Semuanya terlihat nyata. Namun bagi dirinya, suara riuh yang bergema di halaman rumah, teriakan di pinggir trotoar, bising pameran di alun-alun kota, gegapan angka-angka terasa sunyi. Berkali-kali ia hanya bisa memahami setiap gerakan bibir manusia yang hendak bertanya.
Namanya terdengar indah, santun jika diucapkan di telinga. Rupa ayu berkacamata, bermata bulat, gigi gingsul di bagian kiri, lesung pipit merona dan rambut sedikit bergelombang. Dia adalah Ankara, gadis manis yang sedari kecil selalu gemar menulis cerita di buku sakunya.
Ibu mengabarkan kepada sang kakak bahwa adik yang telah tujuh tahun ia idam-idamkan akan lahir, namun keadaannya melebihi orang normal. Ia istimewa, istimewa di mata keluarganya.
"Jangan khawatir, Ibu. Kakak akan selalu menjaga adik," jawab Dalbara dengan rengkuhan senyumnya kepada sang ibunda. Ia menatap dalam-dalam sang adik yang masih terlindungi inkubator. Kerlap-kerlip cahaya lampu 5 watt menghangatkan suhu tubuhnya. Rengekannya terlampau pelan.
Ibu belum sepenuhnya pulih. Dalbara masih menunggu di tempat penjaga kamar Bougenville di huruf alfabet H. Matanya menuju raut wajah sang ibu. Terlihat debar jantungnya naik turun tak beraturan.
"Masih sesak, Bu?"
Ibu hanya menggelengkan kepala dan senyum lemas di hadapan Dalbara. Ia menggenggam lengan Dalbara dan menyerahkan sepucuk surat lusuh: "Jaga adikmu."
Tulisan itu benar-benar masih baru. Hanya saja bekas remasan lengan tangan saja jadi terkesan kusut. Mata Dalbara menggenang. Ia tepis secepatnya dan mengangguk pelan ke arah ibunya.
Ting Tong
Suara bel ruangan sang ibu berbunyi. Dua perawat masuk menemui ibu, Harsa Sulami. Satu alat stetoskop dipasang kedua telinganya, setelah itu bell dan diagram stetoskop menyentuh dada ibu. Perawat yang lemah lembut itu mengarahkan ibu untuk menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
Dirabalah nadi ibu. Semuanya aman. Hanya memang letih selepas melahirkan. Masih butuh istirahat. Satu hari lagi ibu diperbolehkan pulang dan check-up dua kali dalam satu bulan.
"Ini obatnya ya, Kak. Nanti bisa diarahkan ibunya untuk rutin minum obat. Semoga lekas sembuh. Kami pamit dahulu," ujar perawat sambil mengalungkan stetoskop di lehernya. Senyum Dalbara mengembang kembali, dan berucap semuanya akan baik-baik saja, termasuk untuk dunia adik spesialnya, Ankara Makarina.
Usia dalbara dan Ankara selisih cukup jauh. Alat kontrasepsi dipasang di rahim ibu setelah Dalbara lahir ke dunia. Ibu tidak mau, kecemburuan itu menggerogoti hari anak sulungnya. Hingga tak terasa, Dalbara genap 7 tahun dan sudah masuk kelas satu sekolah dasar. Ia kesepian. Dan meminta teman untuk bisa bermain bersamanya.
"Ibu, Dalbara ingin adik. Dalbara kesepian kalau sudah pulang sekolah. Dalbara ingin punya adik, Bu." Rengekan itu terkabulkan.
Masih teringat jelas tangisan kecil yang dibalas dengan bentakan nada tinggi dan keras disertai hantaman tamparan tangan laki-laki mendarat ke pipinya seraya berkata," Ayah jahat sekali, Bu."
Hari demi hari. Pagi menjelang siang. Terik berganti temaram, dan senja perlahan lenyap dalam lamunan. Semuanya cepat berlalu. Ankara kini genap enam tahun lebih sedikit.
Dalbara senang bukan kepalang. Ia selalu mengajak Ankara main ke mana-mana. Ke taman, bagasi, playground, dan sering belajar mewarnai setelah Dalbara pulang sekolah.
