekali. Apa peduliku dan apa untungku. Tapi begitulah, aku begitu tertarik pada doanya.
 
Agak lega juga aku bisa memecahkan persoalan ini meski berdasarkan kemungkinan. Tapi setidaknya itu bisa menjawab sedikit rasa penasaranku. 
 
Malam semakin larut saja. Sebenarnya aku ngantuk dan lelah, tapi seperti kemarin, aku susah tidur. Aku hanya memandangi langit-langit kamar yang terbuat dari tripleks. Ruangan ini terasa gerah. Bayanganku melayang-layang. Beberapa waktu yang lalu aku adalah mahasiswa. Dan sekarang aku menjadi penjual dan pembeli barang-barang bekas semisal buku, koran atau dus atau apa saja. Ketika hari mulai senja biasanya aku berjualan rokok di terminal atau di pasar. Hasilnya aku masih bisa bertahan di kota ini. Pekerjaan yang tak kubayangkan sebelumnya.  
 
Suara lain terdengar dari sebelah kanan kamarku. Aku menggeser perhatianku. Seperti malam kemarin, yang kudengar hanyalah suara lenguhan panjang dari dua suara yang menyatu. Aku cuma menelan air liur. Pikiranku melayang-layang membayangkan apa yang terjadi di kamar sebelah. Hasrat purba dalam tubuhku memuai-muai. Tapi seperti kemarin, aku tak dapat lain selain menatap langit-langit. Begitulah aku mengahabiskan malam-malamku di ruangan yang hanya disekat oleh tripleks. Dengan hanya pembatas seperti itu, suara-suara yang ditimbulkan dari kamar sebelah gampang terdengar. Apalagi waktu malam ketika sunyi menjulurkan sayapnya. Dari sebelah kiri kamarku terdengar doa dari sebelah kananku terdegar lenguhan. Dan di ruanganku sendiri aku mendengar suara nyamuk-nyamuk berputar-putar mencari celah untuk mendarat di tubuhku. Hasrat tidurku menguap. Seperti kemarin. Ya seperti kemarin. Jangan-jangan hidup yang kulakoni adalah hidup yang kemarin. Hanya perhitungan waktu saja yang seolah-olah ada hsari ini dan esok…
 
 
***
 
Aku bangun kesiangan karena malam tadi aku tidur larut. Pagi yang sepi. Seperti kemarin. Aku membuka pintu supaya udara segar masuk. Aku melihat perempuan muda sedang menjemur pakaian. Perempuan yang semalam menyatu dalam lenguhan panjang. Suaminya sudah pergi. Bekerja. Perempuan itu cuma mengenakan handuk. Hanya bagian dada dan paha yang tertutup. Seperti kemarin, Aku memperhatiakan tubuh yang membelakingi itu. Membayangkan sesutu yang dilakoni di kamarnya bersama suaminya. 
 
Ketika jemuran tinggal satu lagi, cepat-cepat aku masuk kamar lagi. Selintas aku melirik kamar di sebelah kiriku. Pintu itu terkunci. Penghuninya telah pergi. Aku tidak pernah tahu penghuni kamar sebelah kiriku. Dia selalu pergi ketika aku belum bangun. Dan dia datang ketika aku masih di luar. Aku tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan. Yang aku tahu, penghuni itu selalu berdoa seperti kemarin. Jangan-jangan ruangan sebelah kiriku itu sebenrnya tak berpenghuni dan suara itu adalah suara yang sebenarnya tidak ada. Aku cepat-cepat mengusir pikiran itu.
 
Dan seperti kemarin, pagi ini pun aku harus pergi mendorong gerobak mencari barang-barang bekas untuk kemudian kujual. Ketika hari mulai senja aku menjual rokok di tempat yang masih ramai. Lalu seperti kemarin pula aku harus pulang malam, dan ketika tiduran di kamarku, aku akan mendengar orang yang berdoa itu. Aku menyimaknya. Ketika malam mendekati larut, suara lenguhan panjang terdengar pula dari kamar sebelah. Berhari-hari, berbulan-bulan dan bahkan mungkin bertahun-tahun dan entah sampai kapan aku harus melakukan sesutu seperti kemarin. Atau mungkin tak pernah selesai. Aku tidak tahu.
 
Gerobak kudorong dari satu gang ke gang lain. Dari satu pemukiman ke pemukiman lain dengan harap ada orang yang mau menjual barang bekas. Setelah gerobak terisi separuhnya, aku berhenti di bawah sebuah pohon untuk melepas lelah. Saat itulah aku sempat berpikir seperti ini, apa mungkin aku juga bisa beribadah –kalau memang ibadah itu mesti- dengan menggunakan sistem doa yang disuarakan orang itu? Aku melakukan ibadah satu kali, dan cukup satu kali saja karena hari berikutnya aku tinggal berkata, “Tuhan aku beribadah seperti kemarin.” 
 
Aku mengangguk-angguk dan tersenyum. Tapi ada pertanyaan lain yang muncul tiba-tiba saja, apakah makan juga demikian. Aku cukup makan satu kali saja. Dan esoknya cukup berkata, “Tuhan, aku makan seperti kemararin.” Maka kenyanglah aku. Atau Aku pergi mendorong gerobak satu kali saja. Dan esoknya aku cukup mengatakan, “Tuhan, aku mendorong gerobak seperti kemarin.” Lalu dapatlah duit. 
 
Ah, pusing, pusing! Aku bukan pemikir atau agamawan. Aku hanya mantan mahasiswa. Aku melanjutkan kembali mendorong gerobak dari satu gang ke gang lain. Dari satu pemukiman ke pemukiman lain.  
 
 
***
 
Meski aku bisa sedikit lega dengan memecahkan prihal doa orang di samping kiri kamarku, aku masih tetap penasaran. Aku seolah disimpan di tengah-tengah gurun tak tahu mana tepi. Tak tahu mana pangkal mana ujung. Mungkin aku harus menunggu akhir doa itu meski aku tidak tahu apakah doa itu akan ada ujung dan berakhir. Aku berharap dari ujung itu aku bisa tahu awalnya. Seperti dalam sebuah film, aku dihadapkan pada alur flash back. Dan seperti pembaca sebuah buku yang kehilangan catatan kaki, aku mungkin masih bisa menemukan rujukannya pada daftar pustaka.
 
Karena itulah aku tidak absen menguping doa yang diucapkan orang dari kamar sebelah kiriku meski aku dapat menduga bahwa bunyinya akan sama seperti kemarin. Tetapi pada suatu sore, aku mendadak ada sedikit urusan dengan bos rokok. Semula aku ingin menyeleasaikan sore itu juga, tapi ternyata tidak selesai. Aku mencari akal supaya aku tetap bisa mendengar doa orang itu. Maka sore itu aku pulang dulu ke kamarku. Aku memasang tape recorder dekat sekat pembatas. Aku merekamnya. Kemudian aku pergi dengan tenang. Kaset itu akan menggantikan tugas telingaku. Nanti malam aku akan memutarnya. 
 
Setelah selesai urusan, aku langsung pulang. Aku tak sabar dengan tape recorder yang kupasang. Sesampai di kamar, yang pertama kulakukan adalah memutar tape recorder itu. Aku menyimaknya. Tidak seperti kemarin, suara itu sekarang seperti ini,
 
“Terima kasih, Tuhan, akhirnya engkau telah mengabulkan doaku. Tidak seperti kemarin, dia, orang di samping kamarku sekarang tidak ‘menguping’ lagi ketika aku berdoa…”
 
 
2007
 
Penulis adalah penikmat sastra, lahir di Sukabumi, Jawa Barat
 


Terkait