Ia menepuk bahu Ankara. Dalbara menggunakan bahasa isyarat supaya Ankara paham apa yang ia sampaikan. Dan Ankara mengangguk seraya menyunggingkan tawa. Ankara membuat sebuah isyarat. Yang pada intinya, dia bertanya bagaimana cara memulai untuk menulis dan bercerita dengan riang gembira. Kali ini mereka akan mulai membuat cerita.
"Kita mulai ya, Dik." Ucapan Dalbara diikuti anggukan kepala sang adik, Ankara. Dalbara membantu adiknya menulis cerita dengan penuh semangat. Matanya berbinar, senyumnya tak henti merekah dan menyembulkan untaian gigi-gigi tanpa noda sisa makanan.
Jari lentiknya terus bergerak menyampaikan isyarat yang runtut, sekaligus membuat Ankara memahami maksud kode-kode lugas dari Dalbara.
"Sudah kamu tulis, Dik? Ankara mengangguk dan menyolek tangan Dalbara. Goresan tulisan Ankara sanggup membuatnya menghapus kesedihannya di seperkian detik. Ia bahkan mengguratkan senyum berkali-kali kepada Dalbara.
"Sama-sama. Tuntaskan dahulu, ya. Aku hendak ke belakang dulu. Nanti aku pasti jadi orang pertama yang baca karyamu ini," Ankara tersenyum ke arah Dalbara lalu menoleh kembali ke dalam tulisannya.
Bola mata Ankara termakan cahaya. Matanya membelalak, namun terisi gelap gempita. Kornea matanya meraba, namun saraf matanya menolak membuka. Dia mencoba meraih serpihan kertas bekas coretan tanganya yang hendak tersapu angin. Ankara menumpuk sisa-sisa kalimat yang masih tertahan dari goresan tip x. Tiba-tiba bayangan putih muncul di sela sudut matanya.
Ia terhenyak. Berdiri tegap setengah terhuyung. Ia berlari meninggal tempat itu menyusul Dalbara yang tak kunjung kembali ke ruangan.
Bug!
Genggaman tangan Dalbara seketika buyar, serpihan kaca gelas berserakan di dapur belakang, "Duh. Ankara. Kenapa? Coba lihat ini! Semuanya berceceran di lantai," Ankara mundur satu jengkal di depan Dalbara. Kedua kakinya menjinjit menghindari serpihan kaca.
Ankara mengisyaratkan tanda maaf di keningnya, ia meraih kedua tangan Dalbara yang sedikit mengencang. Punggungnya merunduk, matanya meringkuk, "Kamu kembali ke ruangan. Aku saja yang bersihkan beling ini," ujarnya.
Sebelum pergi, Ankara menyentuh lengan kiri Dalbara. Namun lagi-lagi, kakaknya ingin dia segera meninggalkan tempat penuh serpihan kaca. Ankara yang kebetulan masih membawa pena dan note kecil, menulis sesuatu untuknya, "Maafkan aku. Aku lari hendak menjauhi cahaya berkilauan di sana."
Ia menunjuk dengan jari lentiknya yang masih gemetaran. Hatinya terus mengacak-acak lamunan yang sedang Ankara rasakan. Matanya menunjuk yakin, namun mulutnya terkatup sunyi.
"Kamu yakin? Itu kan ruangan biasa, Dik. Tempat ibu sering bermediasi dan bercengkrama dengan ayah."
Ayah mereka berdua sudah lama pergi tertelan waktu, penantiannya menunggu sang buah hati kedua harus landas di pertigaan jalan yang padat kendaraan umum.
"Mengapa?" tulisan Ankara membuat jantung Dalbara berdenyut cepat.
"Ankara adikku. Cepat kamu pergi dan selesaikan pekerjaanmu. Kau kan sudah janji untuk menyelesaikannya sekarang." Ia pun pergi tanpa meninggalkan sepatah kata.
Ibu mengobati rindu lewat doa dan ratapan sepi. Berkerumun dalam memori yang ia sendiri tak mampu rangkai. Mimpi-mimpi ibu terajut sedemikian rapi menanti sang buah hati, namun takdir punya cara lain.
"Doakan aku tetap tegar menjalani kehidupan ini, sayang. Sebenarnya aku rapuh tanpamu. Hari-hariku gelap, arahanmu tak bisa lagi kudengar. Omelan siang malammu tak bisa kusaksikan. Tamparanmu tak lagi ada. Sentuhanmu tak bisa terulang. Doakan aku untuk tetap sabar. Kau punya anak istimewa, yang aku tak pernah sangka."
Tubuh Dalbara terhenti. Tenggorokannya seketika kering, kedua bola mata basah-basah kuku. Kalimat terakhir yang dilontarkan sang ibu mengenai hatinya.
"Kenapa hanya Ankara yang disebut ibu. Aku juga anaknya. Bahkan normal dan tanpa kekurangan." Dalbara terus berpikir keras mencerna perkataan sang ibu di dalam ruangan penuh kesunyian dan penuh ara pengap, kesedihan dan kepayahan mengental di sana.
Dalbara mengintip di sela-sela cahaya pintu ruangan itu. Hingga kini ibu selalu melarang Dalbara dan Ankara untuk tidak berkunjung ke tempat khusus itu. Ada apa, dan mengapa ibu melarang kedua anaknya mampir. Mereka tidak mengerti.
Dalbara melihat sekujur tubuh ibu menggigil menahan tangis yang ia tahan agar tidak menyebul ke luar. Kedua tangannya merapat kedua bahunya seakan ingin dipeluk kegelapan. Matanya berderai sepanjang mulutnya melafadzkan doa-doa panjang.
"Kuatkan aku. Doakan aku," desis ibu sambil mengelap wajahnya.
Dalbara tunggang langgang menyudahi keheranannya dengan mengambil gagang sapu untuk segera membersihkan pecahan kaca: "Jangan sampai ketahuan ibu."
Dan benar saja. Ibu keluar ruangan dengan mata sembab, kelopak matanya menonjol lebih besar, "Ibu habis menangis?"
"Tidak. Tadi kebetulan kena gigitan semut rang-rang. Jadinya begini mata ibu." Ibu berbohong. Namun Dalbara tidak mau mengelak, ia menyunggingkan senyum kepada ibunya sambil meletakkan ekrak dan sapu ijuk warna biru tua.
"Habis nyapu apa, Nak?"
"Maaf, Bu. Tadi Dalbara tidak sengaja mecahin gelas kaca itu."
"Ya ampun. Tapi kamu tidak terluka, kan?"
"Aman, Ibu."
Ibu membantu Dalbara mengecek kembali apakah masih ada sisa kepingan kaca gelas yang masih tersisa dari tong sampah. Ibu sangat lega karena sudah melihat bungkusan sampah yang sudah terbungkus plastik hitam dan kain untuk membalut kepingan kaca.
"Nah, ini sudah benar." Dalbara tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya. Selepas itu, ia teringat Ankara. Tulisan Ankara lebih tepatnya.
"Ibu. Dalbara ke depan dulu, ya. Mau bantu Ankara menulis cerita."
"Oke, Nak. Terima kasih, ya. Sudah jadi kakak yang selalu ada untuk Ankara."
"Sudah seharusnya, Bu."
Derap langkah Dalbara dirasakan Ankara. Belum genap paragraf ceritanya namun semoga kakaknya itu tidak memarahinya. Dalbara menemui sang adik asyik merapikan pulpen dan kertas. Ia kemudian duduk disamping Ankara seraya membaca penggalan cerita itu.
"Aku kira sudah selesai. Kamu kesulitan menyelesaikannya?" raut wajah Ankara memerah, matanya berkedip tanda sepakat.
"Yang penting. Jalan ceritanya nyambung. Dikasih imajinasi sedikit-sedikit tidak apa-apa. Seperti yang sering ditempel di ruangan mading sekolah. Kamu sering baca, kan?"
Ankara mengangguk tanda mengerti. Namun, ia kesulitan melanjutkan ceritanya. Tapi Ankara tidak kurang akal. Ia mengajak Dalbara menonton pertunjukan wayang golek di desa sebelah.
"Wayang golek? Kamu mau lihat itu?"
Ankara menggoyang-goyangkan tubuh Dalbara agar ia menemaninya menonton. Sedikit cemas dan sedikit takut. Dalbara tidak mau, Ankara jadi bahan bulian banyak orang.
"Tenang saja. Kakak jangan khawatir. Aku hanya ingin menonton," tulisan Ankara seperti bisa membaca hatinya Dalbara.
"Baiklah. Nanti kita menonton wayang golek. Tapi jangan sampai larut malam, ya."
Ankara girang segirang-girangnya. Ia melompat kesana kemari mengelilingi tubuh Dalbara dan mencium pipi kanannya.
Malam pun datang, menghadirkan suara-suara desis kecoak di beberapa selokan dekat rumah. Ankara mengenakan pakaian serba merah muda dengan bando di atas kepala, sementara Dalbara yang hanya menggunakan jaket tebal warna hitam, celanan baggy, dan tas selempang. Tidak terlalu jauh dari rumah. Panggung pagelaran wayang golek sudah mulai terlihat.
Cahaya lampu songkle berputar ke kanan ke kiri, tanda akan segera dimulai. Banyak orang duduk bersimpuh beralas tikar kecil. Dalbara memilih duduk dibarisan ketiga. Tak lupa ia membeli tikar di penjual asongan untuk dia dan Ankara duduk dengan nyaman. Di tengah-tengah kerumunan, Ankara mendekati tubuh Dalbara menggunakan bahasa isyarat.
"Kamu bawa kertas tadi sore? Untuk apa?" Ankara menulis jawaban di notes miliknya. Ternyata ia sedang mencari ide cerita lewat pagelaran wayang golek, "Oh begitu. Ya sudah."
Acara dimulai. Tarian jawa menjadi pembuka cerita. Semua tata rias lakon wayang golek sangat mempesona. Sanggul yang anggun dan riasan yang elok membuat aura penari menjadi lebih terlihat. Lakon wayang golek pun satu per satu bermunculan. Dalbara menoleh ke arah Ankara, "Tidak pernah aku melihat kamu gembira seperti ini."
Lahan terbuka memang sedikit lembab karena hujan kemarin sore. Rumput-rumput terkena butiran air hujan dan disertai tanah gambut. Semut-semut juga turut berdatangan disekitar Dalbara dan Ankara sedang menikmati jalannya pementasan. Tak ayal jika Dalbara menahan gigitan dari serangga yang menyebalkan itu.
Tiba-tiba di tengah suara ramai penonton wayang, Ankara menjerit sekencang- kencangnya.
"Aaaaaaaaaaaa....Kakak. Semut itu. Semut itu menggigit pahaku."
Semua orang melihat ke arah Ankara. Jeritan itu keras sekali hingga pedagang asongan menoleh. Mata Dalbara juga terbelalak ia memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jeritan itu bukan dari adiknya.
"Kakak sakit," ucap Ankara sambil menyingkirkan serangga sialan itu.
Mulut Dalbara kian terbuka lebar. Ia memegang kedua pundak Ankara, "Ka...ka..kamu, bisa ngomong, Dik?"
Ankara mengajak Dalbara untuk menjauhi kerumunan. Dalbara yang masih setengah tidak percaya masih bisa mengambil tikar yang basah.
Di pintu keluar, Ankara menjawab pertanyaan Dalbara, "Kak. Aku tidak tuna rungu. Aku diam-diam ke puskesmas sendirian sehabis pulang sekolah. Kata dokter, telingaku hanya infeksi sementara karena selama aku dikandungan, telingaku banyak kemasukan air. Jadinya telingaku infeksi dan kesulitan mendengar dengan jelas. Sebenarnya aku hendak bercerita. Tapi aku takut kakak jadi kaget."
"Sekarang juga masih kaget. Ya ampun, Dik. Aku senang sekali. Tapi tadi benar-benar aku masih tidak percaya," mata Dalbara berkaca-kaca sambil tetap memandang wajah Ankara penuh haru, "Nanti kita kasih kejutan ibu, ya," Dalbara mengangguk.
"Lalu, soal cahaya itu apa, Dik?"
"Hanya akal-akalanku saja," gelak tawa mereka berdua kencang dan tak terelakkan. Keduanya saling bertatapan. Ankara mengeja semua raut wajah Dalbara penuh kelegaan. Ternyata, gadis yang selama ini berada di dalam derap sunyi hanya berlaku sementara.